Asep Bagja Priandana Mantapkan Hobi Pemrograman Jadi Profesi
Di dunia musik dan film, artis independen (indie) kerap dianggap lebih keren karena mereka menolak berada di jalur mainstream industri raksasa. Mereka tidak menjadikan uang sebagai hal yang terpenting. Ternyata di dunia teknologi digital ada juga bermunculan indie developer. Apakah mereka juga sama kerennya?
Salah satu indie developer yang sedang berkibar adalah Asep Bagja Priandana yang awal karirnya sebagai pengembang hanyalah sebagai hobi dan melenceng dari pendidikan formalnya di bidang akuntansi. Kecintaannya terhadap dunia pemrograman memang telah dipupuk sejak duduk di bangku sekolah lanjutan, meski melanjutkan kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) jurusan Akuntansi. Setelah lulus kuliah, Asep memutuskan untuk menekuni passion-nya di bidang teknologi digital.
“Saat kuliah semester akhir, saya sudah mencoba mengerjakan proyek website untuk bisnis teman saya. Dari situlah awal mulanya saya terjun secara profesional ke industri software and web development,” ujar Asep.
Perjalanan karirnya diawali sebagai pengembang PHP di Sketsa Web Yogyakarta selama enam bulan, kemudian dilanjutkan dengan bergabung bersama iCreativelabs yang berbasis di Bandung. Sempat berkarir menjadi CTO Techstorm Singapura tidak membuat berhenti bermimpi membuat perusahaan sendiri.
Langkah awal menjadi seorang entrepreneur dimulai dengan mengembangkan Travel in Seven, sebuah blog dan mobile app khusus kuliner. Sayangnya usaha perdana ini tidak berjalan sukses, sehingga harus masuk gudang alias ditutup. Meski demikian Asep tidak berhenti di situ. Ia mendirikan lagi perusahaan keduanya PT Diasfiko Bintang Kreasi (Amazing Milk), sebuah digital marketing agency. Oleh karena suatu hal, nama perusahaan ini berganti menjadi PT Froyo Kreatif Indonesia (Froyo Story). Manajemennya tetap sama dan memposisikan diri ke online dan offline marketing agency.
Asep bisa dibilang termasuk pengembang yang banyak menelurkan karya, baik untuk pribadi maupun untuk proyek kliennya. Dia menyebutkan, “Kalau apps untuk klien sih sudah banyak ya kalau disebutkan satu-satu, tapi kalau apps dan web app pribadi ada beberapa. Mulai dari beberapa mobile theme e-commerce gratisan untuk Wordpress di tahun 2011-an, zaman belum terlalu ngetop ya kayanya mobile.”
Tetapi yang namanya indie, tentu saja uang atau suntikan modal dari pemodal besar bukan hal yang paling penting. Di tahun 2014 ini, Asep menggawangi Travees yang membantu mencatat pengeluaran yang dilakukan saat dinas perjalanan kantor. Diharapkan aplikasi ini memudahkan pengguna untuk menyusun laporan pengeluaran dinas ketika kembali ke kantor.
Terkait dengan Halal Data, ia mengakui karya terakhirnya ini merupakan hal yang paling membanggakan karena menurutnya aplikasi Halal Data ini bukan aplikasi yang bertujuan untuk mendapat keuntungan. Menurut Asep, “Sejauh ini saya meniati Halal Data itu sebagai CSR saya sebagai developer, Muslim, dan traveler.”
Asep mengatakan bahwa ide-ide yang didapatnya untuk aplikasi yang dikeluarkan adalah hasil dari permasalahan yang dia hadapi sendiri. Sebelum meraciknya menjadi sebuah aplikasi, ia melakukan riset kecil-kecilan untuk sekadar mengetahui, bahwa kesulitan yang dihadapinya juga dirasakan oleh orang lain.
Kendala yang dia rasakan untuk pembuatan aplikasi independen bukanlah dari ide yang mandek, melainkan lebih banyak terkait masalah waktu. Solusi Asep adalah dengan membagi waktunya antara proyek pribadi dan proyek klien. “Saya sering sekali harus membagi waktu antara mengerjakan proyek klien di kantor saya Froyo Story, dengan keinginan untuk mengembangkan proyek-proyek pribadi untuk menuntaskan ego. Jalan tengahnya biasanya siang untuk kantor dan malam untuk proyek ego.”
Kendala lain yang diakui adalah masalah desain UI (user inteface) karena ia mengakui tidak begitu menguasai masalah ini. “Cuma saat ini kendala desain sudah tidak terlalu masalah, karena akhirnya saya menikahi seorang UI designer,” kelakar Asep menutup perbincangannya dengan DailySocial.
[Foto: Dok. pribadi]