1. Startup

Startup Jungkir Balik Sendirian dalam Ekosistem Buruk di Daerah (Bagian 1)

Penggiat startup di Balikpapan menceritakan pengalamannya mendirikan usaha di luar Jakarta

Sebagai pendiri dan pemilik startup Social Lab (dulu bagian Discover Borneo) di Balikpapan, Kaltim, saya merasakan sendiri betapa beratnya membangun startup dalam ekosistem yang tidak mendukung. Pendanaan (funding) dan infrastruktur justru bukan masalah utama. Persoalan besarnya ada di mentor, promoter, network, inkubator, akselerator dan regulator. Investor justru belakangan. Faktor-faktor di atas saling terhubung secara mutual dalam sebuah ekosistem. Dan ekosistem inilah yang paling penting.

Startup sudah punya masalah sejak awal ketika mereka memilih produk atau jasa dan model bisnis. Bisnis digital sangat rawan hype. Ketika e-commerce booming, semua bikin toko online. Saat mobile app booming, ramai-ramai jadi mobile developer. Ketika bisnis buzzer gurih, semua bikin akun buzzer. Padahal belum tentu pilihan mereka tepat bila dilihat dari potensi market, kompetensi dan masa depan usaha. Apalagi startup mayoritas diisi anak-anak muda yang mudah terbujuk hype dan tren. Mereka mungkin sedang gandrung, tapi belum tentu punya passion. Punya passion, tapi belum tentu punya kompetensi. Punya kompetensi, belum tentu market-nya ada. Bisa jadi potensi user-nya terbuka lebar, tapi nilai bisnisnya kecil.

Ketika salah di langkah awal, langkah selanjutnya bisa sangat buruk. Apalagi sudah jadi keniscayaan bahwa setiap bisnis internet dan digital tempat tarungnya scope global, tingkat dunia. Minimal nasional. Dunia digital yang tanpa batas membuat standar penilaian kualitasnya juga borderless (tanpa batasan teritori). Sebuah produk buatan startup lokal di sisi user akan dibandingkan dengan produk serupa buatan sebuah perusahaan raksasa di Silicon Valley.

Ladang pertempurannya juga berdarah-darah karena mempertemukan pemain besar dengan pemain kecil — bahkan yang baru lahir. Sebagai industri kreatif, startup bisa dilakukan oleh siapa pun. Orang bodoh, orang pintar, orang kaya, orang miskin, bebas masuk dan memulai bisnis startup. Bisnis digital itu tempat tarung yang super sadis dan uang tidak jadi segala-galanya.

Awal mengenal dunia startup

Startup saya sendiri adalah korban hype ketika bisnis buzzer Indonesia sedang booming akhir 2000-an. Lewat akun Twitter informasi perkotaan @KotaBalikpapan, saya dan seorang teman memulai usaha buzzer. Tak ada satu pun dari kami yang tahu ini "barang apa". Nekat saja pokoknya. Tanpa guru, tanpa promoter, tanpa inkubator. Yang dimiliki cuma network dan kompetensi bidang IT. Dalam hitungan minggu, kami sudah bisa meraba model bisnisnya dan agak percaya diri pergi ke prospect client dan investor.

Prospect client dan investor tingkat lokal juga bingung, ini ‘barang apa’. Yang mereka tahu, Twitter itu ‘barang mainan’ dan gratis. Kalau beriklan mereka lebih memilih ke media mainstream. Investor juga tidak mau ‘buang uang’ ke bisnis yang menurut mereka tidak jelas keuntungannya begini — dan kelihatannya lebih jelas main-main dan ruginya. Menurut mereka kami cuma anak muda yang sedang ikut-ikutan tren saja. Memang tidak salah, sih!

Padahal dari segi user, @KotaBalikpapan tumbuh sangat cepat. Sekarang followernya sudah 110.000 lebih dan jadi yang paling besar di Indonesia Tengah dan segera di Indonesia Timur juga. Padahal populasi Balikpapan hanya 600 ribu. Artinya dari segi user prospektif, tapi dari segi income dan investor buruk sekali.

Tapi apakah bila tak punya uang artinya harus berhenti di sini? Tidak. Apalagi anak muda (yang katanya) pantang menyerah. Maka datanglah ke bank cari kredit. Gampang sekali dapatnya. Nah, sekarang punya uang (agak banyak juga), punya user, tapi tetap tak punya income (client). Padahal cicilan dan bunga jalan terus setiap bulan.

Kondisi ini masih diperparah dengan nihilnya kompetensi dan pengalaman kami memiliki dan mengelola perusahaan. Perusahaan ini mau dikelola seperti apa, tidak ada yang bimbing. Akhirnya trial and error, dan otomatis menguras biaya. Sampai pada titik kami makin tercekik dengan cicilan itu di saat income tidak juga membaik.

Pilihannya jadi sangat sulit. Kalau bisnis ini ditutup, utang bank tetap jalan. Cari investor, mereka tidak paham bisnisnya. Terus dijalankan, income juga tidak membaik. Tapi akhirnya kami pilih terus dijalankan karena Rp 1 dikurang Rp 1 juta (tetap berjalan) itu lebih baik dibandingkan Rp 0 dikurang Rp 1 juta (ditutup).

Titik balik

Katanya posisi terjepit itu membuat orang jadi kreatif. Itu terjadi pada kami yang harus mengubah "bencana" ini jadi berkah. Kawan saya yang mengurus perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran. Saya yang mengurus operasional langsung banting setir. Tak bisa hanya mengandalkan buzzer dan pasar lokal.

Dari segi produk, saya memperluas jenis produk/jasa dengan scope lebih luas ke social commerce developer dan consultant, big data analytics, business intelligence, reputation management, dan trainer. Geraknya jadi lebih leluasa. Sebagai orang yang juga bekerja di surat kabar, saya punya kompetensi dan pengalaman di bidang komunikasi dan konten. Sementara di bidang IT, saya sudah punya pengalaman sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Dari segi market, saya berhenti cari klien di Balikpapan. Saya merambah ke Jakarta dan ikut dalam lelang pekerjaan freelance di Internet secara global. Satu per satu uang datang dan brand-brand besar skala nasional dan internasional jadi klien. Sekarang income-nya bisa buat menjalankan dan mengembangkan usaha serta bernafas sampai 3-4 tahun ke depan. Dari keseluruhan omzet, 90% datang dari Jakarta, 7% internasional, dan 3% lokal.

Saya sampaikan ke teman saya, “Kenapa juga kita dari dulu habis waktu, tenaga, dan uang di pasar lokal yang nggak paham dan nggak ada duitnya begini? Padahal dapat uang di Jakarta jauh lebih mudah dan sangat besar size-nya.”

Kisah pengalaman saya di atas adalah cerminan betapa rentannya para startup bila tak didukung dalam ekosistem yang baik. Startup yang dijalankan anak-anak muda — terutama di daerah — yang minim pengalaman berbisnis dan mengoperasikan perusahaan, berhadapan dengan potensi yang sangat besar tewas di tengah jalan. Akhirnya bisnis digital dan Internet dianggap hype, sesuatu yang dilebih-lebihkan tapi nilainya rendah.

- Tulisan ini disadur dari artikel aslinya dengan penyuntingan tanpa mengurangi maksud.

Hilman Fajrian adalah Digital Director Social Lab dan Discover Borneo, serta Direktur Bisnis Koran Kaltim. Berpengalaman di industri e-commerce sejak tahun 1998 dan mulai tahun 2010 menggeluti sektor social commerce. Kontak: hilman(at)soclab.co