Kecil Kemungkinan Pemerintah Tutup Telkomsel dan Indosat Terkait Dugaan Penyadapan oleh Australia
Sebagai tindak lanjut tersingkapnya tabir informasi dari New York Times bahwa pemerintah Australia memiliki akses untuk menyusup ke jaringan komunikasi milik Telkomsel dan Indosat, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring mengeluarkan peringatan bagi kedua operator tersebut dan mengancam akan menutup kedua perusahaan tersebut jika terbukti berperan aktif dalam proses penyusupan tersebut. Telkomsel sejauh ini merupakan operator telekomunikasi terbesar di Indonesia dengan 120 juta pelanggan dan Indosat dengan 50 juta pelanggan.
Pernyataan keras Menkominfo tersebut berdasarkan UU no. 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. Pasal 21 undang-undang tersebut melarang penyedia layanan komunikasi terlibat dalam aktivitas yang melanggar atau mengganggu keamanan, kepentingan publik, kepatutan dan keteraturan publik. Jika terbukti melanggar, hak operasional suatu penyedia layanan bisa dicabut.
Tifatul menyatakan hari Selasa lalu, "Jika mereka terbukti menyalahgunakan otoritas tersebut, ada UU no. 36 tahun 1999. Hak operasional mereka bisa dicabut jika terbukti berperan serta dalam proses penyadapan ilegal tersebut."
Dugaan berkelanjutan New York Times melaporkan dokumen yang bocor menunjukkan bahwa Amerika dan Australia secara diam-diam berbagi akses ke sistem telekomunikasi Indonesia. NSA telah memberikan Australia akses ke data panggilan dari Indosat. Informasi ini, menurut New York Times, didapat dari dokumen NSA tahun 2012 .
Dari dokumen tahun 2013, New York Times melaporkan, "Pihak Australia telah mendapatkan hampir 1,8 juta kunci terenkripsi yang digunakan untuk melindungi komunikasi pribadi melalui jaringan seluler Telkomsel di seluruh Indonesia dan bahkan telah mengembangkan cara untuk mendekripsi hampir semua data tersebut."
Tuduhan serius ini, yang dikemukakan oleh whistleblower NSA Edward Snowden, hanyalah episode terbaru yang memanaskan hubungan Indonesia dengan Australia. Rilis Snowden sebelumnya menunjukkan bagaimana pada masa pemerintahan Kevin Rudd tahun 2009, Australia mencoba untuk mengakses jaringan telepon milik presiden Indonesia, ibu negara, dan beberapa Menteri penting di Indonesia.
Perdana Menteri Australia Tony Abbott mencoba menghindar dari tuduhan tersebut dengan berkilah bahwa meski negaranya mengambil data intelijen seperti itu, informasinya digunakan untuk melindungi warga negaranya sendiri, penduduk negara lain, dan bukan untuk kepentingan komersil.
Laporan terbaru memberikan dugaan bahwa Australian Signals Directorate (ASD) menawarkan kepada NSA informasi mengenai negosiasi perdagangan komersil antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang juga termasuk akses telekomunikasi.
Operator telekomunikasi menyangkal keterlibatan TribunNews melaporkan bahwa juru bicara Indosat Adrian Prasanto hari Selasa lalu telah menyangkal keterlibatan Indosat dalam penyadapan tersebut. Untuk urusan risiko keamanan dan manajemen keamanan informasi, Prasanto berkata bahwa proses audit dijalankan dua kali tiap tahun, "Kami yakin tidak ada pelanggan kami yang disadap oleh pihak asing".
Telkomsel sampai hari ini belum merespon tuduhan tersebut, namun November lalu, Adita Irawati, VP of Corporate Communication Telkomsel merujuk kepada regulasi Menteri tentang penyadapan dan selalu mengikuti hukum yang berlaku. Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas laporan sebelumnya oleh Guardian tentang aktivitas penyadapan Australia kepada Indonesia.
Bukan hal yang tidak mungkin jika ada pihak ketiga, yang memiliki akses ke jaringan secara legal, diduga melakukan hal ini secara diam-diam tanpa sepengetahuan pemilik jaringan dengan menyamarkan kegiatannya sebagai proses komunikasi normal.
Tifatul berkata pada hari Selasa lalu bahwa pemerintah akan menyelidiki masalah ini bersama dengan dua operator tersebut sebelum memutuskan bagaimana proses selanjutnya. Jika mereka terbukti berperan aktif, kementerian akan segera mencabut ijin operasional mereka, tapi keduanya hanyalah korban penyadapan maka konsekuensinya akan jauh lebih terbatas.
Penutupan usaha hampir mustahil Meskipun pihak kementerian telah mengeluarkan pernyataan yang sangat keras, kemungkinan bahwa pemerintah akan menutup dua perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia tersebut sangatlah kecil, bahkan mustahil.
Pertama, pemerintah harus membuktikan bahwa operator tersebut secara aktif terlibat dalam memberikan akses ke jaringan komunikasi mereka kepada pihak asing. Jika terbukti, berarti operator tersebut, atau pihak di dalam operator tersebut, telah melakukan kegiatan makar dan bisa diberikan hukuman mati. Jika perusahaan terlibat, maka hasilnya adalah penutupan total.
Kedua, jika digabungkan, kedua perusahaan tersebut memiliki 170 juta pelanggan, yang merupakan 70% dari populasi negara ini. Memindahkan 170 juta pelanggan ke jaringan telekomunikasi lain seperti XL Axiata dan Tri hampir mustahil karena XL Axiata dan Tri tidak memiliki kapasitas untuk mengoperasikan jaringan yang begitu besar.
Jika pemerintah mengundang perusahaan telekomunikasi asing untuk mengambil alih dan mengoperasikan jaringan yang saat ini menjadi milik Telkomsel dan Indosat, hal ini akan menjadi isu politis dan komersil serta mengambil porsi yang sangat signifikan untuk sebuah pemerintahan yang tidak lama lagi akan berakhir menyambut Pemilu legislatif dan presidensial.
Permasalahan penting untuk semua pihak yang terlibat adalah mengetahui bagaimana proses penyadapan ini bisa dimungkinkan, apa langkah-langkah yang bisa diambil untuk mencegah kejadian ini terulang kembali, dan bagimana membangun sebuah infrastruktur dan operasional yang aman yang bisa mencegah hal yang sama terulang kembali.
Pemerhati kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Ichsanuddin Noorsy menyatakan bahwa rakyat Indonesia dan pemerintah belum sadar betul dengan kenyataan bahwa untuk mencegah kasus penyadapan seperti ini kembali terjadi pemerintah dan masyarakat harus berpartisipasi lebih aktif di ranah teknologi.
"Warga Indonesia, terutama anak muda dari Bandung, Yogyakarta, dan Malang mampu membangun pasukan cyber. Mereka dihargai AS, Singapura dan Malaysia. Di Indonesia mereka sama sekali tidak dilihat oleh Pemerintah," ujar Ichsanuddin.
[Ilustrasi foto: Shutterstock]