Apakah Game 'Impor' Mengganggu Pertumbuhan Developer Lokal?
Saat ini industri game di nusantara berada di sebuah masa peralihan penting. Beberapa tahun lalu, jika kita mendengar istilah 'industri game lokal' (garis bawah pada tanda kutip), kita melihat bagaimana publisher-publisher asal Indonesia berusaha melokaliasai game-game asing dengan konten buatan mereka sendiri. Namun istilah ini kian bergeser ke nama-nama studio lokal.
Ada nama-nama studio seperti Tinker Games, Agate Studio, Ekuator Games, Digital Happiness dan Toge Productions berhasil membuktikan bahwa talenta kita mampu bersaing dengan developer berbudget tinggi dari negara lain. Diantara mereka memang ada pula yang membuat versi lokal dari game populer atau dengan kata lain melokalkan game luar tetapi banyak di antaranya memiliki IP sendiri.
Ada beberapa faktor yang membuat mereka cukup sukses: ide orisinil, kemudahan akses dan platform distribusi yang memadai adalah sedikit di antaranya. Mereka memaksimalkan website-website portal game seperti Armor Games dan Kongregate, berkampanye di Indigogo serta memanfaatkan situs sejenis IndieDB (spin-off dari ModDB) untuk mempublikasi karya mereka melalui versi demo-nya.
Dengan menggunakan platform-platform tersebut, mereka bukan hanya mendapatkan dana yang dibutuhkan, tetapi juga berhasil menarik perhatian khalayak global. Ambil satu contohnya Infectonator: Survivors. Permainan ini masih berada dalam tahap pengembangan di Steam Greenlight, tapi silakan lihat komentar-komentar positif yang ada di sana. Gamer global mengerti bahwa ia adalah judul yang berpotensi tinggi. Seperti pertumbuhan game indie itu sendiri, komunitas Steam berperan besar dalam pengembangannya. Mereka dapat mencoba langsung versi demo Survivors tanpa perlu membayar apa-apa, kemudian memberikan feedback langsung pada tim developer.
Sayangnya menembus pasar lokal terbukti lebih sulit dibandingkan menciptakan perhatian gamer global. Masalah paling besar yang ada sekarang adalah terlalu banyak game-game 'online' yang beredar di sana sini. Yang terparah adalah kita tidak tahu mana dari mereka yang berkualitas dan mana yang hanya berupa 'jiplakan' dari game lain. Dan karena berada di Asia Tenggara, kita mendapatkan serbuan game dari negara-negara Barat dan Timur.
Anda pasti tahu World of Warcraft, ia adalah game buatan Blizzard Entertainment yang dirilis kurang lebih 10 tahun lalu. Silakan hitung berapa banyak MMORPG lain yang menjiplak gaya permainan, penyajian karakter, bahkan hingga art-stylegame tersebut. Terdapat belasan judul yang berbeda tetapi semuanya terasa hampir sama: Runes of Magic, Allods Online, Neo Steam hingga Perfect World dan The Lost Titans dari China.
Bukan berarti mendapatkan lebih banyak pilihan itu buruk (Garena dengan LoL mampu membuka mata kita tentang potensi e-sport di nusantara), namun masalahnya adalah publisher lokal yang bermodal besar lebih memilih melokalisasi game-game tersebut dibandingkan merangkul developer lokal dan memulai proyek dari awal - karena mereka tidak perlu repot-repot lagi mengembangkan isinya. Tidak masalah jika permainan yang mereka impor adalah game yang berkualitas, namun tidak sedikit dari judul-judul tersebut yang mendapatkan respon negatif dari industriawan dan reviewer global.
Minggu lalu sebuah judul game baru kembali masuk masuk ke pasar Indonesia, ia adalah Tantra II. Saya tidak bisa berkomentar terlalu banyak tentangnya selain apa yang tim publisher presentasikan pada peluncuran permainan tersebut. Satu contoh yang membuat Tantra II terasa khas seperti permainan asal Negeri Timur lain adalah fitur macro atau yang biasanya dikenal dengan auto-combat.
Fitur ini memungkinkan karakter Anda terus menyerang (dan membunuh) mob (monster NPC - non-playable characters) di area yang diinginkan secara otomatis. Anda bisa meninggalkan game untuk melakukan aktivitas lain dan mengecek apa saja item yang telah didapat beberapa jam setelahnya. Sayangnya kemampuan ini mendapat respon buruk dari analis profesional. Mereka berargumen, "Untuk apa berpartisipasi dalam sebuah game jika kita tidak benar-benar bermain?"
Fitur auto-combat seakan-akan mempertahankan konsep grinding yang membosankan, mengubah permainan menjadi sebuah PR yang membebankan gamer. Tapi sekarang kemampuan macro itu malah menjadi hal yang lumrah di berbagai game asing berkonten 'lokal' saat ini. Banyak gamer Indonesia menganggapnya sebagai hal yang wajar, padahal konsep tersebut sudah berhasil disingkirkan dari benak penikmat video game modern.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan: peran publisher lokal sangat besar dalam arah industri game di Indonesia. Dengan ratusan ribu gamer 'muda' yang berada di bawah sayap mereka, langkah kecil yang publisher lakukan akan berdampak besar di masa yang akan datang. Publisher harus sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral untuk mengedukasi konsumen lokal agar menjadi gamer yang cerdas, dengan menyajikan permainan dan sistem permainan yang cerdas pula.
Dalam industri ini, kita mengerti bahwa baik developer dan publisher memang mengejar satu hal: profit. Untuk apa susah-susah membuat/mempublikasi game jika tidak mendapat keuntungan? Tetapi bukankah akan lebih baik jika mereka mengejar profit sambil mempopulerkan game-game karya talenta Indonesia merupakan langkah terbaik? Bayangkan apa yang bisa diraih dengan mengkombinasi modal dan infrastruktur publisher game terbesar di Indonesia dan ide-ide segar dari developer-developer muda nusantara.
Jika satu tim developer independen saja berhasil menciptakan game sekelas DreadOut, bayangkan apa yang bisa mereka buat dengan dukungan optimal... DreadOut di luar angkasa a la Dead Space? DreadSpace?
Sumber gambar ilustrasi dari: IndieDB, Exp.co.th, YouTube, Polygon dan lain-lain. Gambar header Mobile Game via Shutterstock.