Brand Lokal Popsiklus: Upcycling Barang Bekas Jadi Produk Bernilai Tinggi
Kisah sukses brand lokal Popsiklus dengan digitalisasi bisnisnya yang masih menjadi tantangan.
Popsiklus merupakan brand lokal yang bergerak di bidang seni rupa terapan atau craft. Brand lokal satu ini populer dengan konsep ramah lingkungan yang diusungnya, yakni upcycling atau menghidupkan kembali bahan-bahan bekas pakai menjadi barang fungsional yang artistik.
Sebagai informasi, istilah upcycling berbeda dengan recycling yang lebih umum di masyarakat. Upcycling merupakan proses daur ulang barang bekas menjadi barang dengan manfaat baru, tanpa menghilangkan bentuk aslinya. Sementara, pada proses recycling, bentuk asli barang bekas dihancurkan untuk diolah menjadi barang yang lain.
Baru-baru ini, Popsiklus baru saja mendapat kehormatan dari ajang perhargaan UNESCO bagi para pengrajin lokal yakni Indonesia Handicraft (Inacraft) Awards 2022. Brand lokal ini memenangkan kategori produk other materials atas produk upcycle yang diusungnya.
Bisnis kerajinan daur ulang yang telah berdiri sejak 2009 ini diinisiasi oleh Kurniati Rachel Sugihrehardja atau akrab disapa Nia. Mula-mula berdiri, Nia menggunakan nama ‘Bikinbikincraft’ pada brand yang dirintisnya, sebelum akhirnya berganti nama menjadi ‘Popsiklus’, yang digunakan hingga sekarang.
Dari Karton Susu Bekas Jadi Barang Berkualitas
Sejak awal berdiri, Nia konsisten menghasilkan produk-produk daur ulang artistik bernilai tinggi yang diolah dari limbah rumah tangga. Produk-produk Popsiklus yang dihasilkan antara lain tas besar, totebag, dompet, notebook hingga cable holder. Menyasar market kelas menengah ke atas, produk tersebut dipatok dengan kisaran harga jual 395 ribu hingga 550 ribu rupiah.
Terciptanya beragam produk Popsiklus sendiri bermula dari tumpukan karton susu bekas milik Nia di rumah. Ia melihat, limbah tersebut kerap kali enggan dilirik oleh petugas pengangkut sampah. Akhirnya, dari sana ia melihat secercah potensi cuan.
Berdasarkan pengamatannya, karton susu bekas itu mempunyai bentuk dan struktur bahan yang kuat. Menurut Nia, potensi ini dapat menjadi peluang baginya untuk berkreasi menciptakan sesuatu yang bermanfaat.
“Dari tumpukan karton susu bekas yang ada di rumah itu, lahirlah ide untuk memberi jiwa dan fungsi baru, dengan upcycling atau menghidupkan kembali karton susu bekas pakai yang siap buang menjadi barang fungsional yang artistik,” kata Nia.
Alur Produksi Produk Popsiklus
Proses pembuatan produk Popsiklus dikerjakan oleh tangan Nia langsung serta dibantu oleh lima orang pegawainya, yang terdiri atas tiga pekerja tetap dan dua pekerja lepas. Nia berkata, proses produksi yang dijalaninya itu tidaklah sederhana.
Dalam menciptakan satu produk upcycling artistik bernilai tinggi itu, Nia membutuhkan banyak karton susu bekas sebagai bahan baku. Misalnya, pada produk unggulan Popsiklus yakni tas besar, diperlukan sebanyak 11 hingga 12 buah karton susu bekas.
“Lalu, waktu yang diperlukan dalam proses pembuatan tas tersebut memakan kurang lebih lima hingga tujuh hari kerja,” jelas Nia.
Ia juga bercerita bahwa pembuatan produk Popsiklus, bergantung pada ketersediaan limbah karton susu bekas yang dimiliki dan diterimanya. Jadi, produknya tidak memiliki target stok atau produksi yang tetap.
“Saya hanya membuat produk sesuai dengan limbah yang tersedia, karena bahan bakunya sendiri juga memerlukan proses yang cukup lama untuk siap diolah,” katanya.
Sebelum karton susu bekas tersebut disulap menjadi produk daur ulang siap pakai, ada beberapa tahapan produksi yang dilewati. Mulai dari pengumpulan limbah karton susu sebagai bahan baku utama, hingga siap diolah menjadi produk siap jual.
“Pengumpulan limbah karton susu tidaklah mudah karena saya menggunakan karton susu dalam kondisi apa adanya, tidak melalui proses penghancuran, sehingga kondisi karton susu bekas pakai harus nya sangat prima,” ungkap Nia.
Nia mengungkapkan bahwa Popsiklus memiliki syarat dan ketentuan yang ketat, untuk limbah karton susu yang dikumpulkan, baik yang datang dari timnya atau dari para pendonasi limbah. Ia mengaku tidak akan menerima limbah karton susu yang belum di cuci bersih.
Setelah steril, karton susu bekas tersebut akan dipotong secara manual, satu demi satu, sebelum akhirnya melalui tahapan menciptakan tekstur bahan. Setelah itu, bahan baku dari bahan bekas tersebut akan dijahit menjadi sebuah produk, yang juga akan dipadupadankan dengan material lain untuk mempercantik tampilan produk.
Tantangan Popsiklus dalam Digitalisasi Bisnis
Selang beberapa tahun sejak berdiri, Popsiklus mulai berani mengenalkan produknya lebih luas lagi ke masyarakat, melalui penggunaan media sosial, seperti Instagram. Dari platform tersebut, konsumennya dapat mengenal hingga melakukan pemesanan produk.
Hingga kini, Popsiklus masih aktif mempromosikan produknya di Instagram. Sebagai pemilik, Nia rajin membagikan foto produk unggulannya, berikut dengan cerita terkait setiap produk dari brand yang ia bangun tersebut.
Pemanfaatan platform media sosial menjadi upaya digitalisasi bisnis yang dilakukan Popsiklus. Namun, Nia mengaku digitalisasi bisnis pada brand-nya saat ini belum maksimal. Terdapat kendala yang menjadi tantangan tersendiri baginya dalam melakukan digitalisasi tersebut.
Pertama, Popsiklus belum dapat melebarkan sayap usahanya dengan pemanfaatan e-commerce atau marketplace. Alasannya karena terdapat kendala teknis. Nia menilai, produk Popsiklus tidak dapat diproduksi secara cepat.
“Jadi, saat ini Popsiklus baru hadir di media sosial melalui Instagram saja. Selebihnya, pemesanan hingga pembelian produk dapat dilakukan melalui WhatsApp, atau secara offline di acara bazaar,” kata Nia.
Kedua, Nia merasa sebagai brand yang memproduksi barang upcycling, tidak ideal bagi konsumen Popsiklus melakukan pembelian secara online. Ia berkata bahwa konsumennya perlu memegang langsung sebelum membeli.
“Rasanya tidak ideal kalau tidak lihat langsung. Gak kebayang, gitu, bagaimana produk upcycling yang dibuat dari karton susu bekas. Jadi, memang lebih enak kalau bisa pegang langsung,” tegasnya.
Misi 'Go Green' di Balik Produk Seni Rupa
Selain fokus menciptakan produk daur ulang artistik berkualitas, brand lokal yang mengusung slogan “reimagining waste” atau memikirkan kembali limbah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan ini, memiliki misi untuk mempopulerkan semangat siklus daur ulang limbah.
Tujuannya, agar limbah rumah tangga seperti karton susu bekas tidak langsung berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020, limbah rumah tangga menjadi penyumbang terbesar komposisi sampah nasional, yakni sejumlah 37,3% dari total 67,8 juta ton sampah yang ada.
Popsiklus meyakini bahwa segala sesuatu memiliki potensi untuk di dayagunakan kembali, salah satunya karton susu bekas pakai. Brand lokal yang berlokasi di Cimahi, Jawa Barat ini, masih berkomitmen menggunakan barang bekas pakai pada sebagian besar produknya.
“Kami berharap semangat untuk mempopulerkan siklus daur ulang dapat terus ditularkan kepada lingkungan terdekat sekitar, dan dapat melakukan pengembangan produk dengan teknik, bahan dan variasi desain lainnya.” ujar Nia terkait misinya.
Lebih jauh dari itu, Nia berharap agar kedepannya masyarakat dapat lebih peduli dan tanggung jawab atas sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari, supaya tidak merusak lingkungan. Apalagi, saat ini sampah menjadi sumber permasalahan serius bagi lingkungan, yang tak kunjung terselesaikan.