Tantangan Membangun Komunitas dalam "Social Commerce"
Merangkum diskusi #SelasaStartup bersama Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari dan Co-Founder Evermos Ilham Taufiq
Komunitas menjadi sebuah elemen penting dalam membangun dan menjalankan bisnis. Layaknya supporting system, sebuah komunitas merupakan tempat untuk orang-orang dengan pemikiran yang sama berkumpul dan menjalin relasi.
Dalam dunia bisnis, utamanya online, komunitas dapat memberikan pengaruh besar karena bisa menambah koneksi, berbagi wawasan, meningkatkan kepercayaan diri dalam berbisnis, dan tentunya memperluas jangkauan pasar. Hal ini berlaku pada berbagai jenis layanan atau bisnis, tidak terkecuali social commerce.
Sebagai layanan yang mengandalkan interaksi sosial untuk menjangkau pasar, tentunya komunitas menjadi salah satu ujung tombak bisnis social commerce. Hal ini turut diamini oleh Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari dan Co-Founder Evermos Ilham Taufiq yang mengisi sesi diskusi #SelasaStartup di hari Selasa (24/8) lalu.
Dalam diskusi ini, para Co-Founder berbagi pengalaman mengenai peran komunitas dalam keberlangsungan bisnisnya. Selain itu, mereka juga turut mengungkapkan betapa pandemi memiliki efek samping yang luar biasa terhadap para partner/agen maupun perusahaan. Berikut beberapa poin yang dapat diambil dari acara #SelasaStartup yang bekerja sama dengan Endeavor Indonesia dengan topik Scale up 101: Building the Community.
Menumbuhkan rasa percaya dan dampak positif
Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi masih ada saja masyarakat yang masih belum mau berbelanja menggunakan platform daring. Mereka lebih memilih untuk datang ke tempat dan menilai secara langsung produk-produk yang ingin mereka beli. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah rasa tidak percaya.
Ilham mengaku bahwa salah satu alasan Evermos dibentuk adalah untuk menjangkau konsumen yang masih enggan berbelanja disebabkan kurangnya rasa percaya terhadap platform-platform online. Lalu mereka mencoba masuk ke pasar yang lebih konvensional dengan perpanjangan tangan reseller. Dengan begitu, rasa percaya akan mulai tumbuh seiring konsumen menikmati pengalaman berbelanja yang lebih modern.
Sedikit berbeda dengan layanan Meyer Food yang dilatarbelakangi oleh keluarga salah satu Co-Founder Renny Lim yang merupakan pemilik bisnis supplier daging ayam. Perusahaan memiliki jajaran Co-Founder para wanita, salah satu misi mereka adalah untuk memberdayakan ibu rumah tangga yang juga punya keinginan untuk mandiri secara finansial agar bisa memanfaatkan waktu luang untuk menjadi reseller daging ayam.
Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari turut mengungkapkan,"Kita percaya wanita bisa jadi penopang ekonomi di masa yang akan datang. Jadi, kita fokus untuk menciptakan cerita sukses yang lain, bukan semata-mata mendapat penghasilan. Kami ingin platform ini benar-benar bisa berdampak bagi orang banyak."
Athalia juga mengungkapkan, "Selama dua tahun terakhir, hal yang sangat rewarding bagi Meyer Food adalah ketika bisnis yang dijalankan ibu rumah tangga yang pada awalnya tidak disetujui suami, bisa memberi hasil yang luar biasa hingga akhirnya meraih pendapatan berkali lipat lalu ikut didukung oleh suaminya."
Evermos sebagai social commerce yang fokus pada nilai-nilai syariah turut mengungkapkan strateginya untuk bisa menjadi bisnis yang berdampak dengan 2R, yaitu Rupiah dan Ruhiyah. Ilham mengaku bahwa ia tidak hanya fokus dengan hal-hal pragmatis, namun ingin lebih serius untuk bisa mencapai inklusivitas. "Kalau sekedar aspek uang, kita semua tau dunia startup seperti apa," tambahnya.
Menemukan rekanan yang memiliki integritas
Dalam sebuah komunitas, meskipun memiliki satu kesamaan, tentunya ada berbagai macam karakter individu. Ada yang benar-benar sepenuh hati ingin berperan membangun komunitas, ada yang hanya ikut-ikutan atau berpartisipasi hanya jika ada waktu luang. Tidak ada yang salah, namun ketika masuk ke ranah bisnis, hal ini menjadi tantangan tersendiri.
Dalam menjalankan bisnisnya, Meyer Food menerapkan kemitraan dengan sistem sharing profit untuk setiap item yang dijual. Sebagai partner/mitra bertanggung jawab sebagai distribution point serta menerima pembayaran COD. Tantangan muncul ketika ada partner yang tidak bisa mengelola pengeluaran dengan baik sehingga uang hasil penjualan terpakai untuk hal-hal lain.
Belajar dari pengalaman, Meyer Food kemudian memperketat proses kurasi bagi para mitra. Athalia mengungkapkan bahwa timnya ingin memiliki partner yang bukan hanya sekadar mau berjualan tetapi juga memiliki integritas serta komitmen jangka panjang dalam menjalani bisnis. Saat ini, layanan telah memfasilitasi sebanyak 100 mitra di area Jabodetabek. Mungkin bukan angka yang besar namun timnya memastikan bahwa mereka adalah mitra yang berkualitas.
Sementara di Evermos, pada awalnya layanan yang ditawarkan sepenuhnya gratis. Namun setelah beberapa lama, akhirnya mereka menerapkan proses kurasi dengan metode berbayar untuk melihat keseriusan mitra untuk berjualan. Namun selama pandemi, dua opsi ini tersedia agar tidak mempersulit mitra untuk berjualan.
Ketika membangun sebuah komunitas, sering kali kita memulai dari inner circle atau lingkungan terdekat. Di Meyer Food, pelanggan pertama mereka adalah salah seorang tetangga dari Athalia. Timnya mengaku ada banyak sekali pertimbangan dan kekhawatiran untuk bisnis ini bisa berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya komunitas, maka satu per satu tantangan bisa dihadapi.
Mempertahankan keterikatan yang kuat
Jalannya sebuah komunitas juga bergantung dengan komunikasi serta interaksi yang baik antar sesama anggotanya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, ada banyak pembatasan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini sedikit banyak berpengaruh dengan keberlangsungan komunitas, dan juga bisnis.
Ketika sebuah bisnis telah memiliki engagement atau keterikatan yang kuat ke sebuah komunitas, maka komunitas tersebut bisa menjadi sumber umpan balik yang terpercaya. Evermos, sebagai social commerce mengaku sering terjun ke lapangan serta berinteraksi secara langsung untuk membangun keterikatan yang kuat dengan para reseller.
Menurut Ilham, banyak partner yang sedang terdampak dari sisi psikologi. "Dalam hal engagement kita harus bisa mengerti kebutuhan partner, termasuk menjadi tempat curhat mereka. Di situ kita belajar lagi untuk bisa jadi pendengar yang lebih baik dan mencoba mengerti kondisi partner. Ada baiknya untuk mendahulukan empati. Ini menjadi salah satu poin penting bagaimana membuat mereka nyaman dan loyal," tambahnya.