Siasat Studio Gim Lokal dan Ekosistem di Tengah Pesatnya Esports di Indonesia
Beberapa studio gim lokal mulai kembangkan permainan bertajuk esports
Esports menghadirkan model bisnis baru dalam permainan digital. Popularitasnya melejit kencang, menjadikan gim yang awalnya hanya sebagai kanal hiburan, kini bisa dijadikan pilihan karier profesional. Tak ayal, salah satu hasil riset mengemukakan kapitalisasi pasar esports akan mencapai $1,7 triliun di tahun 2022 mendatang.
"Asia Tenggara tidak hanya menjadi tempat berkembangnya industri game, kawasan ini juga menjadi pusat dari esports secara global," ujar Lisa Cosmas Hanson selaku Managing Partner Niko Partners.
Berbicara Asia Tenggara, maka tidak bisa terlepas dari Indonesia. Melihat perkembangannya sejauh ini, ekosistem esports lokal mulai terbentuk dengan baik. Banyak “startup esports” bermunculan, banyak di antaranya telah mendapatkan dukungan finansial dari investor dan/atau brand pendukung.
Di tengah pembicaraan tentang esports lantas muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimana game developer/studio lokal menghadapi tren ini? Apakah dipandang sebagai kesempatan atau sebaliknya, justru menjadi tantangan berat karena penikmat gim sudah naik kelas?”
Adapt or die?
Di bisnis teknologi, banyak pelajaran kegagalan yang bisa dipelajari tentang kemauan pengembang produk untuk beradaptasi dengan pasar. Sebut saja popularitas Nokia yang merosot tajam di tengah perkembangan Android dan iOS; atau penutupan satu per satu platform sosial yang dimiliki Yahoo di tengah meningkatnya pengguna media sosial. Kejadian seperti itu tentu tidak diinginkan oleh pebisnis, termasuk para pemilik studio gim lokal.
Kami mencoba berbincang dengan beberapa pihak, salah satunya Co-Founder & COO Anantarupa Studios Diana Paskarina. Seiring tenarnya esports, mereka memilih untuk mengadaptasi perkembangan pasar. Realisasinya, saat ini mereka tengah mengembangkan gim esports dengan genre MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) berjudul "Lokapala". Saat ini sudah masuk pra-registrasi dan akan meluncur penuh di awal tahun 2020.
Diana turut memberikan tanggapan mengenai ekosistem produk gim di Indonesia, "Melihat esports yang sangat besar dan masih terus berkembang, kami melihat ini tentunya sebagai potensi. Walaupun pada kenyataannya sampai saat ini produk gim, tidak hanya esports, masih didominasi pemain asing, namun pasar terus berkembang dan kebutuhan konten gim baru sangat tinggi."
Studio lainnya, yakni Agate, juga memiliki rencana yang sama. Dalam waktu dekat mereka akan meluncurkan produk yang sesuai dengan kriteria esports. Mereka juga melihat esports sebagai peluang yang baik, karena membantu mempromosikan produk-produk gim itu sendiri ke khalayak luas. Dan membantu mempromosikan bahwa gim bisa menjadi kegiatan produktif.
"Ada beberapa gim yang saat ini sedang digarap dan direncanakan untuk dapat dikompetisikan di esports. Namun kami belum bisa menceritakan lebih detail karena masih tahap pengembangan. Kami juga akan segera meluncurkan gim esports manager untuk tingkat global. Gim ini sudah mendapatkan penghargaan Big Indie Pitch Game Developer Conference 2018 di San Francisco," terang PR Manager Agate Studio Alwine Brahmana.
Di kancah regional, Garena menjadi salah satu tolok ukur perusahaan yang telah sukses berbaur di era esports. Melalui beberapa produk andalannya, salah satunya Free Fire, perusahaan berbasis di Singapura tersebut berhasil membukukan pendapatan setara $1 miliar.
Katalisator ekosistem
Setelah sebelumnya berdiri Indonesia Esports Association (IESPA), pada Juli 2019 lalu Menkominfo Rudiantara meresmikan Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia (AVGI). Kemudian awal Oktober 2019 kemarin Federasi Esports Indonesia (FEI) juga dikenalkan ke publik. Dengan visi untuk memajukan esports nasional, masing-masing miliki misi berbeda. FEI misalnya, mereka mulai menyoroti standardisasi kontrak pekerja esports.
"Federasi hadir menjawab permasalahan para pelaku esports khususnya di level paling bawah, yaitu player, caster, media. Mereka sejauh ini belum ada yang menaungi. Selama ini mungkin mereka perlu ada perbaikan tapi mau ke mana mereka meminta bantuan? Mau dibantu seperti apa? Hal ini yang menurut saya yang perlu dibenahi dan yang menjadi peran utama FEI," terang Ketua Umum FEI yang juga merupakan CEO RRQ Andrian Pauline Husen.
Pembentukan organisasi-organisasi tersebut –yang melibatkan stakeholders dan pelaku bisnis—dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekosistem esports di Indonesia, sekaligus jadi langkah preventif.
Sebelum dilebur dengan Kementerian Pariwisata, Bekraf pernah menjadi badan pemerintahan yang turut memberikan dorongan untuk pengembang gim lokal berkiprah lebih. Selain mengadakan acara nasional seperti Game Prime, mereka turut membawa para kreator ke acara di tingkat nasional, seperti Game Connection America dan Tokyo Game Show.
Menuju perjalanan panjang esports Indonesia
Di tingkatan atlet dan perusahaan yang menaungi, perkembangan esports begitu terasa. Hingga pemodal ventura pun mulai memberikan porsi tersendiri untuk menyalurkan dana kelolaannya ke sana. Sementara bagi para pengembang gim lokal, saat ini masih menjadi fase yang sangat awal untuk mulai berkecimpung ke esports.
Ada banyak sinergi yang bisa dilakukan agar pertumbuhan bisa terjadi secara menyeluruh. Misalnya, pemerintah punya program seperti Piala Presiden untuk Esports untuk menemukan bakat-bakat yang akan diperlombakan ke ajang seperti SEA Games, ketika produk dari studio lokal tadi sudah selesai dikembangkan, selayaknya mendapatkan porsi untuk dijadikan salah satu objek dalam kompetisi.
Atau melalui berbagai asosiasi yang sudah didirikan, para pengembang, pebisnis esports, dan brand mulai merumuskan roadmap terpadu, mengelaborasikan sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki masing-masing. Karena pada dasarnya setiap elemen dalam ekosistem akan memiliki peran sentral untuk perjalanan pajang esports Indonesia ke depan.