1. Startup

Berbincang dengan Managing Director Samsung Research Indonesia Alfred Boediman tentang “Deep Tech”

Membahas soal potensi, investasi, tantangan, hingga urgensi pengembangannya

Terminologi deep tech dewasa ini mengemuka berkat penggunaan layanan digital yang semakin masif. Salah satunya disebutkan dalam hasil riset CompassList mengenai agritech di Indonesia sepanjang kuartal pertama 2020. Inovasi yang menerapkan produk deep tech sangat diperlukan untuk mentransformasi sektor ini. Teknologi seperti kecerdasan buatan, analisis data, hingga robotika dinilai penting untuk menjadi bagian dari masa depan pertanian di Indonesia.

Lebih dari itu, deep-tech yang semakin matang idealnya dapat diimplementasikan di berbagai sektor lainnya, dengan mendukung sistem teknologi yang sudah ada. Untuk memahami lebih dalam mengenai deep tech, termasuk penerapan dan proyeksinya, DailySocial berkesempatan mewawancarai Managing Director Samsung Research Indonesia (SRIN) Alfred Boediman. Berikut ini hasil wawancara kami.

DailySocial: Bagaimana Anda menggambarkan deep tech, terkait penerapannya dalam sebuah aplikasi? Sejauh ini banyak kalangan masyarakat yang menghubungkan term tersebut dengan produk seperti kecerdasan buatan dan analitik; apa yang bisa dioptimalkan dari teknologi tersebut?

Alfred Boediman: Ya, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), pengeditan genom, analitik data, pengenalan wajah, dan robotika memang dianggap sebagai terapan dari terminologi solusi "deep tech". Karena didasarkan pada penelitian ilmiah dan sering kali didukung paten. Secara umum, saya bisa mengidentifikasi tiga atribut dasar yang menjadi karakter solusi deep tech dalam konteks bisnis, terutama pada penerapannya di suatu aplikasi/sistem yang ada.

Atribut pertama adalah dampak. Inovasi yang didasarkan pada deep tech seharusnya dapat memiliki dampak yang besar bagi kehidupan sehari-hari, jauh melampaui batas nilai ekonomi yang dihasilkan. Seperti halnya di Indonesia, beberapa kota besar di negara kita sudah mulai mengalami masalah kelebihan populasi penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, AI dianggap sebagai salah satu teknologi kunci yang akan diterapkan.

Kemudian kedua adalah waktu. Pengembangan solusi deep tech membutuhkan waktu untuk beralih dari sains dasar ke teknologi yang dapat diterapkan untuk hasil yang nyata. Lamanya waktu untuk penerapan teknologi tersebut akan bervariasi secara substansial, dan membutuhkan waktu lebih lama dari inovasi yang didasarkan pada teknologi yang sudah umum.

Contohnya, berdasarkan analisis lembaga riset internasional, sekiranya dibutuhkan rata-rata 4 tahun untuk mengembangkan teknologi di biotek; dipecah menjadi 1,8 tahun dari penggabungan ke prototipe pertama dan 2,2 tahun berikutnya untuk mencapai produk yang siap dipasarkan. Lalu, dibandingkan dengan startup blockchain, angka yang sebanding adalah 2,4 tahun, di mana 1,4 tahun untuk prototipe pertama dan 1 tahun berikutnya produk yang siap pasar.

Sementara atribut yang ketiga adalah investasi. Kebutuhan pendanaan perusahaan deep tech berbeda secara signifikan dengan yang lainnya. Sesuai dengan contoh di atas, di mana rata-rata pembuatan prototipe pertama untuk solusi biotek bisa menelan biaya sekitar US$1,3 juta, sementara biaya solusi blockchain hanya sekitar US$200 ribu.

Selain itu, risiko pasar adalah salah satu faktor pertimbangan bagi para investor, di mana startup deep tech biasanya mencari pendanaan pada tahap penelitian awal, artinya akan sulit untuk mengevaluasi daya tarik dan potensi pasar secara menyeluruh. Faktor lainnya adalah risiko teknologi yang ada, karena banyak investor tidak memiliki keahlian khusus untuk secara akurat menilai potensi teknologi yang muncul dalam jangka waktu yang singkat.

Karena kita akan menghadapi tantangan: kurangnya bakat, pendidikan, dan pengertian menyeluruh tentang solusi deep tech tersebut. Maka untuk mengatasi dan mengoptimalkan masalah ini adalah dengan adanya kolaborasi antara perusahaan teknologi, pemerintah, dan universitas; yang akan menjadi gerakan kunci untuk melatih dan meningkatkan keterampilan generasi profesional yang ada.

DailySocial: Sepengetahuan Anda apakah saat ini deep tech sudah mulai banyak diaplikasikan untuk menunjang TIK di Indonesia?

Alfred Boediman: Kembali pada tahun 2017, beberapa menteri di Indonesia telah bergabung untuk memulai "Gerakan Menuju 100 Kota Cerdas”, bersama dengan beberapa perusahaan swasta. Konsep kota cerdas akan menggabungkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan solusi IoT (Internet of Things). Pemerintahan saat ini, telah menunjukkan keinginannya dalam mengimplementasikan solusi deep-tech dengan pernyataan Presiden sebelumnya untuk menggantikan beberapa posisi pekerja negara dengan layanan AI untuk mengurangi aturan yang tumpang tindih dan memotong birokrasi yang ada.

Yang saya tahu, setidaknya ada lebih dari 50 startup deep-tech yang bekerja di berbagai industri di Indonesia. Contohnya beberapa startup nasional di bidang AI adalah Kata.ai dan Nodeflux. Kata.ai menyediakan solusi berbasis B2B platform percakapan, juga dikenal sebagai chatbot. Chatbot dapat diintegrasikan dalam berbagai platform pengiriman pesan, seperti LINE, Facebook, Twitter, dan Telegram. Lain halnya dengan Nodeflux adalah startup pertama yang mengembangkan video platform analitik dengan menggunakan teknologi "machine learning". Platform ini memungkinkan Nodeflux untuk menawarkan layanan seperti pengenalan wajah dan fungsi pemantauan lainnya.

DailySocial: Dalam penerapannya di sektor riil, bagaimana potensi teknologi tersebut? Mungkin ada studi kasus yang pernah ditemui?

Alfred Boediman: Untuk saat ini, perusahaan teknologi lokal di Indonesia sebagian besar mengandalkan pemerintah untuk membina lebih banyak bakat lokal dengan meningkatkan kesadaran tentang arah industri dan kemajuannya di masa depan, dan bagaimana orang harus bersiap menghadapi perubahan ini. Namun, bila hanya mengandalkan pemerintah mungkin tidak efektif, karena saat ini sistem pendidikan dan pembelajaran yang ada tidak dilengkapi untuk mengatasi revolusi yang akan datang pada permintaan keterampilan industri. Oleh karena itu kolaborasi secara riil sangat penting untuk dapat menerapkan solusi deep tech di Indonesia.

Pada ekosistem digital yang tumbuh di seluruh negara-negara Asia Tenggara, peningkatan bakat untuk solusi deep tech akan semakin penting dan banyak bisnis yang membutuhkan teknologi tersebut. Setiap negara di wilayah ini memiliki laju perkembangan yang berbeda, contohnya Singapura dianggap sebagai yang paling maju untuk implementasi solusi deep tech di Asia Tenggara.

Sementara itu, Indonesia juga telah membangun beberapa unicorn, dengan startup-startup utamanya seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya. Dengan total sekitar 5800 startup nasional, pasar semakin sedikit ramai, tetapi kecil porsi yang telah menginjakkan kakinya di area solusi deep tech secara menyeluruh. Startup dengan solusi deep tech cenderung memiliki periode go-to-market yang lebih lama, karena biasanya operasional yang ada sangat tergantung pada proyek solusi yang berbasis penelitian. Startup deep tech saat ini sedang naik daun, tetapi mereka juga bertemu dengan banyak tantangan yang membuat mereka harus berpikir keras untuk dapat tetap beroperasional.

DailySocial: Apa tantangan terbesar untuk kesuksesan penerapan deep tech di Indonesia?

Alfred Boediman: Meskipun pemerintah dan maraknya industri yang ada terbuka terhadap adopsi deep tech, namun upaya untuk mengimplementasikannya di seluruh Indonesia akan menghadapi tantangan yang pelik, terutama pada masalah kekurangan bakat lokal dan kualitas pendidikan yang ada.

Menurut saya, ada tiga komponen utama yang akan mendorong penggunaan solusi deep tech yang efektif: algoritma, daya komputasi, dan data yang ada. Ini semua adalah komponen yang harus ditingkatkan di negara kita. Banyak perusahaan deep tech (seperti halnya SRIN) mengalami kesulitan dalam mencari bakat AI pada lulusan universitas yang ada di Indonesia.

Sementara itu, ada artikel menarik yang pernah saya baca bahwa negara yang menjadi tuan rumah seorang mahasiswa PhD tidak selalu merupakan negara yang diuntungkan. Kenyataannya adalah  sekitar sepertiga dari peneliti yang bekerja untuk perusahaan yang berbasis di negara tersebut berbeda dari negara tempat mereka menerima gelar PhD-nya. Oleh karena itu, perusahaan teknologi lokal di Indonesia perlu menarik bakat ini untuk kembali ke negara kita dan terus mengembangkan solusi deep tech secara tepat guna.

DailySocial: Menurut Anda, Adakah urgensi mengapa pengembangan deep tech perlu diprioritaskan saat ini?

Alfred Boediman: Pengembangan solusi deep tech penting karena alasan sederhana – mempermudah hidup manusia, salah satu contohnya adalah di mana pada masa "social distancing" saat ini, digitalisasi dan automasi berbasis solusi deep tech akan banyak membantu berbagai kebutuhan bisnis yang ada. Perusahaan berbasis solusi deep tech sangat relevan untuk masalah besar di seluruh dunia; seperti pada masalah kebersihan pada penjernihan air, atau chatbot yang berguna untuk beragam industri jasa, atau hal-hal yang berkaitan dengan kendaraan otonom–terutama di negara-negara maju. Hal-hal semacam ini mungkin bukan bidang yang mudah untuk dikejar oleh beberapa investor atau pemerintah dalam waktu yang singkat di Indonesia, akan tetapi kita harus memulainya sekarang atau terlambat.

Saya bertemu dengan beragam investor, pengusaha, akademisi, dan ilmuwan. Itulah cara saya untuk dapat terbuka terhadap apa yang terjadi, terutama dalam pengembangan solusi deep tech – apa  yang berhasil dan apa yang tidak berhasil. Bagian dari apa yang saya coba lakukan adalah memberikan umpan balik kepada pemerintah dan komunitas yang ada. Saya mengambil apa yang dipikirkan pemerintah dan menyampaikannya kepada komunitas, hal tersebut merupakan perjalanan panjang dari suatu organisasi riset yang berkomitmen dalam pengembangan solusi deep tech di Indonesia.