Tren "New Retail" dan Pemberdayaan Pedagang Tradisional
Mendalami hipotesis East Ventures dalam mengembangkan bisnis berbasis ritel modern
Sejumlah stakeholder memprediksi new retail bakal menjadi the next big thing setelah e-commerce dan fintech di Indonesia. Prediksi ini sejalan dengan kemajuan internet dan perubahan gaya hidup masyarakat di era digital.
Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memproyeksikan akan ada perubahan signifikan terjadi terhadap perkembangan new retail di Indonesia dalam tiga hingga lima tahun ke depan.
"Perubahan ini dipicu oleh kemajuan infrastruktur digital yang akan mendorong lebih banyak pelaku usaha dalam negeri membuat produk lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal juga," ungkapnya saat menjadi pembicara di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.
New retail merupakan sebuah konsep yang disampaikan pertama kali oleh Co-founder Alibaba, Jack Ma. Mengutip Forbes, Ma menyebutkan konsep ini merupakan 'jelmaan' baru dari industri e-commerce, tidak ada lagi batas antara layanan online dan offline.
Meleburnya batasan ini sejalan dengan tingginya fokus penyedia layanan dalam memenuhi kebutuhan personal dari konsumen. Selain itu, Ma menilai new retail menjadi fase krusial terhadap kebangkitan ritel fisik dan berkembangnya ritel yang perlahan mulai terdigitalisasi.
Di Indonesia, industri ritel bersaing dengan e-commerce. Peritel tradisional dituntut untuk menggabungkan teknologi untuk menarik konsumen. Teknologi dapat membantu meningkatkan pengalaman berbelanja secara digital di toko fisik. Apalagi konsumen kini menuntut pelayanan yang lebih personal.
Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Willson menilai saat ini tren new retail di Indonesia dalam jangka pendek mulai bertumbuh. Sebagai contoh, startup Fore Coffee, yang juga dikembangkan East Ventures, menggunakan pendekatan digital dalam memasarkan produknya.
Dalam tiga bulan, Fore Coffee telah mengantongi unduhan aplikasi sebanyak 500 ribu dengan 40 outlet dalam tiga bulan. "Ini termasuk pencapaian yang sangat cepat. Dulu mungkin butuh dua sampai empat tahun untuk melakukan integrasi online dan offline seperti ini," ungkap Willson.
Untuk mendorong new retail, Indonesia tidak harus sepenuhnya berkiblat ke Tiongkok, seperti Alibaba dan JD. Pasalnya, new retail di Tiongkok bukan lagi sebatas konsep. Di sana, industri ini sudah jauh lebih canggih berkat dukungan infrastruktur digital dan terintegrasinya penyedia produk dengan sistem, seperti payment gateway.
“Mereka sangat advance secara infrastruktur, dan penduduknya jauh lebih homogen dibandingkan kita. Kita tidak pakai kiblat, tetapi dengan pendekatan progresif-pragmatis,” ujarnya.
Warung Pintar menjadi model new retail di Indonesia
East Ventures tak hanya menjadi investor dan venture builder di Fore Coffee, tetapi juga Warung Pintar. Jika Fore Coffee memiliki layanan berbasis aplikasi dan memiliki toko fisik, Warung Pintar merupakan warung yang mengakomodasi pembayaran berbasis digital.
Ia menilai konsep new retail dapat memberdayakan usaha dan warung kecil di masa depan. Warung Pintar sebagai model new retail di Indonesia dinilai dapat mempercepat kesempatan berusaha bagi banyak orang, meningkatkan daya saing warung kecil dibanding peritel modern, dan inklusi teknologi dalam waktu singkat dan tepat sasaran.
Selain itu, menurutnya new retail juga dapat menciptakan sejumlah terobosan bagi para pelaku bisnis digital yang memiliki kemampuan teknologi, modal, dan keinginan untuk membantu rakyat kecil.
“Bayangkan sebanyak 1.200 pemilik warung jadi jago pakai perangkat mobile untuk mengurusi warungnya. Rakyat kecil tidak mungkin naik kelas kalau tidak dibantu.” paparnya.
Tentu untuk mendorong new retail sebagai sebuah bisnis baru, banyak PR yang perlu diselesaikan di Indonesia. Di antaranya, membangun infrastruktur fisik dan akses internet, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan kapabilitas UKM, meningkatkan jumlah talenta lokal di bidangnya, serta membentuk regulasi untuk memayungi industri ini.