1. Startup

Kompasiana: Kampanye Hitam VS Kampanye Negatif

Jika diperhatikan, masa pemilihan presiden di Indonesia rasanya tidak pernah seseru dan semenarik tahun ini. Salah satu penyebabnya, memang karena Pilpres 2014 hadir di era sosial media sedang meraja.Media sosial saat ini ramai berisi tentang isu seputar, pemilihan presiden mendatang. Sebagian besar dari list pertemanan kita, sibuk ngomongin politik. Mulai saling komentar, berbagi link berita, atau tulisan. Menariknya, saat jelang Pemilu 2014 ini, Kompasiana, salah satu situs penyedia blog, mendapat lonjakan peningkatan traffic pengunjung.

“Dalam satu minggu saja pageviewnya dari 29 juta naik menjadi 34 juta. Itu kan sesuatu sekali, dan terjadi hanya di moment Pemilu ini,” ujar  Pepih Nugraha, manajer Kompasiana, saat dihubungi DailySocial via telpon.

Lebih lanjut, Pepih menjelaskan bahwa lonjakan pengunjung ini sudah diantisipasi sebelumnya. Kompasiana telah belajar dari Pemilu 2009, yang pada saat itu mereka baru berusia satu tahun, ketika ramai pengunjung saat jelang pesta demokrasi tersebut.

Lonjakan ini dianggap sesuatu yang wajar. Sebagai media warga, Kompasiana menjadi wadah bagi pemilih untuk menyalurkan aspirasinya seputar Pemilu melalui tulisan.  “Pemilih ingin mengekspresikan aspirasinya, Kompasiana wadahnya,” begitu tutur Pepih.

Untuk mengantipasi lonjakan yang terjadi, Kompasiana kali ini sudah bersiap dengan menyediakan penambahan fitur di dalamnya. “Saat ini di Kompasiana telah ada fitur kotak suara, di dalamnya ada aktivitas untuk pilih-pilh subyek berita politik, berita warga, serta pooling Capres," tutur Pepih menjelaskan langkah antisipasi apa saja yang telah dilakukan Kompasiana jelang Pemilu.

Lonjakan traffic yang terjadi, diakui Pepih juga, memang tidak bisa lepas dari hasil fitur berbagi di media sosial. "Di luaran kan sedang "perang" antara pro Jokowi dan pro Prabowo. Pembaca yang terusik dengan tulisan di Kompasiana men-share-nya melalui media massa. Ada yang mungkin setuju dengan sebuah tulisan dan merasa ini cocok, maka dia ikut membagikannya di media massa. Tulisan menjadi viral dan banyak yang membaca."

Yang menarik, semangat beropini di Kompasiana ini bahkan sudah melebihi sebuah berita di media profesional, yang notabene lebih valid dan lebih bisa dipertanggung jawabkan kesahihannya. Pepih memberi gambaran, dalam portal Kompas Cyber Media, tulisan yang ditulis oleh wartawan profesional dibaca paling banyak sebanyak 200 ribu. "Di Kompasiana ada tulisan yang mencapai 800 ribuan kali dibaca. Bahkan di momen Pemilu ini, Kompasiana bisa menyalip situs-situs berita mainstream seperti Inilah dan Kapanlagi."

Kompasiana Situs Terpercaya? Lalu hal ini, menjadi pertanyaan banyak pihak. Apakah pembaca Indonesia tidak bisa membedakan antara situs berita yang memiliki jajaran redaksi dengan blog yang notabene bisa ditulis siapa saja tanpa harus mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik? Berita-berita yang ditampilkan media umum ditulis oleh wartawan profesional. Selain itu, banyak prasyarat lagi dari sebuah berita untuk bisa dipertanggung jawabkan, di antaranya membahas kedua sisi, melakukan konfirmasi fakta-fakta yang ada, tidak tendensius, dan sederet prasyarat lainnya, serta harus melalui proses redaksional sebelum bisa tampil ke hadapan publik. Sedangkan untuk sebuah blog post bisa ditulis oleh siapapun dan diterbitkan kapan saja sesuai keinginan penulis.

Menanggapi ini, Pepih melihat bahwa pembaca Kompasiana bisa membedakan situs berita dengan blog, namun, tulisan yang tersaji di Kompasiana justru bisa disukai karena merupakan tulisan jujur aspirasi dari warga. Apalagi media-media tertentu ada afiliasi dengan partai politik tertentu, yang membuat warga mencari opini netral tanpa afiliasi apa pun. Kompasiana dalam posisinya menjadi wadah aspirasi, bertindak senetral mungkin.

"Kalau hari ini ada headline tulisan pro Jokowi, tentu harus ada headline juga buat tulisan pro Prabowo. HL dua kubu harus ada."

Namun, bukan berarti Kompasiana tutup mata dan membiarkan situs penyedia blog ini menjadi liar. Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Kompasiana sebisa mungkin melakukan verifikasi kepada penggunanya. Memang dari 250ribu pengguna saat ini, baru terverifikasi sekitar 8000 penulis yang bukan anonim dan jelas identitasnya. Para pengguna ini diberikan centang hijau.

"Ke depannya kami akan memberikan centang biru. Admin akan memilih pengguna yang diberi label centang biru. Pengguna ini tak hanya telah terverifikasi, dengan data yang lengkap, namun tulisannya pun bisa dijadikan referensi. Kami akan terus menyiangi rumput-rumput liar, sehingga Kompasiana bisa menjadi taman yang beragam namun rapih. Itu tugas admin: menjadi wasit."

Kampanye Hitam VS Kampanye Negatif Sengitnya perebutan kursi kepresidenan saat ini tak hanya pada level juru kampanye, namun sudah juga kepada level pendukung. Sekarang ini sedang terjadi sebuah tren, unfriend, unfollow di antara sesama teman di sosial media. Saling adu argumen di kolom komentar hingga keluar caci makian pun ada. Bahkan, bagi sebagian orang yang juga "gerah" melihat timelinenya "dikotori" dengan isu-isu memanas dari kedua kelompok, memilih opsi "I don't want to see this".

Tak jarang, tulisan politik yang dijadikan rujukan tersebut berasal dari Kompasiana. Bahkan, kampanye hitam pun mewarnai perang wacana di ke dua kubu capres kita. "Harus dibedakan, antara kampanye hitam dengan kampanye negatif. Kompasiana berusaha untuk menyingkirkan semua kampanye hitam yang ada di situsnya."

Perbedaan antara dua konten tersebut adalah kampanye hitam mendiskreditkan tanpa dasar. Contohnya, kampanye menyerang dimensi pribadi dari para pasangan capres, seperti isu SARA yang menyerang Jokowi, Prabowo tak becus urus rumah tangga, dan kampanye preferensi seksual anaknya.  Kampanye-kampanye tersebut tak ada hubungan dengan kemampuan seseorang untuk memimpin negeri dan secara moral sudah salah, sehingga tidak pantas untuk disebarkan.

Sedangkan kampanye negatif adalah menguliti sisi negatif kubu lawan, seperti persoalan hubungan ekonomi-politik di antara kekuatan sosial pendukung para capres, atau rekam jejak tentang masalah pelanggaran HAM di masa lalu.

 

[Ilustrasi foto: Shutterstock]