Menyiasati Transformasi Digital yang Tepat di Tengah Pandemi
Belajar dari CEO HIJUP Diajeng Lestari, Country Marketing Lead of Dell Indonesia Aji Jayaloka, dan Digital Content Creator Ario Pratomo dalam #SelasaStartup
Lebih dari tiga bulan lamanya, semua bisnis terhantam oleh pandemi Covid-19. Berbeda dengan krisis sebelumnya, kini ada teknologi digital yang dapat dimanfaatkan agar bisnis tetap bertahan. Karena pertimbangan ini, akhirnya korporasi besar mantap untuk terjun ke digital setelah sebelumnya baru sampai evaluasi.
Pun demikian untuk startup rintisan, go digital menjadi suatu dorongan yang harus dilakukan segera. Pasalnya, dibantu oleh ekosistem digital yang mulai terbentuk, transformasi digital akan jauh lebih cepat prosesnya. Kelebihan lainnya adalah bisnis jadi lebih efisien dan operasional bisnisnya jauh efektif.
Dalam membahas topik di atas, #SelasaStartup kali ini mengundang para pembicara yang pakar dibidangnya masing-masing untuk memberikan kiat-kiatnya untuk transformasi digital bagi startup yang baru dirintis. Ada Founder & CEO HijUp Diajeng Lestari, Country Marketing Lead of Dell Indonesia Aji Jayaloka, dan Digital Content Creator Ario Pratomo. Berikut rangkumannya:
Lebih cerdik mengemas produk
Diajeng menuturkan, pandemi ini membuat para pemilik bisnis harus kembali melihat jumlah karyawan. Menurutnya ukuran kesuksesan buat perusahaan, bukan dari jumlah karyawan. Apalagi saat pandemi ini, pemilik bisnis harus lebih hati-hati karena semua industri punya tantangan masing-masing, terutama yang bergerak di kebutuhan sekunder dan tersier.
Lalu agar produk yang dijual menonjol, cara membungkusnya dengan membentuk karakter dan keunikan untuk memperlihatkan kualitas. Apalagi buat produk yang semakin umum, value-nya akan semakin kecil, konsep ini bisa dilakukan. Bila bersaing harga, saingannya akan terlalu banyak karena lawannya adalah penjual di marketplace C2C.
“Kuncinya ada di produk itu sendiri harus diceritakan seperti apa value-nya. Kalau kita investasi ke kualitas, bisa story telling bagaimana menyajikan produk dengan baik, kita bisa tetap bersaing sekalipun jualan produk yang sangat common,” kata Diajeng.
Karena harus meminimalkan budget pengeluaran, maka startup bisa memanfaatkan platform yang sudah ada. Bisa mulai dari berjualan di platform marketplace yang sudah terkenal, daripada harus bangun situs sendiri dari awal yang lebih makan waktu dan biaya.
Setelah itu, pebisnis mulai fokus menjalankan strateginya untuk menarik pembeli bukan penetrasi strategi dengan pasang iklan di mana-mana. “Bagaimana produk kita bisa atraktif ya caranya dengan story telling.”
Menyesuaikan cerita dengan target pengguna
Menyambung dari pernyataan Diajeng, Ario menambahkan cara ia dalam membuat konten ke dalam berbagai platform online, sejatinya juga dapat diaplikasikan untuk berjualan produk. Biasanya cara yang ia lakukan adalah membuat topik besar yang ia tuangkan ke dalam platform YouTube atau audiens podcast.
Kemudian ia meneruskan konten tersebut ke platform lainnya seperti Instagram, TikTok, Twitter yang dikemas ulang agar sesuai dengan audiensnya. “Konten harus informatif, tapi jangan lupa untuk entertaining dengan caranya sendiri. Strategi hardsale itu sekarang sudah tidak begitu kerja, sudah bukan zamannya lagi,” terang Ario.
Diajeng menambahkan dalam implementasi story telling di Hijup, ia terapkan saat pertama kali merintis usahanya tersebut. Pada saat itu, produk pertama Hijup adalah jilbab, maka dari situlah ia bercerita dengan menyesuaikan target konsumennya.
“Saya sempat buat buku untuk menceritakan soal jilbab itu sendiri. Kontennya diambil dari berbagai pertanyaan orang-orang yang saya dapatkan. Strategi ini sesuai karena target konsumen kita adalah 24-35 tahun, usia kerja, sudah berkeluarga, dan ada yang sudah punya anak. Pengembangan konten berikutnya tinggal disesuaikan dari situ.”
Menyiapkan perlengkapan yang mumpuni
Aji melanjutkan, sebelum terjadi pandemi transformasi digital di mata korporasi adalah bagian dari investasi. Akan tetapi, sekarang sudah menjadi bagian dari bisnis. Untuk mulai go digital, maka pebisnis harus cek kebutuhannya, lihat kompetensi diri sendiri agar tahu cara mengembangkan produk.
“Itu sudah masuk ke dalam komponen proses transformasi digital. Tujuannya agar kita jadi lebih kreatif, bisa dengan kolaborasi dengan konten kreator,” tutur Aji.
Dalam mencari celah model bisnis digital yang tepat guna, menurutnya dapat dimulai dari pengadaan hardware untuk penunjang kerja. Minimal harus tahu spesifikasi laptop yang tahan banting dan mumpuni dipakai sehari-hari, pun untuk quality control dan after sales-nya seperti apa.
Dari sekian banyak teknologi yang dapat dimanfaatkan, bila sesuai dengan kebutuhan pasti akan membawa manfaat. Misalnya suatu startup yang ingin tumbuh, agar dapat mencolok dibandingkan kompetitornya, bisa menggunakan AI atau machine learning yang mampu memberikan insight mendalam untuk strategi bisnis ke depannya.
“Tapi sekali lagi harus jeli karena sekarang cash is the king. Harus tahu aspek digital transformation mana yang kita tuju,” tutupnya.
*Disclosure: #SelasaStartup edisi ini didukung oleh Dell dan McAfee