Ambruknya Bisnis Foodpanda di Indonesia dan Kekuatan Startup dengan Sentuhan Lokal
Mengapa akhirnya Go-Jek dianggap mengganggu tatanan bisnis Foodpanda di Indonesia?
Kabar hangat datang dari startup besutan Rocket Internet yang juga beroperasi di Indonesia, Foodpanda. Diberitakan TechCrunch, berdasarkan sumber yang mereka peroleh, bahwa startup yang melayani pesan antar makanan tersebut akan segera menjual operasi bisnis Foodpanda Indonesia. Yang menjadi sorotan adalah nilai jualnya, yang hanya sekitar $1 juta. Sementara itu basis bisnis keseluruhan startup asal Berlin tersebut sudah tersebar di lebih dari 500 kota di 23 negara dunia.
Menurut pemaparan CEO Ralf Wenzel, Foodpanda sudah memantapkan pasar (hingga mendapatkan keuntungan) di wilayah Eropa Timur dan Timur Tengah. Asia Tenggara, khususnya Indonesia, tampaknya bukan menjadi pasar yang pas untuk Foodpanda, karena sejak bisnisnya berdiri, sangat sulit menemui potensi pemasukan bisnis.
Saat ini tim Foodpanda juga dikabarkan tengah melakukan evaluasi kritis untuk keseluruhan bisnis di Asia Tenggara. Tahun lalu bisnis Foodpanda di Vietnam pun sudah terlebih dulu dijual. Pun demikian bisnisnya di India dan Hong Kong, akhir-akhir ini banyak diberitakan miring.
Kami telah menanyakan informasi lebih lanjut ke tim Foodpanda Indonesia dan sejauh ini masih belum mendapatkan jawaban.
Pemain lokal memang harus lebih piawai merangsang pasar
Melemahnya pergerakan Foodpanda di Indonesia disebut-sebut karena dominasi pemain lokal di sektor on-demand, dalam hal ini layanan Go-Food dari Go-Jek. Jumlah rekanan driver yang lebih banyak dan adopsi yang cukup kencang oleh masyarakat lokal membuat Go-Jek makin digandrungi. Apalagi jika dibandingkan dari sisi kelengkapan makanan yang ditawarkan, Go-Food memang terasa lebih bervariasi dari sudut pandang penikmat makanan lokal.
Kedua startup tersebut betul-betul harus berjuang keras mengakuisisi pelanggan. Namun kokohnya Go-Jek sebagai pemain lokal, menjadi sebuah indikasi menarik bahwa produk atau layanan lokal sebenarnya dapat bersaing dengan layanan luar, bahkan yang sudah "mapan" sekalipun, asalkan memiliki kecakapan dan penetrasi yang kuat.
Lebih memahami bagaimana kultur pengguna di Indonesia
Keterbatasan jangkauan pengantaran oleh kurir Foodpanda menjadi salah satu faktor yang banyak diperbincangkan. Padahal Foodpanda membatasi hal ini dengan alasan kualitas pelayanan yang lebih baik. Masyarakat ternyata lebih menghargai Go-Food yang mampu membantu membeli makanan hingga sejauh 25 km dari lokasi pengantaran, padahal hanya berbekal plastik biasa dan tidak menggunakan kotak penyimpanan khusus selama perjalanan.
Startup yang mampu memaksimalkan potensi layanan akan mampu bertahan lebih kuat. Go-Jek awalnya didirikan untuk kebutuhan transportasi, tapi mampu mengemas kekuatan armadanya untuk bisa memenuhi berbagai kebutuhan lain. Inilah yang disebut dengan memahami kultur. Mampu mengoptimalkan sebuah layanan untuk merangkul proses bisnis yang lebih luas.
Apa yang terjadi di Indonesia bisa terjadi di negara-negara basis Foodpanda yang lain. Cepat atau lambat jika perusahaan tidak mampu menyesuaikan tatanan bisnis dengan kebutuhan lokal yang ada, atau menyesuaikan karakteristik bisnis dengan kultur yang ada, maka pemain lokal di tiap negara tersebut bersiap untuk mengakuisisi ekosistem pengguna yang sudah adaptif dengan layanan on-demand. Hal ini menjadi pelajaran bagi para pelaku startup menanggapi persaingan yang semakin kompetitif secara global.