Aria Rajasa: "Menaikkan Demand Lebih Mudah Daripada Supply"
Sebuah bisnis tidak pernah bisa berdiri sendiri, ia akan dengan sendirinya saling bersinggungan dengan sektor bisnis lain. Perkembangan pesat bisnis e-commerce, juga mendorong dan menuntut perkembangan sektor bisnis lainnya termasuk juga sumber daya orang-orang yang terjun di dalamnya. Terkait dengan hal ini, DailySocial menghubungi Aria Rajasa, co-founder Tees Indonesia, dan menanyakan pandangannya tentang menjalankan e-commerce di Indonesia.
Di tengah tumbuhnya pertumbuhan e-commerce yang kian beranjak dewasa, Aria menggarisbawahi beberapa kendala yang dihadapinya belakangan ini. “Ada banyak sekali faktor yang membentuk sebuah bisnis e-commerce, dan di semua faktor tersebut bisa terjadi kesalahan yang berakibat fatal,” tutur Aria.
Perhatikan Supply dan Demand
Awal tahun lalu sekitar bulan Febuari, Tees –layanan on-demand merchandising marketplace--pernah mengalami peningkatan tujuh kali lipat terkait kaus partai. Untuk selanjutnya, peningkatan pertumbuhan Tees juga terus meningkat. Kalau sebelumnya pertumbuhan penjualan sekitar 20 persen perbulan, Tees mengatakan di tahun 2014 bisa mencapai 50 persen tiap bulannya. Untuk terus mengenjot pertumbuhan, Tees melakukan inovasi dengan mengubah tampilannya menjadi lebih mobile friendly, karena pengunjung Tees 40 persen melalui perangkat tersebut.
Melihat pertumbuhan yang dinilainya cukup menggembirakan, Aria yang merupakan founder Tees Indonesia, saat ini justru menghadapi masalah terbesar, yakni menemukan keseimbangan antara supply and demand. Menjaga agar ketersediaan produk bisa terjaga dan selalu tersedia, sementara permintaan naik dengan cepat. “Menaikkan demand lebih mudah daripada supply pada stage awal perusahaan, asal produknya bagus. Tapi mempertahankan kualitas sembari meningkatkan ketersediaan barang itu susah sekali.”
SDM yang Mumpuni
Semua pengusaha tahu betul, bahwa memilih awak untuk bergabung ke dalam usahanya, pun merupakan hal yang tak bisa dipandang sebelah mata. Setiap pebisnis punya kriteria tersendiri dalam mengambil calon-calon pegawainya, namun kalau ada yang bisa ditarik di sini, awak terampil yang siap kerja menjadi nilai lebih.
Namun orang yang memiliki skill yang mumpuni bukan hal yang mudah ditemukan. Biar bagaimana pun pada akhirnya, pemilik usaha harus memberikan pelatihan, dan kesempatan belajar bagi pegawainya untuk belajar, dan berkembang menjadi talent-talent andal. Mengatasi masalah ini Aria justru memilih memperkerjakan mahasiswa dan melatihnya dari awal. “Mayoritas pegawai saya saat ini ikut perusahaan dari sejak mereka belum lulus kuliah.”
Cash Flow dan Utang
Meski e-commerce merupakan bisnis yang sedang menjadi primadona, namun dengan ekosistem yang belum matang, dan masih terus dibangun, diperlukan dana untuk berkembang, biaya pemasaran hingga edukasi pasar. Itu juga harus menjadi perhatian pelaku industri, untuk menjangkau market yang lebih luas, menggenjot penjualan, dibutuhkan dana untuk iklan. Kata kunci yang digelontorkan Aria menyikapi hal ini sama seperti menyikapi supply dan demand: balance.
“Kita harus pintar dalam menentukan kapan harus meningkatkan spend di advertising, kapan harus hire orang baru. Hati-hati jangan sampai overspend tapi tidak boleh juga uang dibiarkan nganggur dan tidak produktif.”
Artinya, cash flow menjadi hal yang penting, modal yang dimiliki harus digunakan dengan tepat guna, pun dana yang mengendap sebaiknya diputar dan digunakan untuk pengembangan usaha, melakukan inovasi agar tetap memiliki nilai unik dari kompetitor sejenis.
Perhatian kepada cash flow menurut penuturan Aria, juga didasarkan pada sebuah pengalaman terbelit utang. “Kami pernah terlibat utang karena menginginkan growth yang lebih baik saat lebaran dan akhirnya tidak berjalan seindah yang kami harapkan. Akhirnya jadi panjang dan harus dibayarkan dengan cicilan, dengan hutang lagi dalam kurun waktu satu tahun. Sekarang kami memutuskan untuk tidak mengambil jalur hutang lagi and just work with what we have.”
[Foto koleksi Aria Rajasa]