1. Startup

Bagaimana Sejatinya Sebuah Perusahaan Fintech Syariah?

Bagi para Muslim di Asia Tenggara, layanan ini sangat berguna, bahkan dibutuhkan

Asia mendorong pertumbuhan bisnis jenis baru dalam dunia fintech. Dengan perkiraan dana senilai $22,7 miliar yang disalurkan pada akhir 2018, industri keuangan di kawasan ini telah mengalami perubahan signifikan dalam hal teknologi.

Hal ini termasuk dalam industri finansial syariah yang kian menjadi fokus di negara Asia Tenggara dengan jumlah populasi umat muslim terbanyak, seperti Indonesia dan Malaysia. Sejatinya, finansial islami atau berbasis syariah mengacu pada aktivitas finansial yang dijalankan sesuai dengan syariat Islam. Terdapat sekitar 1,6 miliar umat Islam di Asia - mayoritas bertempat di Indonesia - yang menuntut solusi finansial berbasis syariah yang inklusif dan efektif, memungkinkan segmen lain yang jangkauannya lebih luas dalam masyarakat, termasuk mereka yang belum terjamah layanan bank atau underbanked.

Menurut sebuah perusahaan akuntansi global, KPMG, terdapat sekitar 438 juta orang yang belum terjangkau layanan bank di Asia Tenggara, dengan mayoritas konsumen pada ekonomi layaknya Indonesia, Malaysia, atau Filipina memiliki akses sangat sedikit terhadap layanan finansial. Bagi 240 juta umat Islam di Asia Tenggara, perusahaan fintech berbasis syariah menjadi alternatif solusi finansial, seperti platform P2P dan urun dana, dengan proses penerimaan yang cepat dan aksesnya luas.

Berbasis syariah

Dari penuturan Shabana M Hasan, seorang ahli dari Akademi Riset Syariah Internasional pada Finansial Islami di Malaysia (ISRA), finansial Islam adalah sistem finansial yang diteruskan dari kitab suci Islam (Qur'an) dan tradisi nabi (Sunnah). Prinsip dasar sistem finansial Islam adalah penegakan keadilan dan kesetaraan dalam semua kesepakatan dan transaksi. Hal ini diwujudkan melalui empat larangan fundamental: riba, spekulasi (qimar), pendapatan di muka (masyir), ketidakpastian (gharar).

Singkatnya, riba mengacu pada semua bentuk bunga yang melipatgandakan pengembalian pada pinjaman. Dalam finansial Islam, hal ini tidak diperkenankan karena dapat menimbulkan ketidaksetaraan kekayaan, peningkatan jumlah hutang, dan mengarah pada eksploitasi. Spekulasi (qimar) sama dengan istilah zero-sum game dimana dalam transaksi keuangan, pemenang akan mendapat kekayaan dari jumlah pengeluaran yang kalah. Islam melarang spekulasi finansial karna merepresentasikan sebuah tindakan persuasif yang tak bermoral. Pendapatan di muka (maysir) mengacu pada jenis pendapatan yang dihasilkan sesuai peruntungan. Ketidakpastian (gharar) meliputi setiap transaksi yang memiliki unsur ambiguitas, ketidakpastian, dan beresiko. Misalnya, penjualan dengan harga atau barang yang sifatnya tidak jelas dan dianggap tidak valid. Hal ini juga yang menjadi dasar pelarangan berbagai instrumen keuangan yang sifatnya diteruskan - seperti futures dan options - dalam finansial Islam.

Dalam rangka menghindari riba serta berbagai larangan, finansial berbasis syariah kini memanfaatkan kesepakatan berbasis aset dan ekuitas demi mempromosikan pembagian resiko. Alasannya untuk menyelaraskan kepentingan semua pihak dengan adil dan sama rata.

Kehadiran industri fintech, menurut Shabana, akan membawa dampak besar bagi pelanggan, terutama dalam hal inklusi finansial dan kenyamanan. "Startup fintech Syariah telah membuka sebuah sumber pendanaan baru bagi UKM [usaha kecil dan menengah], yang nyatanya akan mengalami kesulitan untuk meraih pendapatan berbasis syariah dari bank. Jadi, dengan layanan fintech syariah, mereka yang belum terjangkau layanan bank bisa memulai riwayat kreditnya demi mencapai inklusi finansial."

Perusahaan fintech syariah juga mencanangkan aktifitas keuangan yang lebih sederhana, nyaman dan ramah pengguna bagi pelanggan yang menginginkan transaksi berjalan selaras dengan prinsip-prinsip di keyakinan mereka. "Efisiensi dan transparansi yang dilakukan fintech tidak hanya memberi kenyamanan, tapi juga membangun kepercayaan publik terhadap sistem secara keseluruhan."

Hingga kini fintech telah mentransformasi banyak area dalam finansial syariah di Asia. Jenis layanan utama yang ditawarkan oleh perusahaan fintech syariah adalah pinjaman peer-to-peer (P2P) , crowdfunding, transfer uang, pembayaran mobile, platform perdagangan, manajemen kekayaan, dan asuransi.

Perkembangan Lanskap

Dengan persyaratan khusus syariah, apa yang menjadi tantangan dalam perkembangan fintech syariah? Menurut lanskap fintech syariah IFN - inisiatif internasional yang memetakan pasar perusahaan fintech syariah - terdapat banyak bisnis yang terjun ke dalam industri ini. Pada akhir 2018, terdapat total 113 perusahaan aktif atau dalam tahap peresmian; 46% nya berada di Asia.

Alami, sebuah perusahaan yang menawarkan marketplace untuk pendanaan UKM berbasis syariah, berhasil menyalurkan dana senilai Rp17 miliar (USD 1.2 juta) melalui platformnya ke berbagai UKM di  Indonesia pada Agustus 2019. Menurut pendiri dan CEO Alami, Dima Djani, ada permintaan pasar yang signifikan terhadap solusi fintech berbasis syariah di negara ini.

"Indonesia memiliki populasi Muslim terbanyak di dunia, terdapat lebih dari 200 juta orang dengan penetrasi industri perbankan Islam hanya 8%," kata Dima. "Kami percaya potensi pasar keseluruhan bisa mencapai setidaknya dua kali lipat dari jumlah itu dalam waktu lima tahun, mengikuti rencana pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penetrasi pasar menjadi 15% pada tahun 2023. Sementara permintaan UKM untuk solusi finansial syariah kian meroket, pergerakan bank cenderung lambat dari yang diperkirakan. Inilah yang menjadi alasan Alami untuk mengadopsi pendekatan finansial P2P untuk akselerasi."

Finansial P2P, yang juga dikenal dengan crowdfunding syariah, adalah solusi fintech yang umum ditawarkan dalam pendanaan syariah. Menggunakan format ini, investor mulai berkontribusi pada proyek-proyek yang sesuai dengan syariah yang ada dalam platform perusahaan fintech, sebagai imbalan untuk pembayaran pokok dengan profit.

Dana Syariah, perusahaan fintech lain yang berbasis syariah di Indonesia, juga menjalankan crowdfunding berdasarkan prinsip syariah. Perusahaan ini mengakhiri tahun 2018 dengan RP80 miliar yang disalurkan melalui platform urun dana dengan target Rp500 miliar di akhir 2019.

Atis Sutisna, pendiri dan CEO Dana Syariah menjelaskan bahwa untuk memastikan semua proyek dalam platform sudah sesuai dengan prinsip syariah, perusahaan mengawasi secara ketat selama proses seleksi hingga selesainya. "Misalnya, sebelum membiayai proyek properti, analis kami akan lebih dulu menganalisis kelayakan proyek tersebut untuk pendanaan. Saat semua persyaratan sudah terpenuhi, tim kami akan menentukan biaya untuk bahan bangunan, serta biaya operasional yang membutuhkan dana. Kami pun akan memantau seluruh proyek pengembangan untuk memastikan semuanya sesuai kontrak dan syariah.

Atis juga mengatakan bahwa setiap transaksi dalam platform harus berdasarkan hukum syariah dan atas persetujuan Dewan Pengawas Syariah. Di Indonesia, dewan penasihat ditunjuk oleh Majelis Ulama Indonesia.

Dima Djani dari Alami menegaskan persyaratan dari peraturan ini "Produk dan bisnis model kami harus terlebih dulu disaring oleh Dewan Pengawas Syariah dilanjutkan ke divisi syariah Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK). CEO dan kepala divisi produk kami juga mengikuti pelatihan produk finansial syariah yang ditawarkan Majelis Ulama Indonesia. Di Alami, kami tidak hanya fokus pada kepatuhan syariah, tetapi juga prinsip-prinsipnya."

Di Indonesia, untuk mendapatkan lisensi, OJK dan Majelis Ulama Indonesia mengharuskan setiap perusahaan fintech syariah untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah sendiri.

Isu Kepercayaan

Kendati permintaan atas finansial syariah tidaklah sulit, untuk mendapatkan kepercayaan pasar adalah suatu perjuangan bagi perusahaan fintech syariah. Atis Sutisna dari Dana Syariah mengatakan bahwa kredibilitas adalah sesuatu yang penting dalam sektor ini. "Permintaan pasar atas finansial syariah kian meningkat, mereka sedang mencari alternatif investasi tanpa riba. Namun, tantangan terbesarnya adalah ketika menyinggung kredibilitas brand."

"Ada stigma yang beredar di sekitar bisnis terkait Islam. Dahulu, banyak kasus penipuan bisnis yang mengatasnamakan agama, hal ini menciptakan persepsi negatif di kalangan masyarakat yang mengaku patuh pada hukum syariah. Inilah alasan mengapa penyuluhan publik itu penting bagi kami, "Kami mencoba mendidik masyarakat tentang perusahaan kami melalui keterlibatan masyarakat, pemasaran digital, talkshow di radio, dan penampilan di TV," tambah Dima.

Dima Djani dari Alami sependapat. "Kami menanggapi kredibilitas dengan sangat serius. Alami pun telah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi seperti Kompetisi Ventura INSEAD dan Taqwatech di Malaysia Tech Week. Tim kami juga adalah mantan pekerja bank, yang memahami bisnis dan pasar."

"Bagaimanapun juga, ada isu kredibilitas terkait bisnis syariah di Indonesia yang dijalankan oleh orang-orang non-profesional. Hal ini terkait dengan pemahaman publik atas konsep finansial syariah itu sendiri. Kami merasa bahwa kurangnya edukasi pasar untuk model P2P dan keuangan syariah," ujar Dima. "Indonesia adalah  negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi sistem finansial Islam tidak diajarkan di sekolah, dan kami melihat ini sebagai tantangan yang signifikan ketika datang untuk mengenalkan masyarakat dengan layanan kami."

Hal ini menyulitkan perusahaan fintech syariah dalam merekrut personilnya, terlebih pada saat konglomerat teknologi mulai menyerap tenaga kerja berbakat. "Sebagai startup fintech tahap awal yang syariah, kami merasa kesulitan untuk bersaing dengan unicorn dalam kompetisi merekrut tim IT profesional," ujar Atis.

- Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial