Ketika Perusahaan Divaluasi Berdasarkan Jumlah Paten yang Dimilikinya
Coba tengok lagi berita yang sedang "panas" di Silicon Valley sana. InterDigital dan Kodak tiba-tiba menjadi primadona karena statusnya yang on-sale dan memiliki banyak paten. Palm kembali menjadi buah bibir setelah HP menghentikan pengembangan device-nya, simply karena Palm memiliki webOS dan sekian ribu paten. Kebanyakan dari kita malah belum pernah mendengar nama InterDigital sebelumnya, tapi dia sudah menjadi incaran perusahaan raksasa macam Apple dan Qualcomm.
Apa yang sebenarnya terjadi? Terpeleset sedikit, sebuah perusahaan dapat dituntut ratusan juta bahkan miliaran dollar karena melanggar properti intelektual. Yang lebih payah sebenarnya adalah rangkaian panjang penyelesaiannya di pengadilan yang dapat memakan berbulan-bulan dan pembayaran jasa pengacara yang tidak murah. Setelah diputuskan, tiba-tiba pemilik paten mendapatkan penghasilan signifikan di luar core business-nya sendiri. Buat saya hal ini cukup memprihatinkan karena perang paten yang melelahkan menurut saya tidak mendorong adanya inovasi dan kontraproduktif.
Saya pernah membaca sebuah blog post yang ditulis oleh mantan CEO Sun Microsystem, Jonathan Schwartz, tentang kenapa Apple dan Microsoft tidak pernah berani menuntut Sun soal pelanggaran paten di pengadilan. Simpelnya, itu karena Microsoft dan Apple juga melanggar paten yang dimiliki oleh Sun. Don't bite anyone if doesn't want to get bitten. Paten menjadi perlindungan mujarab untuk terhindar dari tuntutan pelanggaran hukum akibat penggunaan teknologi tanpa izin.
"Perlindungan" seperti ini yang akhirnya dicari oleh Google. Untuk membentengi dirinya dari "serangan" tuntutan berbagai sumber, Google perlu memiliki senjata paten yang lebih banyak. Setelah "tidak berhasil" mengambil 6000 paten milik Nortel, Google strikes back dengan menguasai 17 ribu paten yang dimiliki oleh Motorola Mobility dan jika ditambahkan dengan permohonan paten yang masih bersifat pending bisa mencapai total 24 ribu buah.
Dengan nilai akuisisi $12.5 miliar, jika semua paten (termasuk yang pending dihitung) berarti 1 paten bernilai $500 ribu, itu jika mengasumsikan semua pegawai dan aset tidak bernilai lagi bagi perusahaan yang mengakuisisi. Siapa tahu dengan penguasaan paten baru, pihak-pihak yang selama ini getol menuntut Google bakal mundur gara-gara ternyata memiliki pelanggaran terhadap paten yang dimiliki oleh Motorola.
Jalan pengadilan -- seandainya terjadi perang paten -- tentunya bakal melelahkan. Nokia membutuhkan waktu 20 bulan untuk menyelesaikan kasusnya dengan Apple untuk mendapatkan tambahan dana sekitar $600 juta. Entah berapa besar modal yang telah dikeluarkan untuk memenangkan kasus ini, sebagai last resort Nokia setelah makin kalah bersaing dengan pembuat ponsel Amerika -- karena royalti juga bakal dibayarkan oleh vendor pengguna Android akibat pelanggaran serupa. Lagi-lagi, perang paten merupakan perang para titan, di mana rakyat jelata harus bisa berkelit dan bertahan untuk tidak terinjak-injak.
Bagaimana dengan Indonesia dan startup scene-nya? Diakui bahwa paten belumlah menjadi DNA untuk setiap inovasi yang dilakukan oleh perusahaan di sini. Saya sesungguhnya belum bisa membayangkan jika di Indonesia terjadi hal yang serupa. Jika Anda bukanlah perusahaan berkocek besar, bisa dipastikan mengejar royalti dari paten bakal menjadi usaha yang super duper mahal. Apalagi jika ternyata lawan Anda memiliki bisnis berskala usaha Goliath untuk usaha Anda yang ibaratnya seukuran David.
Buat saya, bagi startup di Indonesia, tetaplah stick kepada pilihan core business Anda, buatlah paten untuk inovasi Anda, dan biarkan paten lebih berfungsi menjadi payung hukum yang dapat menghentikan pihak lain dari usahanya meniru apa yang sudah Anda miliki. Mencari duit berdasarkan paten belumlah menjadi issue yang feasible untuk startup. Selain itu buka matalah lebar-lebar soal hak kekayaan intelektual dan berkonsultasilah dengan praktisi di area ini supaya tidak tersandung di kemudian hari.
[sumber gambar: Savage Chickens oleh Doug Savage]