Menerka Masa Depan Industri "Ride-Sharing" di Indonesia
Jika ingin tumbuh pesat, layanan ride-sharing perlu mendapatkan dukungan pemerintah setempat
Salah satu permasalahan sosial di Jakarta yang sudah berhasil membuat masyarakatnya jengah adalah kemacetan. Satu persatu solusi muncul dan kini yang diminati adalah yang mengusung konsep ride-sharing dengan pemanfaatan teknologi dalam penerapannya. Namun, layanan ride-sharing seperi Uber, Go-Jek, dan GrabCar/GrabBike pun kerap terhambat karena resistansi penerimaan dari pemerintah dan pemain sistem lama seperti taksi konvensional dan ojek pangkalan. Lalu seperti apa masa depan industri ini di Indonesia jika terus mendapatkan perlawanan?
Jakarta, kota metropolitan dengan sejuta mimpi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang kini juga dilirik sebagai salah satu ladang basah perusahaan rintisan di kawasan Asia Tenggara. Sebagai kota metropolitan, permasalahan sosial yang dihadapi pun beragam, seperti banjir misalnya dan yang paling membuat jengah masyarakatnya, yakni kemacetan. Boleh dibilang, Jakarta kini berpredikat sebagai salah satu kota dengan tingkat kemacetan paling parah di dunia.
Masalah kemacetan ini disikapi beragam oleh masyarakat Jakarta, ada yang berkeluh kesah hingga lelah, ada pula yang tanpa lelah mencoba menghadirkan solusi. Satu persatu solusi pun muncul dan yang kini paling diminati adalah yang mengusung konsep ride-sharing seperti Go-Jek, Antar.id, atau HandyMantis (lokal) dan GrabTaxi atau GrabBike, EasyTaxi, serta Uber (luar negeri). Semua layanan tersebut menawarkan solusi alternatif jasa transportasi bagi masyarakat Jakarta dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Kondisi ride-sharing di Indonesia dan negara lain
Meski dianggap memberikan dampak yang positif oleh kebanyakan penggunanya, kenyataannya layanan ride-sharing ini juga kerap mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak, baik itu pemerintah ataupun para pelaku sistem lama. Saat ini, yang sedang hangat menjadi perbincangan adalah gesekan yang terjadi antara layanan ojek profesional (Go-Jek dan GrabBike) dengan ojek pangkalan. Selain itu, kontroversi yang terus ditimbulkan oleh Uber pun, baik dengan pemerintah ataupun Organda, tak kalah seru juga untuk diikuti.
Pun demikian, ada satu perbedaan mendasar di antara dua kondisi yang saya sebutkan, yakni layanan yang memanfaatkan jasa ojek masih mendapatkan dukungan pemerintah meski jelas-jelas berstastus ilegal jika berpatokan pada aturan yang berlaku. Sedangkan yang memanfaatkan roda empat, selalu saja dikejar-kejar pemerintah untuk meminta kejelasan layanan hingga status badan hukum mereka.
Jika mau melihat lebih seksama, alasannya sederhana. Kehadiran mereka telah membuat resah para pemain sistem lama yang sudah mengakar dan regulasi yang ada masih belum bisa mengakomodasi layanan sejenis ride-sharing ini. Toh pada kenyataannya Menkominfo Rudiantara pun sempat menekankan bahwa perlu ada aturan yang mengatur layanan ride-sharing ini.
Namun, keadaan seperti ini juga terjadi di luar Indonesia, khususnya untuk layanan Uber, yang menurut hemat saya adalah startup yang paling sering bermasalah dengan pemerintah setempat, bahkan di rumah asalnya dulu, Amerika Serikat. Di Eropa, negara seperti Jerman dan yang paling baru Prancis adalah yang paling tegas memberi perlawanan terhadap Uber. Layanan UberPOP di Prancis bahkan kini telah berhenti.
Di Indonesia, Uber sempat dilaporkan ke kepolisian dan berujung pada penangkapan supir Uber. Penyebab dari permasalahan ini adalah Uber dianggap telah melanggar semua aturan terkait jasa transportasi, tak hanya izin, tetapi juga perpajakan, dan perlindungan konsumen. Uber sendiri menyikapi ini melalui pernyataan di blog resmi mereka dan juga rencana untuk membentuk badan usaha legal di Indonesia.
Lain Uber, lain lagi dengan GrabTaxi dengan layanan GrabCar mereka. Di Filipina, yang telah mencanangkan aturan terkait layanan ride-sharing, mereka berhasil merangkul pemerintah setempat untuk melegalkan operasional layanan GrabCar. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada startup transportasi asal Tiongkok Didi-Kuaidi yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Pembelajaran yang dapat dipetik dari keberhasilan GrabCar di Filipina dan Didi-Kuadi di Tiongkok
Jika melihat kondisi yang ada di berbagai negara, ternyata kondisi layanan ride-sharing pun tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Resistansi dari pemerintah maupun pemain sistem lama pun nyatanya kerap terjadi di berbagai negara terkait dengan layanan ride-sharing yang dianggap disruptive. Namun, bukan berarti tak ada harapan sama sekali.
Sah saja rasanya jika menyatakan masa depan paling cerah terhadap layanan ride-sharing saat ini berada di Filipina, sebagai negara pertama yang mencanangkan aturan untuk layanan ride-sharing. Tonggak dasar aturan dari Filipina yang belum final ini ada tiga, yang pertama yaitu, kendaraan yang digunakan untuk ride-sharing harus berumur di bawah tujuh tahun. Kedua, mobil harus disematkan perangkat Global Positioning System (GPS). Ketiga, pengendara harus diseleksi dan mendapatkan sertifikat dari pihak keamanan transportasi darat, atau departemen transportasi pemerintah.
Sudah sewajarnya pula bagi pemerintah Indonesia untuk mengikuti jejak pemerintah Filipina untuk segera membuat aturan terkait layanan ride-sharing ini. Namun, perlu diingat juga, aturan yang nantinya akan dibuat ini jangan sampai membatasi pertumbuhan industri ride-sharing itu sendiri. Perlu peran berbagai pihak untuk merealisasikan ini.
Untuk pemain di segmen ini, ada baiknya belajar dari keberhasilan GrabCar di Filipina dan juga Didi-Kuaidi di Tiongkok. Ketika memasuki pasar Filipina, GrabCar mengupayakan operasionalnya memenuhi standar industri yang berlaku. Hasilnya, mereka berhasil menjadi layanan ride-sharing pertama yang operasionalnya legal di Filipina.
Sedangkan Didi-Kuaidi rahasinya adalah bekerja dengan regulator pemerintah sebelum peluncuran produk. Hal tersebut diungkapkan oleh CEO Didi-Kuaidi Joe Lee melalui CNET. Lebih jauh dia mengungkapkan bahwa jika ingin tumbuh cepat, penting untuk memastikan pemerintah mendukung bisnis yang dijalankan. Apalagi jika kontrol pemerintahannya sangat ketat seperti Tiongkok dan bukan hal yang sulit untuk menghentikan bisnis hanya dalam satu hari.
Menerka masa depan ride-sharing di Indonesia
Melihat kondisi saat ini, rasanya agak sulit menebak masa depan industri ride-sharing di Indonesia saat ini, karena jawabannya hanya ada dua, tutup usaha atau lanjut dengan susah payah. Tanpa adanya regulasi yang mendukung dan adanya penolakan dari berbagai pihak, membuat pemain industri ride-sharing tak memiliki perlindungan yang kuat untuk layanannya secara hukum. Jika kejadian Uber di Prancis terulang di Indonesia, bukan tak mungkin akan ada salah satu layanan yang tumbang.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia mulai mencanangkan aturan layanan ride-sharing di Indonesia. Fungsinya bukan hanya untuk melindungi secara hukum saja, tetapi juga menjadi jembatan untuk mensinergikan berbagai pihak yang terlibat seperti pemerintah, pemain industri jasa transportasi lama, dan pelaku industri ride-sharing. Jika tak ada aturan apapun, dalam satu atau tiga tahun ke depan, meski para pemain ride-sharing dapat bertahan dan berekspansi, saya rasa hasilnya tidak akan maksimal.