1. Startup

Menerka Prospek Startup AI di Indonesia

Berdiskusi dengan On Lee (CTO GDP Venture, CEO & CTO GDP Labs), Meidy Fitranto (Co-founder & CEO Nodeflux), dan Agung Bezharie (Partner Antler Indonesia)

Kecanggihan ChatGPT, sukses membuat narasi soal AI diperbincangkan di seluruh dunia, bahwa teknologi kecerdasan buatan generatif (genAI) dirancang untuk merevolusi cara organisasi menjalankan bisnis.

Menurut riset yang dirilis Bain pada Agustus 2023, disampaikan bahwa genAI mempercepat pekerjaan hingga 41%. Responden menyampaikan sebanyak 81% pengguna mengatakan lebih produktif berkat genAI. Penelitian menunjukkan bahwa AI membantu mereka mengautomasi email dan komunikasi (50%), analisis dan pelaporan data (45%), dan penelitian (42%).

Data investasi global yang diungkap CB Insights mengungkapkan pada 2023, startup AI mengumpulkan $42,5 miliar dalam 2.500 putaran ekuitas. Startup genAI mendominasi hingga 48% dari seluruh pendanaan AI. Pada tahun sebelumnya, startup genAI hanya meraih 8% dari total pendanaan.

Lonjakan ini didorong oleh putaran besar-besaran ke pengembang large language model (LLM), seperti OpenAI, Anthropic, dan Inflection. Startup asal Amerika Serikat paling banyak mengambil porsi hingga 73% (naik 14%), lalu disusul Asia (25%) dan Eropa (24%).

“Kami memperkirakan startup genAI akan mempertahankan atau bahkan meningkatkan hal ini pada tahun 2024, karena booming genAI masih jauh dari selesai,” tulis CB Insights.

Namun, tidak semua startup AI diciptakan sama. Sebelum membahas AI lebih dalam, artikel ini akan membahas lebih terlebih dulu perbedaan antara startup AI horizontal dan vertikal.

Startup AI horizontal:

  • Definisi: Solusinya dirancang agar serbaguna dan dapat diterapkan secara luas, serta berfungsi sebagai landasan bagi berbagai industri. Punya cakupan yang luas dan dapat diintegrasikan ke dalam berbagai domain, termasuk layanan pelanggan, pembuatan konten, dan pengambilan informasi umum, untuk menghasilkan respons mirip manusia, terlibat dalam percakapan bahasa alami, dan memberikan wawasan berharga. Fleksibilitasnya menjadikannya tersedia bagi bisnis yang mencari solusi AI yang dapat dengan cepat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik mereka.
  • Contoh: ChatGPT (OpenAI), Gemini (Google), Claude (Anthropic), Cohere, Tongyi Qianwen (Alibaba). Di ASEAN ada SEA-LION (AI Singapore) dan WIZ LLM (WIZ.AI).

Startup AI vertikal:

  • Definisi: solusi AI vertikal disesuaikan dengan industri tertentu, guna menjawab kebutuhan dan tantangan unik mereka. Solusi yang ditawarkan punya fungsionalitas tingkat lanjut dan kemampuan khusus, memberikan wawasan spesifik industri, mengoptimalkan proses, dan meningkatkan pengambilan keputusan, sehingga merevolusi operasi dalam sektor-sektor seperti jasa, hukum, pemasaran, dan lainnya.
  • Contoh: di Indonesia ada Nodeflux (image processing), Verihubs (automation), Kata.ai (conversational AI), dan Prosa.ai (data analytics & insight).

Kondisi di Indonesia

DailySocial.id merangkum dari hasil wawancara bersama tiga narasumber. Mereka sepakat bahwa prospek startup AI di Indonesia sangat cerah karena perjalanannya baru dimulai. Salah satu faktor pendukungnya karena munculnya ChatGPT.

“Pemetaan startup AI lokal menunjukkan bahwa hampir setengah startup AI di Indonesia adalah pemain baru yang berusia kurang dari satu tahun. Mayoritas dari mereka telah mendapatkan pendanaan dari VC,” ucap Partner Antler Indonesia Agung Bezharie.

Dari total pendaftaran yang masuk di Antler Indonesia, startup AI yang mendaftarkan diri untuk batch I dan II di 2022 sampai awal 2023 jumlahnya hanya 1-2 startup. Sementara, kini jumlahnya terus meningkat.

CTO GDP Venture, CEO & CTO GDP Labs On Lee menambahkan, sebelum ChatGPT booming, perusahaan yang sudah mengadopsi AI pada umumnya masih sangat terbatas. Salah satu alasan terbesarnya karena biayanya yang mahal. “Tapi karena ChatGPT jadi ter-consumerize, semua orang jadi tahu,” ucapnya.

Dia juga mencontohkan, BCA merupakan salah satu perusahaan mature yang terdepan dalam mengadopsi teknologi ini sejak lama. Proses awalnya saat adopsi juga tidak instan, perbankan tersebut mencoba untuk satu per satu usecase. Begitu terasa peningkatan produktivitasnya, makin ditambah usecase yang dibantu dengan AI.

Digandrunginya ChatGPT, On berharap membuat awareness di tingkat perusahaan dari multi-industri makin banyak yang terdorong untuk mulai mengadopsinya.

“Indonesia itu baru aware dengan AI sejak tahun lalu, sebelum-sebelumnya belum banyak yang aware. [..] Saya mengharapkan lima tahun lagi banyak hal yang akan berubah. Kalau yang kemarin [ChatGPT] dapat hype buat marketing [adopsi AI], lalu terasa produktivitasnya naik [setelah adopsi AI), perusahaan akhirnya mulai banyak yang berani investasi,” kata dia.

“Seiring berjalannya waktu, teknologi semakin canggih, maka aplikasinya akan semakin banyak. AI juga sama, makin banyak yang pakai, makin banyak orang yang mau investasi ke sana, makin banyak solusi yang dihasilkan dari AI. Akhirnya menciptakan positive feedback loop,” sambung On.

GDP Venture merupakan VC yang tergolong aktif mendanai startup AI di Indonesia. Beberapa portofolionya adalah Balesin, Datasaur.ai, Glair.ai, Prosa.ai, dan Qlue.

Co-founder & CEO of Nodeflux Meidy Fitranto menyoroti kehadiran genAI membuat tingkat halangan kesulitannya jauh lebih ringan karena solusinya dibangun di atas model fondasi yang sudah dibuat. Namun bisa jadi bumerang karena tingkat kompetisinya jadi sengit lantaran tidak ada diferensiasi yang berarti.

Ambience di global pun lagi seperti ada ekuilibrium (mencari titik keseimbangan) karena value proposition-nya belum clear. Bahkan di global pun [startup AI horizontal] belum sekuat itu, masih banyak juga yang baru-baru muncul,” terang dia.

Kesempatan jadi pemimpin di negara sendiri

Akan tetapi, Agung memercayai bahwa kesempatan besar startup AI bisa berkembang pesat di Indonesia bukan dari AI horizontal, seperti OpenAI, melainkan dari vertikal. Mengutip dari pendapat Jussi Salovaara (Managing Partner, Co-founder Antler), hipotesis Antler untuk kawasan Asia Tenggara diprediksi akan terdorong pesat berkat kehadiran startup AI vertikal. Berbeda jauh dengan kondisi di AS yang berlomba-lomba di AI horizontal, seperti co-pilot coding atau language modelling.

Verticalize AI berfokus pada solusi spesifik untuk industri, kegiatan, dan masalah di region ini. Solusi AI paling efektif digunakan untuk mengotomatiskan kegiatan yang berulang atau repetitif. Di Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya, banyak aktivitas berulang dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Terdapat tiga startup AI vertikal yang masuk ke dalam portofolio Antler Indonesia, yakni SPUN, Konstruksi.AI, dan Lunash. Secara global, terdapat 11 startup AI yang telah mendapat pendanaan pre-seed dari Antler.

Menurut Agung, peluang untuk bersaing di tingkat global bagi startup AI vertikal, peluangnya jauh lebih besar. Sebab strategi untuk bertahan hanya satu, fokus pada vertikal bisnis. Dicontohkan, sepak terjang Nodeflux yang yang mampu bertahan dan berkembang karena memiliki keunikan teknologi dan bisnis.

“Pemanfaatan data unik ini menghasilkan solusi yang tidak dapat dibuat oleh startup global. Keunikan tersebut memungkinkan mereka bekerja sama dengan institusi yang biasanya sulit dijangkau startup.”

Melanjutkan ini, On juga sepakat bahwa startup AI lokal yang bermain dalam pengembangan Bahasa Indonesia dan mengombinasikannya dengan solusi-solusi lokal yang saling terkait, punya peluang untuk jadi pemimpin di negara sendiri.

“Kita bisa menang karena ini keahlian kita [lokal]. Misal, Glair.ai itu paperless OCR untuk digitalisasi dokumen, seperti NPWP, KTP, itu unik hanya Indonesia yang punya. Barang-barang lokal seperti ini harusnya kita yang menang,” tuturnya.

Dalam rangka mendukung LLM, dua portofolionya, Glair.ai & Datasaur.ai, berpartisipasi dalam proyek kolaboratif bersama BRIN, KORIKA, dan AI Singapore (AISG) untuk mengembangkan LLM Bahasa Indonesia di bawah model fondasi SEA-LION. Target yang diharapkan dari proyek ini adalah mendorong pembuatan platform seperti ChatGPT dengan tujuan penggunaannya yang lebih dispesialisasikan sesuai target konsumen.

Tantangan serius

Meidy melanjutkan, di balik peluang yang ditawarkan, ekosistem AI di Indonesia sangat memerlukan dukungan dari seluruh pihak, terutama untuk kebutuhan riset dan pengembangan (R&D). Cerita yang dialami Nodeflux bisa jadi acuan.

Mengingat target pengguna utamanya adalah pemerintahan untuk kebutuhan sistem pengawasan (surveillance system), ternyata proses tendernya masih kurang dianggap bernilai sebagai produk lokal karena disamakan dengan produk impor. Padahal proses pengembangan produk ini membutuhkan tim R&D yang tidak sembarang dan memakan waktu yang tidak sedikit, minimal punya gelar S3 dan kuliah di luar negeri, beli alat yang harganya mahal, dan sebagainya.

“Jadi kompetisi di market-nya secara bisnis lebih masuk akal kalau kita berdagang sebagai makelar/distributor karena hitung-hitungannya enggak masuk. Tinggal bawa produk white label dari luar, yang kemudian di-brand lokal sendiri. Dalam konteks Nodeflux, dukungan negara terhadap R&D untuk AI enggak terlalu berasa.”

Ia pun membandingkan situasi ini dengan dukungan pemerintah Tiongkok. Pada 2017, pemerintah mengumumkan program ambisius untuk pengembangan teknologi AI di dalam negeri, dengan tujuan menjadi 'pusat inovasi AI utama' dunia pada 2030. Kemudian pada 2019, mengumumkan “National AI Team” berisi beberapa perusahaan terpilih di masing-masing vertikal yang didukung pemerintah pusat dan daerah untuk mengerjakan proyek-proyek regional.

“Makanya pergerakan di sana luar biasa. Kalau di Indonesia, fight-nya jadi mirip jualan baju di Tanah Abang sama baju impor Tiongkok. Jadi market-nya enggak terlalu growing.”

Dampak inilah yang membuat pemain VisionAI seperti Nodeflux, tidak ada yang mampu bertahan. Di Indonesia, Nodeflux jadi ‘single fighter’. Padahal sebelumnya, ada sekitar empat pemain, termasuk Nodeflux yang masuk di area ini.

“Nodeflux termasuk paling heavy [deep-tech-nya], sehingga untuk buat kayak kita itu enggak gampang. Dari skala 10, bisa dibilang kita di 8,5, tapi kompetitor di skala 5. Gap-nya panjang [untuk mengejarnya].”

Sebagai sebuah perusahaan, Nodeflux sudah tidak lagi seperti startup pada umumnya. Perusahaan telah mencapai profitabilitas dan tidak mengandalkan lagi pendanaan dari investor sejak putaran terakhir di 2019.

Nodeflux memiliki sejumlah solusi berbasis AI untuk para kliennya dari B2B dan B2G, yakni Visionaire (Surveillace-Analytics-as-a-Service), Identifai (e-KYC untuk industri keuangan), dan RetailMatix (SaaS Vision AI & Sales Force Automation untuk industri ritel). Masing-masing menyelesaikan isu yang dihadapi para klien yang datang dari berbagai industri.