Menyelesaikan Isu Rantai Pasok, Agar Tak Sekadar Jadi Pemain E-grocery
Belajar dari CFO Sayurbox Arif Zamani dalam sesi #SelasaStartup
Tidak dimungkiri pandemi membuat animo masyarakat terhadap platform digital meningkat, apalagi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Alhasil pada awal pandemi, terjadi panic buying yang mengakibatkan kosongnya persediaan pasokan barang-barang di supermarket, pasar, hingga aplikasi e-grocery selama beberapa waktu.
Ibarat “blessing in disguise” akhirnya pemain e-grocery punya momentum untuk mengakuisisi sebanyak-banyaknya pengguna beralih ke aplikasi dengan beragam kenyamanan yang ditawarkan. Pertanyaan berikutnya yang mencuat adalah bagaimana “end game” dari pemain e-grocery?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, #SelasaStartup mengundang CFO Sayurbox Arif Zamani sebagai pembicara. Sayurbox selama ini dikenal salah satu pionir pemain e-grocery di Indonesia sejak 2017.
Masih terfokus ke kota besar
Arif menuturkan, secara umum kendati animo masyarakat terhadap layanan e-grocery meningkat, tapi ini baru terjadi di kota lapis pertama saja. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan infrastruktur teknologi di kota tersebut yang sudah matang. Hal Ini tercermin dari kinerja Sayurbox yang saat ini masih terpusat di Jabodetabek, Surabaya, dan Bali.
“Kalau setting up ke kota yang belum ready, itu akan jadi investasi yang mahal karena harus bangun infrastruktur dari awal. Tentunya kita juga ada keinginan masuk ke kota lapis dua atau tiga, tapi harus fleksibel strateginya untuk menyesuaikan diri dengan pasarnya,” katanya.
Ada tiga tipe konsumen yang saat ini dilayani Sayurbox. Pertama, kelompok konservatif, solusi yang disediakan adalah menghadirkan agen, dropshipper, dan virtual assistant Safira yang dapat dipesan melalui pesan singkat WhatsApp. Target pasar di kelompok ini adalah ibu-ibu yang tidak dipungkiri dari segi usia yang sudah lanjut dan pemahamannya terhadap teknologi memang kurang.
Kedua, kelompok minimalis yang tipikal telah merencanakan menu makanan selama beberapa hari ke depan. Oleh karena itu, fasilitas yang ditawarkan Sayurbox adalah pengiriman overnight, barang akan sampai pada pagi hari setelah pemesanan.
Terakhir, untuk kelompok impulsif, disediakan pengiriman instan dan hadir di GrabMart, pesanan akan sampai dalam kurun waktu 30 menit-90 menit. “Market di minimalis dan impulsif saja besar banget, jadi kita sebenarnya lebih fokus ke sana daripada konservatif.”
Perbaiki rantai pasok
Di balik kemudahan mengakses barang-barang segar, sebenarnya pangkal masalah yang ingin diselesaikan Sayurbox adalah mengenai rantai pasok yang masih menjadi isu di dunia pertanian. Arif menerangkan, Sayurbox saat ini memasok hasil tani langsung ke petani dengan sistem jual putus.
Untuk memastikan hukum supply dan demand terjaga, perusahaan secara periodik memantau tingkat pemesanan dengan menerapkan forecast untuk para petani. Juga, bekerja sama dengan pemain fintech lending AwanTunai untuk memberikan pembiayaan untuk para petani. Langkah tersebut sekaligus upaya meningkatkan kelas ekonomi petani menjadi bankable.
“Karena ada komitmen sistem jual beli, jadi petani yang bergabung di kami bisa melakukan planning agar mereka tetap bisa jual hasil panennya ke kami. Selama ini teknik panennya tidak beraturan, itulah yang menyebabkan terjadinya oversupply dan kelangkaan barang. Kami ingin bangun kapasitas itu agar pricing tetap stabil.”
Sebelum kapasitas tersebut sudah terbentuk dengan baik, saat ini Sayurbox memanfaatkan channel offline apabila terjadi oversupply, sekaligus mencegah sampah. Isu rantai pasok juga ini berkaitan dengan pengalaman konsumen saat berbelanja. Pencatatan stok dapat lebih aktual, sehingga semakin cepat notifikasi masuk, pengalaman berbelanja akan jauh lebih.
More Coverage:
“Karena kami menangkap, konsumen yang sudah berbelanja lebih dari empat kali besar kemungkinan sudah masuk konsumen loyal, yang susah adalah memberikan pengalaman untuk konsumen pertama hingga pembelian ketiga,” tutupnya.
-
Foto header: Depositphotos.com