Perkembangan Industri Internet of Things di Indonesia Tahun 2017
Di tahun 2017 sejumlah permasalahan masih ditemui dan tanpa tindak lanjut permasalahan akan terus ada
Internet of Things (IoT) merupakan sebuah teknologi yang mampu mengubah perangkat menjadi sesuatu yang berharga, di antaranya untuk monitoring dan analisis. Di Indonesia, ekosistem IoT masih kalah dengan industri teknologi lainnya semacam e-commerce dan teknologi finansial. Banyak hal yang menghambat pertumbuhan IoT di Indonesia, mulai dari kebijakan mengenai perangkat, datam hingga yang paling penting yakni penggunaan frekuensi. Ekosistem IoT mengharapkan peran aktif banyak pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk regulator, untuk mendukung akselerasi industri IoT di Indonesia.
Dari segi pemanfaatannya, IoT memiliki banyak peluang, baik untuk pengguna umum atau bisnis. Dari rilis yang dikeluarkan Hitachi, adopsi teknologi IoT akan menjadi tren adopsi global di tahun 2018 mendatang. Hitachi memaparkan solusi IoT akan mampu memberikan wawasan yang berharga untuk mendukung transformasi digital dan dengan cepat menjadi keharusan di hampir semua sektor industri.
CTO Hictachi Hubert Yoshida menyampaikan, membangun solusi IoT akan menjadi tantangan besar tanpa mempersiapkan arsitektur dasar yang tepat dan pemahaman yang mendalam tentang bisnis. CTO Hictachi untuk Asia Pasifik Russel Skingsley menambahkan, perusahaan harus mencari platform IoT yang menawarkan fleksibilitas untuk membantu adopsi sistem yang beragam.
Tren dan Permasalahan yang menghambat IoT di Indonesia
Di Indonesia, setidaknya dalam tiga tahun terakhir mulai banyak orang yang mencoba mengembangkan solusi-solusi IoT. Belakangan juga akhirnya dibentuk IoT Forum yang terdiri dari para penggiat IoT, perusahaan, hingga regulator. Forum yang didirikan Teguh Prasetya, Direktur PT Alita Praya Mitra, ini dibangun untuk menjadi wadah mereka yang terlibat dan terkait dengan teknologi maupun ekosistem IoT di Indonesia.
Dari kacamata Teguh, IoT di tahun 2017 ini masih terus bertumbuh dengan dominasi oleh industrial IoT yang disebutnya bertumbuh di luar ekspektasi, sedangkan untuk consumer IoT masih dalam tahap pengenalan dan sosialisasi.
Hal yang tidak jauh berbeda disampaikan Founder Cubecon Tiyo Avianto. Sebagai salah satu pendiri dari startup yang menawarkan solusi IoT, Tiyo mengungkapkan tren IoT saat ini masih didominasi kebutuhan perusahaan atau enterprise. Semua atas nama efisiensi atau meningkatkan kinerja bisnis.
Dipaparkan Tiyo, ada lima fokus fungsi penerapan IoT, yakni tagging (indentifikasi), monitoring, tracking, kontrol, dan analisis. Kelima fungsi tersebut akan tetap ada untuk ke depannya.
“Tren fokus fungsi ini akan tetap ada untuk ke depannya. Semua piranti IoT pasti akan memiliki kemampuan tersebut, ke depan akan ada segmentasi produk dari bisnis IoT, seperti hardware, dan platform. Semua memiliki potensi market yang menarik, dan memiliki tantangan masing-masing,” terang Tiyo.
Tiyo juga sedikit menyinggung mengenai Fin-IoT (Fintech-internet of things). Sesuatu yang menurutnya bisa ramai dalam beberapa tahun mendatang.
Berbicara mengenai tantangan, menurut Teguh, ia menemukan pengembang dan penggunanya masih menjadi tantangan serius. Kemampuan menembus pasar yang lebih luas masih sedikit terhambat. Di sisi lain, Tiyo menyoroti bahwa ekosistem industri di Indonesia masih cukup berat terutama dari segi perangkat keras.
Kurangnya produsen lokal yang memproduksi perangkat keras atau komponen IoT menjadi permasalahan bagi pengembang. Jika mendatangkan perangkat dari luar negeri urusannya adalah dengan pajak sehingga sangat mempengaruhi harga. Dengan sendirinya pengembang solusi IoT tidak bisa mengembangkan solusi yang kompetitif, terutama di sisi harga, melawan perusahaan asing.
“Ekosistem industri di Indonesia masih cukup berat, utamanya di bidang manufacturing hardware. Indonesia tidak punya kemandirian terhadap komponen elektronika, tentunya semua material harus import. Beban pajak masuk membuat harga pokok produksi cenderung tak mampu sekompetitif produk luar. Menghindari perang harga dengan pabrikan luar negeri adalah keputusan penting, mengingat secara cost produksi, kita tak mampu untuk membuat yang lebih murah,” ujarnya.
Regulasi dan fasilitas yang dibutuhkan industri IoT tanah air
Ekosistem dan industri IoT sangat membutuhkan peran aktif dari pemerintah. Frekuensi, sertifikasi, dan penyediaan sarana pengembangan solusi IoT menjadi bagian yang penting. Disebutkan Teguh, peranan pemerintah dalam menunjang pengembangan industri dan ekosistem IoT sangat dibutuhkan, tidak hanya soal regulasi tetapi juga soal penyediaan laboratorium IoT yang dirasa bisa sangat berperan membantu industri IoT Indonesia untuk tumbuh.
“Peranan pemerintah sangat kondusif dengan memperhatikan masukan dari stakeholder IoT, termasuk di dalamnya IoT Forum yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan dengan mulai membuat draft tentang Roadmap Dan Framework IoT kemudian kajian perlunya Sandbox IoT, hingga Lab IoT di Indonesia,” terang Teguh.
Laboratorium IoT tersebut nantinya tidak hanya akan berperan sebagai pusat pengembangan dan inovasi teknologi, tetapi juga tempat bertemunya para pengembang, pemangku kebijakan, dan investor untuk sama-sama membantu solusi IoT yang dikembangkan bisa bermanfaat bagi masyarakat. Sinergi positif itu yang dirasa masih kurang.
Menurut Presiden Direktur ZTE Indonesia, Mei Zhonghua, industri IoT di Indonesia berkembang pesat dalam dua atau tiga tahun belakangan. Kondisi ini membuat industri IoT membutuhkan tempat yang sama untuk berbagi inovasi baru dan kemajuan. Untuk itu Laboratorium IoT menjadi hal penting untuk mendukung akselerasi ekosistem dan industri IoT di Indonesia.
GM Smart System PT Alita Praya Mitra Reza Akbar menambahkan, untuk membuat sesuatu yang belum begitu populer butuh bukti dan hasil. Keduanya bisa dibantu pemerintah melalui pembentukan regulasi dan membantu infrastruktur, termasuk perlunya roadmap dan tujuan yang jelas.
Sementara Tiyo menyoroti bagaimana kewajiban pemerintah melindungi industri dalam negeri. Ia mencontohkan pemerintah bisa berperan dengan membantu memudahkan startup (dalam hal ini IoT) untuk mendapatkan subsidi sertifikasi, kemudahan akses ke balai uji, hingga diterbitkannya sertifikasi produk, sertifikasi penggunaan frekuensi dan lainnya. Disebutkan biaya sertifikasi masih dianggap mahal.
“Belum lagi perubahan teknologi, pergantian chipset, update hardware, mengharuskan produk disertifikasi [dan] diuji ulang. Circle produk IoT tidak bisa terbilang lama, hanya hitungan 2 tahun teknologi baru berganti dan teknologi lama ditinggalkan. Jeda regulasi di setiap produk harusnya tidak memberatkan startup yang fokus di bidang hardware, karena industri di bidang perangkat keras [investasinya] tidak bisa dibilang murah dan memiliki resiko kegagalan yang cukup tinggi,” papar Tiyo.
Bagi Tiyo, IoT adalah ekosistem, sehingga dibutuhkan banyak tantangan yang saling terkait, termasuk juga campur tangan pemerintah. Tren teknologi baru harusnya tidak menjadi penghalang inovasi industri lokal, seperti LPWAN (Low-Power Wide Area Network) dan NB-IoT (NarrowBand IoT) yang di negara-negara lain didukung pemerintah setempat. Hal ini menjadi kendala di tahun-tahun sebelumnya. Harapannya di tahun 2018 IoT bisa menjadi salah satu industri yang diperhatikan lebih baik oleh pemerintah.