Tentang Crowdfunding, Kejadian "Cak Budi" dan Penegasan UU Pengumpulan Donasi
Menteri Khofifah: yang boleh mengumpulkan bantuan sumbangan uang untuk layanan sosial itu organisasi
Kasus "Cak Budi" yang terindikasi menggunakan dana patungan untuk pembelian mobil dan gadget mewah beberapa waktu lalu tampaknya akan berdampak serius pada tatanan model pendanaan crowdfunding di Indonesia. Kendati sudah ada klarifikasi dari Kitabisa sebagai salah satu platform yang digunakan untuk mengumpulkan dana dan klarifikasi informasi pengembalian dana untuk disalurkan ulang, namun kejadian ini menjadikan publik kembali harus berpikir dan mempertimbangkan risiko sistem social-crowdfunding untuk pendanaan kegiatan sosial.
Pun demikian dengan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, sesuai keterangan yang dikutip Kompas, ia menegaskan kembali tentang poin yang tertera pada UU No. 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang dan PP No. 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Dana. Selain masalah sosialisasi UU, Khofifah turut menegaskan kembali tentang siapa yang berhak melakukan pengumpulan dana dalam kegiatan sosial.
"...yang boleh mengumpulkan bantuan sumbangan uang atau barang untuk layanan kesejahteraan sosial itu organisasi atau perkumpulan sosial, tidak bisa pribadi...," ujar Khofifah.
Sementara organisasi masyarakat harus memenuhi beberapa kriteria dalam mencapai legalitasnya. Salah satunya harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Dan jika organisasi tersebut akan bergerak di bidang sosial, seperti melakukan pengumpulan dana kepada masyarakat Indonesia secara umum, maka wajib mendaftarkan juga ke Kementerian Sosial.
Secara teknis menurut Pengelolaan Sumber Dana Bantuan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih pemrosesan izin akan sangat disesuaikan dengan ruang gerak organisasi. Jika organisasi sosial tersebut menghimpun dana dari masyarakat nasional, maka izinnya pun harus langsung dari Kemesos. Sedangkan ketika berada di ranah kabupaten atau provinsi, izin bisa didapat dari dinas terkait di daerahnya masing-masing dengan melampirkan data kepanitiaan, SIUP, NPWP, dan sebagainya.
Kondisi berbeda pada capaian sistem Kitabisa
Sepanjang tahun 2016, platform crowdunding Kitabisa berhasil membukukan donasi senilai Rp61 miliar, naik tujuh kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dana tersebut dikumpulkan melalui lebih dari 3 ribu kampanye penggalangan dana online yang melibatkan 192 ribu donatur. Salah satu penggalangan dana terbesar di tahun tersebut adalah pembangunan masjid Chiba Jepang dengan nilai mencapai Rp3,2 miliar dan aksi tanggap bencana banjir bandang di Garut sebesar Rp883 juta. Beberapa tokoh publik –mulai artis sampai pejabat, turut menginisiasi beberapa kampanye di Kitabisa.
Capaian tersebut tentu berbanding terbalik dengan pernyataan pihak Kemensos di atas. Model penggalangan dana yang dilansir Kitabisa membebaskan siapa saja (perorangan) untuk bisa melakukan penggalangan dana. Untuk menanggapi hal tersebut, kami mencoba berdiskusi dengan CMO Kitabisa Vikra Ijas.
Vikra mengungkapkan bahwa pihaknya menghormati apa yang diungkapkan Menteri mengacu kepada UU pengumpulan uang dan barang tahun 1961. Namun menurut pemaparan Vikra, Kemensos sendiri sudah menunjuk tim perumus dan sedang dalam proses melakukan revisi terhadap UU tersebut agar menyesuaikan dengan situasi yang ada hari ini, masyarakat (termasuk individu) dapat dengan mudah membuat penggalangan dana berskala publik melalui media sosial dan internet.
Untuk menyiasatinya dengan kondisi saat ini, Vikra mengatakan strategi yang akan digalakkan Kitabisa:
"UU yang ada secara spesifik mengatur penggalangan dana berskala publik. Sementara penggalangan dana yang bersifat terbatas, seperti di dalam komunitas tertentu maka tidak memerlukan izin. Ke depan, Kitabisa akan menekankan peran sebagai 'alat bantu' untuk menjaga transparansi bagi individu yang ingin menggalang dana kepada jaringan/komunitas mereka sendiri (peer-funding). Untuk galang dana yang sifatnya publik, Kitabisa hanya akan meng-endorse campaign yang diinisiasi atau penyaluran dananya ditujukan/ditangani oleh lembaga/organisasi berbadan hukum dan berizin seperti ACT, BAZNAS, Dompet Dhuafa, PMI dan sebagainya.”
Lalu terkait dengan kasus Cak Budi –kendati Kitabisa sudah merilis klarifikasi resmi—Vikra turut menuturkan pihaknya akan terus meningkatkan sistem dan SOP verifikasi identitas, pencairan dana dan pelaporan dari campaigner (pihak yang menggalang dana).
“Tanpa platform Kitabisa pun masyarakat (termasuk individu) sudah menggalang dana sendiri secara, baik offline maupun online melalui media sosial. Kitabisa hadir untuk membantu proses penggalangan dana yang dilakukan masyarakat selama ini menjadi lebih transparan dan termonitor. Pada akhirnya, kami percaya platform Kitabisa ada agar setiap orang dapat membantu siapa saja/apa saja yang mereka peduli, serta menciptakan ekosistem giving yang inklusif, aman dan nyaman untuk semua.”
Esensi crowdfunding adalah demokratisasi pendanaan
Crowdfunding sendiri merupakan salah satu hasil manis dari pemanfaatan internet. Mulai banyak diperbincangkan sejak tahun 2006, crowdfundingmerupakan praktik penggalangan dana dari sejumlah besar orang untuk memodali suatu proyek atau usaha yang umumnya dilakukan melalui medium digital. Salah satu keunggulan sistem ini setiap orang bisa berpartisipasi, baik sebagai penyalur dana ataupun pemberi dana.
Di Indonesia sendiri model konvensional untuk urun dana dalam kegiatan sosial sudah dipraktikkan sejak lama. Sangat mudah ditemui, misalnya ketika terjadi bencana alam, banyak organisasi atau perusahaan (cth. pertelevisian) membuka kegiatan amal sebagai penyalur dana.
Jika ditelaah lebih lanjut, manfaat dari sistem berbasis crowdfunding bisa dikatakan sangat efisien saat ini. Karena pada dasarnya setiap orang bisa menderma untuk kegiatan sosial. Platform crowdfunding menjembatani model tersebut sehingga lebih transparan, terkontrol dan mudah disebarluaskan.
Kejadian Cak Budi mungkin bisa menjadi pelajaran bagi penyedia platform untuk memperbaiki alur sistem yang dimiliki, sehingga meminimalkan terjadinya penyelewengan, namun bukan berarti kegiatan seperti ini dibatasi. Nyatanya banyak yang akhirnya tergerak dan bersimpati, karena untuk berkegiatan sosial kini mendapatkan wadah yang nyaman.
Jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga.