Mempertanyakan Efektivitas Kelas-kelas Daring Program Kartu Prakerja
Banyak alasan untuk menuntut pelatihan daring di program kartu prakerja menjadi lebih baik
Program kartu prakerja adalah salah satu kebijakan pemerintah yang paling mencuat selama pandemi Covid-19 berlangsung. Program ini awalnya dibuat murni untuk penduduk usia muda yang butuh kemampuan tambahan agar sesuai kebutuhan kerja. Komposisi pelatihan ini awalnya dirancang dilakukan secara tatap muka dan daring.
Namun wabah menempatkan pemerintah ke posisi dilematis sehingga mengubah komposisi tersebut menjadi sepenuhnya pelatihan daring dengan tambahan insentif tunai kepada peserta. Sejak program berlangsung, kritik meluncur deras terhadapnya. Selain dianggap tak tepat secara momentum, efektivitas program ini pun dipertanyakan.
Program kartu prakerja ini menggandeng sejumlah perusahaan digital mulai dari Ruangguru, MauBelajarApa, Sisnaker, Tokopedia, Bukalapak, HarukaEdu, PijarMahir, dan Sekolah.mu. Dari delapan mitra itu, hanya Sisnaker dan PijarMahir yang tercatat sebagai penyelenggara pelatihan dari pemerintah. Keberadaan nama-nama perusahaan teknologi sebagai penyelenggara lantas tak otomatis membuat seluruh konten di dalam program tersebut berkualitas.
Konten-konten ganjil
Ada beberapa konten pelatihan yang dinilai cukup absurd oleh banyak orang. Kesampingkan dulu soal urgensi program ini, sejumlah kelas pelatihan malah cenderung memperlihatkan program ini hanya hanya untuk mencari cuan semata.
Kita bisa menengok paket pelatihan ojek online yang dihargai Rp1 juta oleh SkillAcademy milik Ruangguru. Paket ini mencakup kelas perencanaan keuangan, teknik pelayanan, percakapan bahasa Inggris, teknik mengelola stres, hingga manajemen waktu agar lebih produktif dalam bekerja. Kelas-kelas tersebut dinilai mengada-ada ketika mayoritas gig worker seperti pengemudi transportasi online tak bisa lagi mengaspal karena minimnya permintaan.
Pelatihan lain yang tak kalah absurd seperti kelas membuat kroket ayam keju dari MauBelajarApa. Kelas seperti ini dihargai Rp400 ribu. Yang satu ini begitu absurd sehingga konten-konten memasak gratis ala Sobat Dapur dan William Gozali di YouTube seakan tak pernah ada.
Handini (25) merupakan salah satu peserta yang berhasil diterima dalam kebijakan kartu prakerja ini. Ia memilih paket sukses kerja sampingan dari SkillAcademy senilai Rp1 juta. Handini mengaku kecewa akan materi pelatihannya karena levelnya sangat basic. Hal itu jauh dari harapannya dari video pelatihan dengan banderol sebesar itu.
"Pelatihannya basic banget. Sepertinya saya bisa banyak menemukannya juga di beberapa situs lain secara gratis," aku Handini.
Kedangkalan materi juga dirasakan oleh Anjas (21). Pemuda asal Depok ini mengambil paket pelatihan bahasa Inggris untuk menambah modal keahliannya ketika nanti kembali bekerja di industri perhotelan. Meskipun kualitas konten cukup baik, Anjas merasa jumlahnya jauh dari cukup. Ia pun berharap jumlah bantuan tunai dari program ini dapat lebih besar dari Rp600.000.
"Karena kalau lagi seperti ini yang lebih dibutuhkan tunainya dan skema jadwal pencairan dana insentifnya jangan terlalu lama," tukas Anjas.
Aplikator terlalu diuntungkan
Kritik atas kebijakan kartu prakerja ini memang banyak. Namun sedikit yang dapat menerjemahkannya sebagai solusi alternatif. Muhammad Faiz Ghifari mungkin salah satunya. Pendiri startup Bubays ini punya tiga alasan mengkritik keberadaan kebijakan kartu prakerja. Pertama karena dana Rp5,6 triliun dari APBN untuk program ini kurang tepat ketika banyak kebutuhan lebih mendesak selama pandemi berlangsung.
Kritik kedua Faiz adalah label harga pelatihan di program ini. Faiz membandingkan program ini dengan kelas-kelas daring dari Coursera, edX, hingga Udacity yang sama sekali tak memungut biaya alias gratis. Ia ragu kualitas konten berbayar seperti di program kartu prakerja lebih baik dari kelas-kelas daring yang ia sebut tadi. "Saya pernah ambil course di beberapa startup platform yang bekerja sama dengan prakerja dan jujur cukup kecewa, materinya benar-benar seperti satu arah dan ceramah, padahal di edX/Coursera/Udacity forumnya sangat hidup," ujar Faiz.
Kedua poin kritik di atas kemudian berujung pada timpangnya insentif yang diperoleh yang diterima oleh mitra penyelenggara dengan para peserta. Berbekal produksi video rekaman yang ia yakini sekitar Rp20 jutaan saja, Faiz meyakini mitra platform digital terlalu diuntungkan dalam kasus ini. Maka dari itu, Faiz dan seorang kawannya menciptakan inisiatif Gratisin Belajar. Padahal menurutnya tujuan kartu prakerja adalah mempersiapkan pekerja hingga benar-benar diterima industri, yang mana tak dilakukan oleh para mitra penyelenggara.
"Jadi di Gratisin Belajar kami coba cover tiga poin tersebut. Kita buat gratis, berkualitas, dan align antara kami sebagai platform dan industri," ujar Faiz.
Tiba di momen yang salah
Meski menuai banyak kritik, kebijakan kartu prakerja bukannya sama sekali salah. Baik Anjas, Handini, maupun Faiz sama-sama menangkap niat baik dari program ini. Hanya saja eksekusi yang diburu-buru dan sensitivitas akan urgensi yang keliru membuat citra program ini lebih seakan blunder semata.
Jumlah pendaftar yang sudah lebih dari 9 juta orang mencerminkan sambutan masyarakat terhadap kebijakan ini. Anggaran pemerintah yang disedot pun membengkak pun membengkak menjadi Rp20 triliun untuk mengakomodasi jutaan peserta.
Kebijakan kartu prakerja ini memang salah satu agenda besar Presiden Joko Widodo di periode kedua menjabat. Kondisi darurat membuat pemerintah mengutak-atik program ini agar penyaluran insentif tunai bisa lebih besar dari rencana awal yang hanya Rp550.000.
Hal ini tak bisa menjadi alasan bagi pemerintah dan penyelenggara atas buruknya kualitas konten pelatihan serta nihilnya tolok ukur keberhasilan program ini.
"Bagaimana bisa mengukur program ini efektif atau enggak? Misalnya dari 160 ribu orang yang lolos tahap pertama, berapa persen yang bisa mendapatkan kesempatan kerja karena skill-nya ter-update?" ucap Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) Ajib Hamdani seperti dikutip dari Tempo.