OpenPort Ingin Membantu Mengurangi Beban Biaya Logistik Indonesia
Lewat kerja sama antara sektor publik dan swasta, OpenPort yakin biaya logistik Indonesia yang tinggi bisa dikurangi secara dramatis dalam waktu singkat
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Indonesia sebagai negara berkembang dengan lebih dari 17.000 pulau tersebar adalah logistik. Biaya logistik Indonesia yang mencapai 23,5 persen di tahun 2014 pun tergolong yang tertinggi secara regional berdasarkan laporan State of Logistics Indonesia 2015. Berangkat dari hal ini OpenPort, platform logistik digital yang berbasis di Hong Kong, ingin bantu mengurangi biaya logistik dan berambisi untuk menjadi penyedia jasa logistik B2B berbasis teknologi terbesar di Indonesia.
OpenPort adalah platform logistik digital yang menyediakan solusi rantai pasokan end-to-end untuk pasar logistik di negara berkembang. OpenPort melakukan ini dengan berupaya menciptakan hubungan langsung dan transparan antara shippers (pengirim) dan carriers (operator/pengangkut) melalui model Open Enterprise Logistics.
Max menjelaskan, “Kami dapat menerima perintah langsung dari Enterprise Resource Planning [ERP] sistem [perusahaan] pengirim terbesar di dunia dan [memberikan] rute mereka ke ponsel dari operator truk di pasar lokal. Karena platform kami terintegrasi dengan marketplace transportasi, maka tidak perlu lagi menggunakan perantara untuk mencari carrier.
“Koneksi yang kami sediakan sepenuhnya transparan dan netral untuk pengadaan transportasi on-demand. Kami juga menawarakan managed control tower service, sehingga bukan hanya menyediakan perangkat lunak tetapi juga menyediakan layanan,” lanjutnya.
Selain melalui desktop, OpenPort juga telah memiliki aplikasi mobile untuk platform Android yang ditujukan bagi para pengemudi truk. Aplikasi mobile tersebut berfungsi untuk menerima petunjuk tentang pengiriman, menyediakan data GPS, informasi peta dan rute, dan memberikan bukti pengiriman dengan foto.
“Informasi dari aplikasi seluler dikirim langsung ke produk kami yang dapat diakses melalui desktop dan digunakan oleh klien pengirim kami untuk membantu mengelola rantai pasokan mereka. Sementara itu operator perusahaan truk menggunakannya untuk mengirim instruksi kepada driver mereka,” jelas Max
Max juga mengungkap bawah akan segera meluncurkan aplikasi tambahan untuk membawa banyak fungsi desktop ke ponsel. Namun menurut Max menekankan bahwa desktop akan tetap menjadi titik control utama.
OpenPort sendiri memperoleh pendapatan melalui persentase kecil dari setiap nilai transaksi yang terjadi pada platform mereka. Ada pula biaya manajemen yang merupakan biaya opsional dari jasa menara kontrol yang ditawarkan kepada klien perusahaan pengirim. Di sisi lain, Max menjelaskan bahwa tidak ada biaya apapun yang dikenakan bagi pihak transporter yang ingin bergabung dengan platform Openport.
Max mengatakan, “Pengirim memiliki beberapa biaya set-up kecil untuk menerapkan sistem kami tergantung pada layanan yang mereka pilih. Tapi, ini cukup rendah dan tidak akan ada hambatan untuk mengadopsinya, terutama bila mengingat penghematan yang ditawarkan.”
Operasional OpenPort di Indonesia
OpenPort berdiri di 2015 dan kini telah beroperasi di Brunei, China, India, Indonesia, Pakistan, dan Amerika Serikat. Mereka juga tercatat telah membukukan pendanaan hingga $ 600 ribu (lebih dari Rp 7,8 miliar).
Paling baru, di bulan Mei 2016 OpenPort membukukan pendanaan seri-A dengan jumlah yang tidak diungkap dari Susquehanna International Group dan partisipasi Caldera Pacific Ventures. Investasi tersebut rencananya digunakan untuk melanjutkan pertumbuhan OpenPort dalam rangka membangun jaringan transportasi modern berbasis teknologi di Asia, termasuk di Indonesia.
“Pasar negara berkembang merepresentasikan sektor pertumbuhan terbesar di dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sebagian besar populasi dunia kini ada di kelas konsumen dan pertumbuhan itu berasal dari pasar negara berkembang. Di Indonesia, Cina, India, dan Pakistan saja, itu mencapai 3 miliar orang. Jadi baik tantangan dan peluang untuk rantai pasokan masih sangat besar. Kami melihat Indonesia sebagai representasi kesempatan terbesar di Asia Tenggara sekarang.”
Max juga mengungkapkan bahwa sebagai negara berkembang Indonesia tidak dibebani banyak sistem layaknya negara yang lebih maju. Hal tersebut dapat memberikan kesempatan pada Indonesia untuk mengadopsi teknologi baru dan menjadi pemimpin dalam pendekatan manajemen logistik yang baru. Di sisi lain, Max juga yakin dapat membantu mengurangi biaya logistik Indonesia yang tinggi lewat kerja sama sektor publik dan swasta.
Max mengatakan, "Dengan 26% dari PDB, Indonesia memiliki biaya logistik tertinggi di wilayah ini dan truk menyumbang banyak dengan biaya keseluruhan di 72%. Namun, ini bisa dikurangi secara dramatis dalam waktu yang relatif singkat [dengan] kerja sama antara sektor publik dan swasta."
"Sistem regulasi perlu ditingkatkan dan lebih efisien, infrastruktur pelabuhan dikembangkan, dan ada peningkatan kapasitas jalan dan kereta api. [Dari sana] Penanganan kepabeanan dapat dipercepat dan jalan padat dapat mereda melalui pendekatan yang lebih efisien [seperti yang dilakukan OpenPort] untuk penggunaan truk, karena masih ada terlalu banyak truk kosong di jalan di Indonesia," tambah Max.
Di Indonesia, OpenPort telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan FMCG seperti Unilever. Sementara dari sisi transporter, Max mengklaim bahwa dia melihat adanya antusiame besar dari para operator truk untuk menggunakan sistem mereka.
“Tujuan jangka panjang kami adalah untuk berada di 20 negara di Asia dan Indonesia adalah pasar yang sangat penting bagi kami untuk membuktikan model kami. Tantangannya diwakili oleh pulau-pulau terpencil, kompleksitas lalu lintas, dan kendala infrastruktur. Terlepas dari biaya logistik yang sangat tinggi saat ini, Indonesia akan menjadi dasar pembuktian yang sangat baik bahwa pendekatan baru seperti OpenPort bisa membawa manfaat besar. Kami ingin menjadi penyedia jasa logistik B2B berbasis teknologi terbesar di Indonesia,” tandas Max.