idEA: TikTok Shop Bukan Satu-satunya Penyebab Tanah Abang Sepi
Merangkum hasil diskusi para stakeholder bertajuk "Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital"
Pemerintah resmi melarang TikTok memfasilitasi transaksi jual beli di Indonesia. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) pun menggelar focus group discussion (FGD) bersama Kementerian Perdagangan dan asosiasi UMKM, dengan tema "Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital" yang digelar pada awal pekan ini (25/9).
Wakil Ketua Umum idEA Budi Primawan menyampaikan, asosiasi berusaha memfasilitasi komunikasi dan ruang untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan lengkap dari berbagai pihak, seperti pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pelaku usaha. “Sehingga seluruh peserta dapat mendengar dan memahami secara menyeluruh terkait isu social commerce ini,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Ketua Bidang Business & Development idEA Mohammad Rosihan menilai sepinya penjualan di pasar offline bukan semata lantaran peralihan perilaku konsumen ke digital, melainkan menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah yang menyangkut turunnya daya beli. Ini menurut pendapatnya yang juga pelaku usaha.
“Kami tidak lagi banyak yang membeli ke Tanah Abang, karena penjualan di daerah juga sepi. Mungkin ini juga menyangkut turunnya daya beli,” ujarnya.
Pendapat Rosihan didukung dengan testimoni dari salah satu pelaku usaha yang menggunakan semua kanal digital, Andre. Ia mengaku memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan social commerce. “Dengan sistem algoritma yang diberlakukan, penjualan bisa terdongkrak,” kata dia.
Produk yang Andre jual merupakan hasil kerja sama dengan konveksi lokal. Jadi pihaknya juga membantu mendorong penjualan produk dalam negeri. Pada akhirnya, ia dapat menjualnya dengan harga dan keuntungan yang tidak terlalu besar, tapi penjualannya bisa banyak. “Memang ada insentif diskon dari platform tersebut, namun kuotanya terbatas.”
Pengumpulan dan transfer data yang diduga terjadi dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya penjualan di social commerce. Hal tersebut disinyalir pada berseliwerannya produk impor, baik legal maupun illegal, dengan harga yang tidak masuk akal karena sangat murah.
Terkait soal itu, Peneliti industri digital Ignatius Untung menyampaikan pro-kontra sebenarnya tidak perlu. Menurutnya, transfer data ini dilakukan oleh semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen. “Pemilik Google, e-commerce, media sosial berbeda, tapi melakukan yang sama,” kata Untung.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Harris Sofyan juga khawatir dengan pelaku usaha besar yang mampu mengikuti perkembangan dengan ikut program afiliator. “Pemain besar mungkin bisa mendorong tayangnya produk, banting harga, dan lainnya,” kata Harris.
Di satu sisi, banyak pelaku UMKM yang mengeluh mau mencoba bertransformasi tapi kurang literasi. Misalnya sudah live di TikTok Shop, tapi secara penjualan belum maksimal. “Oleh karena itu, perlu pelatihan dan program literasi digital utamanya untuk UMKM di daerah supaya mereka mendapatkan manfaat yang optimal dari social commerce.”
Menanti aturan social commerce
Di lain pihak, revisi Peraturan Menteri perdagangan RI (Permendag) No. 50 sangat dinanti untuk kejelasan aturan operasional social commerce. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan aturan tersebut sudah siap untuk diajukan ke Kemenkumham setelah melewati harmonisasi dan mendapat surat persetujuan dari presiden.
“Kami berupaya tidak ada bisnis yang menguasai dari hulu ke hilir. Kami berusaha membuat definisi yang clear terkait retail online, marketplace, social-commerce.”
Ia juga menjelaskan akan ada tindak lanjut revisi Permendag tersebut melalui komunikasi dengan Kemenkominfo terkait strategi mengidentifikasi platform media sosial dan lainnya. Kominfo nantinya akan berfokus pada penguatan ekosistem e-commerce-nya. Mengatur hardware, software, tata kelola, dan orang.
More Coverage:
“Kementerian lain pada penguatan sektoralnya,” tambah Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto berharap masih ada ruang diskusi terkait penerapan Revisi Permendag No. 50 tersebut. Ia menegaskan pelaku industri digital siap untuk duduk bersama pemangku kebijakan untuk mencari cara terbaik dan tepat untuk menerapkan aturan yang bisa mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
“Dan untuk bisa menindaklanjuti penerapannya, kami berharap untuk bisa mendapatkan peraturan ini secara lengkap. Kami akan mengkaji apa saja yang perlu dilakukan nantinya,” pungkasnya.