Membangun Sumber Daya Manusia dari Kultur Internal Bisnis
Membahas apa saja pertimbangan orang bertahan pada bisnis, yang harus dibiasakan bisnis, dan strategi mendapatkan pekerja berkompetensi
Terdapat beberapa komponen primer dalam sebuah bisnis yang berjalan, salah satunya adalah sumber daya manusia. Nyatanya dengan dinamika bisnis yang ada saat ini, terlebih bagi bisnis yang sangat bergantung pada teknologi seperti startup digital, dalam pemenuhan komponen sumber daya bukanlah hal yang mudah. Kualifikasi dan kompetensi menjadi pendorong utama.
Kendati ada ketimpangan antara demand dan supply pada pemenuhan sumber daya manusia profesional, nyatanya kasus yang bersumber dari internal kantor pun turut mempengaruhi perputarannya. Sebelumnya mari kita simak bersama hasil survei yang dilakukan oleh JakPat bertajuk "Indonesian’s Resign Habit". yang melibatkan lebih dari 1.800 responden di kalangan profesional berumur 25-45 tahun.
Hasil survei menunjukkan bahwa adanya tren pindah pekerjaan yang cukup intend. Sebanyak 50,06 persen responden menyatakan bahwa sejak ia bekerja sudah pindah 1-3 kali ke tempat yang berbeda. Alasannya paling menarik, kendati yang teratas (65,13%) adalah gaji, namun yang tak kalah signifikan adalah terkait dengan kesempatan meningkatnya karier (57,06%) dan lingkungan kerja (47,46%).
Persentase tersebut turut didukung dengan hasil temuan, bahwa tiga alasan teratas mengapa para pekerja akhirnya memilih pindah adalah (1) merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja, (2) mendapatkan tawaran kerja dengan gaji yang lebih besar, (3) memilih untuk berupaya menemukan posisi jabatan yang lebih baik dan (4) kecewa dengan reward yang diberikan perusahaan atas kontribusi dan juga tidak nyaman dengan kepemimpinan.
Pertimbangan dan investasi untuk sumber daya manusia
Salah satu yang bersinggungan langsung pada kualitas produk atau layanan dalam bisnis tak lain adalah penggeraknya. Untuk itu bisnis perlu untuk mencermati tentang strategi pengelolaan sumber daya manusia. Salah satu kualitas pekerja di dalam tubuh bisnis ternyata juga dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan internal bersanding dengannya. Jika menurut salah satu petinggi Google di bidang sumber daya manusia, ada dua hal yang akan menjadikan seseorang betah dan bertumbuh dalam lingkungan perkerjaan.
Pertama adalah bagaimana kualitas orang-orang di dalam kantor yang bersinggungan langsung dengan pekerjaannya. Semakin seseorang berpartner dengan rekan yang memiliki kualitas kerja baik, maka kecenderungan ia akan bertahan lama. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi para pendiri, karena bagi para pekerja di dalam bisnisnya, salah satu tolok ukur utama untuk poin ini tak lain adalah pendiri dan tokoh-tokoh senior.
Lalu yang kedua adalah bagaimana menciptakan sebuah rasa yang menjadikan para pekerja tersebut merasa bermakna atau dapat berkontribusi aktif dalam bisnis. Kecenderungan orang akan berusaha untuk menjadi "penting", apa yang ia kerjakan berdampak baik dan signifikan bagi bisnis. Hal ini berkaitan dengan bagaimana perusahaan memberikan kesempatan sekaligus tantangan bagi para pekerja. Kepercayaan adalah benang merah dalam poin ini.
Jadi jika berpikir bahwa “uang” adalah segalanya, tidak sepenuhnya benar. Bisa saja melakukan people-push dengan uang, hanya saja akan memberikan dampak pada kultur bisnis yang tidak baik. Terlebih jika diadopsi oleh startup.
Antara people development dan talent aquisition
Memiliki sumber daya manusia yang berkualitas adalah cita-cita semua bisnis. Alasannya sederhana, bahwa bisnis membutuhkan bahan bakar yang tepat untuk mengimbangi persaingan yang makin ketat. Terlebih teknologi, berbagai pembaruan harus selalu diusung untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Untuk itu banyak hal yang bisa dilakukan, salah satu pilihannya ialah people development, yakni melatih pekerja untuk senantiasa menjadi lebih tangkas. Namun dewasa ini strategi talent aquisition juga menjadi tren di kalangan startup digital.
Membicarakan untung rugi antara people development dan talent aquisition maka harus mengembalikan kepada keadaan bisnis tersebut. Keduanya membutuhkan investasi dan memiliki risiko. Soal people development, perusahaan butuh mengalokasikan waktu dan biaya lebih banyak untuk mengadakan training terpadu, risikonya jika pekerja “kabur”. Sedangkan talent aquisition mengharuskan perusahaan menawarkan benefit yang lebih besar dari yang didapat dari perusahaan sebelumnya, risikonya pekerja sulit bersatu dengan visi bisnis.
Pertimbangan lainnya adalah kecepatan. Jika mengandalkan strategi people development memang tidak bisa seinstan talent aquisition, hanya saja prosesnya akan menjadi lebih mudah dipantau. Kembali kepada beberapa alasan seseorang mau mempertahankan jabatannya di sebuah perusahaan, yakni lingkungan yang membangun dan nyaman bagi mereka. Untuk itu perlu menjadi pertimbangan bahwa perusahaan menyajikan career path yang menjanjikan bagi para pekerjanya.
Proses people development turut memudahkan ketika perusahaan membutuhkan regenerasi di jajaran senior. Umumnya tidak bisa dilakukan dengan asal memilih orang yang berkompetensi, tapi dipilih yang berkompetensi plus mengenal betul bagaimana ritme bisnis berjalan. Investasi pada people development tampaknya mampu mengarahkan perusahaan ke arah sana, menjadikan pekerja mampu menyatu dengan visi bisnis secara keseluruhan.
Namun kembali lagi, itu hanyalah opsi. Apapun yang dipilih pastinya selalu akan dihubungkan dengan kebutuhan dan strategi bisnis yang telah dituliskan. Yang perlu digarisbawahi bahwa tak akan terlahir sebuah produk yang menjanjikan ketika diproduksi oleh tangan yang tidak berkompetensi. Sumber daya manusia sudah selayaknya dijadikan poin krusial dalam pembahasan utama bisnis, pun di level startup.