Strategi Kreatif Kedai Kopi Bersaing di Tengah Ketatnya Pasar
Belajar dari Founder & CEO Kopi Janji Jiwa Billy Kurniawan dalam sesi #SelasaStartup
Bisnis kedai kopi menjadi suatu ranah usaha yang banyak digeluti oleh banyak orang. Semakin banyak brand baru bermunculan, persaingannya otomatis semakin ketat. Pada akhirnya, masing-masing pemain kembali dituntut untuk berinovasi agar tetap mendapat konsumen loyal. Lalu seperti apa kiat-kiatnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, #SelasaStartup kali ini mengundang Founder dan CEO Kopi Janji Jiwa Billy Kurniawan sebagai pembicara. Janji Jiwa merupakan kedai kopi yang menggunakan konsep grab-and-go. Sejak didirikan dua tahun lalu, Janji Jiwa kini sudah memiliki 800 outlet di seluruh Indonesia, berkat program kemitraan. Berikut rangkuman hasil diskusinya:
Pastikan apakah passion atau sekadar mengikuti tren
Untuk pengusaha muda yang tertarik terjun ke industri kopi, dia menyarankan untuk memastikan terlebih dulu apakah ini passion atau sekadar ikut tren saja. Menurutnya ini adalah fondasi dasar yang harus diperkuat sebelum melangkah ke proses selanjutnya, seperti riset asal usul kopi, cari supplier, cara roasting, hingga mengatur harga jual.
Apabila sesuai minat, maka ada spesialisasi yang bisa dikembangkan untuk memberikan nilai tambah kepada brand tersebut. Kopi itu sendiri, sambungnya, masih punya ruang yang luas untuk dikembangkan.
Alasannya simpel, kopi adalah salah satu komoditas utama di Indonesia yang peminatnya banyak. Semua orang, dari berbagai kalangan usia, status sosial, jenis kelamin, bisa menjadi pasar tersendiri untuk masing-masing brand.
"Jadi harus cari identitas dulu dan cari tahu market-nya agar tidak salah sasaran. Kopi itu butuh personal attachment, harus ada cerita di baliknya. Kalau Janji Jiwa itu tentang passion, kita mau menemani teman-teman yang sedang mengerjakan sesuatu sesuai passion mereka," katanya.
Kalau hanya sekadar mengejar tren, tanpa diikuti passion yang kuat di kopi, menurutnya akan susah untuk suatu brand bisa bertahan. Pasalnya, yang pasti diincar adalah bersaing dengan brand dan memberikan kelebihan-kelebihan yang tidak ada di kompetitor.
Sementara kalau hanya ingin bersaing, ujung-ujungnya adalah perang harga. Kualitas kopi dan komponen lainnya harus diturunkan demi menawarkan satu gelas kopi dengan harga murah.
Membuat product market fit
Di industri food and beverages (FnB), juga butuh product market fit untuk mendapatkan produk yang disukai konsumen. Billy merekomendasikan untuk menggunakan lima panca indera. Dari pengelihatan, pastikan logo brand tersebut harus merepresentasikan jati dirinya.
Dari pengecapan, harus mengutamakan rasa karena lidah tidak bisa dibohongi. Lalu, dari peraba, perlu dipastikan dari pengemasannya harus memudahkan konsumen bukan justru merepotkan mereka.
Keempat, indera penciuman berbicara tentang aroma kopi. Aroma adalah kunci terpenting dalam membuat kopi karena berbicara tentang kualitas. Terakhir, pendengaran, ketika suatu brand diterima dengan baik oleh konsumen pasti word of mouth-nya akan kencang.
"Buat brand baru bisa mulai cari tahu market-nya dulu, bisa buat survei sendiri dengan buat sampel-sampel."
Di Janji Jiwa, secara rutin perusahaan membuat survei internal untuk setiap produk yang akan dirilis. Dari situ akan ada gambaran kasar bagaimana respons konsumen, apakah perlu dilanjutkan atau diperbaiki.
Ketika sudah mendapat profit, dia juga menyarankan untuk fokus ke pertumbuhan. Profit tersebut sebaiknya harus diinvestasi kembali hingga brand tersebut menjadi bisnis yang berkelanjutan.
Lantaran, ia memandang bahwa menjadi pemimpin pasar itu sangat penting dan persiangannya untuk grab-and-go lebih intens.
Tidak ada zero cost, tapi bisa terapkan minimal cost
Dalam rangka merintis bisnis baru, Billy memastikan bahwa tidak ada yang bisa dikatakan sebagai zero cost. Bisnis kopi, bila disesuaikan dengan target konsumen, membutuhkan peralatan yang harganya tidak murah. Itu adalah investasi yang dapat berguna untuk jangka panjang.
Dia bercerita, Janji Jiwa ia didirikan dengan modal awal Rp70 juta. Nominal tersebut sudah masuk biaya sewa untuk outlet pertamanya di ITC Kuningan, Jakarta. Pada saat itu, ia ingin membuktikan apakah hipotesis dari kedai kopi grab-and-go benar bisa menjadi bisnis nyata.
"Ketika tahu outlet tersebut punya traffic tinggi, harus lakukan continous improvement. Artinya harus investasi alat yang lebih bagus agar konsumen tidak kecewa."
Untuk pemasarannya, Janji Jiwa sangat mengandalkan keberadaan Instagram sebagai media pemasarannya. Agar punya brand awareness dan exposure yang kuat, tapi modal tipis, ia memutuskan untuk melakukan kolaborasi barter produk dengan brand lokal.
More Coverage:
"Creative marketing itu penting karena harus bisa survive dengan modal yang ada sekarang. Kolaborasi dengan brand lokal, buat barter produk itu lebih baik karena memberikan uang itu adalah cost."
Masuk ke platform online
Kedai kopi dengan konsep grab-and-go saat ini sangat terbantu sekali dengan kehadiran GrabFood dan GoFood untuk pengiriman online. Billy mengungkapkan porsinya mencapai 30% dari total pemesanan setiap harinya.
Tentunya, konsep ini bisa semakin diperkuat apabila brand tersebut punya aplikasi sendiri. Namun jika hanya menyediakan aplikasi untuk memesan saja, itu tidak cukup. Aplikasi harus memberikan nilai tambah buat konsumen dengan fitur-fitur, seperti program loyalitas, cek lokasi terdekat, free merchandise, dan sebagainya. "Janji Jiwa juga sedang ke arah sana [buat aplikasi]."
Bergerak menyesuaikan tren, lanjutnya, adalah cara antisipasi agar suatu brand tidak hanya menjadi sebatas hype. Oleh karenanya, saat ini Janji Jiwa juga merilis vertikal produk lainnya untuk roti bakar.
"Kita pastikan sinergi antara kedua brand ini [Janji Jiwa dan Jiwa Toast] bisa jalan. Makanya kita buat toast yang kita develop sendiri rasanya, tidak yang topping-nya manis karena sudah banyak yang jual."