TikTok Shop Resmi Ditutup, Begini Tanggapan Penjual dan Kreator
TikTok mengonfirmasi akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah Indonesia terkait rencana ke depan
TikTok Indonesia akhirnya secara resmi mengumumkan penutupan fitur TikTok Shop. Melalui situs resminya, TikTok mengatakan bahwa per 4 Oktober 2023 pukul 17.00 WIB, fitur TikTok Shop tidak akan lagi memfasilitasi transaksi e-commerce.
Ini artinya semua aktivitas jual beli di TikTok Shop otomatis akan terhenti di waktu yang telah ditentukan, mengakibatkan seluruh pengguna tidak akan bisa membeli ataupun menjual barang seperti biasa.
Langkah ini sebenarnya bukan kabar yang mengejutkan, sebab sejak polemik pelarangan TikTok Shop bergulir yang kemudian berbuntut pada penetapan Permendag No. 31 Tahun 2023, memang banyak pihak berkeyakinan TikTok Shop akan terkena dampaknya dalam waktu dekat.
Permendag No. 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) merupakan revisi dari Permendag No. 50 Tahun 2020.
Di dalam pasal-pasal yang disepakati, salah satunya menekankan penggunaan media sosial yang hanya diperbolehkan untuk memfasilitasi promosi barang atau jasa, bukan sebagai tempat untuk melakukan transaksi jual-beli online.
Selain itu, diatur pula mengenai peranan social commerce yang dilarang bertindak produsen.
Anda dapat menyimak oboran Dailysocial bersama Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (iDEA) Bima Laga untuk mendapatkan penjelasan yang mendalam mengenai revisi tersebut.
Menanggapi kabar tersebut, Iyandi Tiluk Wahyono selaku penjual aktif di TikTok ketika dihubungi oleh DailySocial.id (4/11/2023) mengaku mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tetapi menurutnya, pemerintah terlalu cepat memberlakukan kebijakan tersebut. Sebab tentu tidak mudah bagi TikTok untuk membuat platform baru yang mendukung transaksi, apalagi konsumen sudah terbiasa menggunakan aplikasi yang sama.
"Saya sangat mendukung langkah pemerintah yang membuat kebijakan, terutama pembatasan batas harga import, pelarangan social commerce menjadi produsen dan juga aturan terkait distributor. Tetapi, saya rasa pemerintah ini terkesan menutup paksa karena waktu yang diberikan kepada TikTok singkat sekali."
"Padahal ini efeknya ini besar sekali, terutama untuk penjual dan kreator. Dari sekadar berita saja, bisa menurunkan omzet. Mudah-mudahan ini hanya sementara. Harapan kami sebagai pelaku, pemerintah hendaknya bisa menemukan jalan tengah yang win-win solution untuk semua pihak. Sebab di Tiktok Shop ini gak hanya soal kepentingan penjual saja tapi juga influencer."
Sementara itu Chief Marketing Officer Geoff Max, Yusuf Ramdhani kepada Dailysocial mengaku sangat terkejut dengan kabar penutupan TikTok Shop yang terjadi secara tiba-tiba.
"Apalagi saat ini penjualan kami di Tiktok terus mengalami peningkatan di setiap bulannya. namun kami tidak ingin terlalu larut dengan berita ini, kami langsung mencari exit plan agar target revenue bisa tetap tercapai." Tuturnya.
Dampak besar dirasakan betul oleh Geoff Max pasca penutupan TikTok Shop, jumlah penjualan per harinya langsung turun drastis yang berimbas pula pada Net revenue perusahaan. Bagi Geoff Max menurut penuturan Yusuf, TikTok Shop menyumbang 8% dari total penjualan seluruh platform online.
Langkah antisipasipun diambil dengan cepat oleh Geoff Max untuk mengejar target penjualan yang sudah ditentukan.
"Strategi awal yaitu mengalihkan target revenue dan menambah spend promosi ke platform/marketplace lain. Juga dibantu dengan aktivasi secara organik untuk mendorong penjualan."
"Harapannya Social commerce tetap bisa beroperasi kembali, namun dengan aturan dan kebijakan yang lebih baik." Tutup Yusuf.
Ada satu peran yang kehadirannya cukup vital di dalam perkembangan TikTok Shop sebagai platform, yaitu program affiliate. Program ini memungkinkan siapapun yang memenuhi syarat untuk menjadi bagian dari promosi toko dan memperoleh bagian keuntungan untuk setiap penjualan yang mereka hasilkan.
Peranan ini tampaknya tidak terdeteksi oleh pemerintah, padahal menurut Ken Yorindra salah satu rekanan affiliate di TikTok, affiliate-lah yang akan merasakan betul dampak dari penutupan TikTok.
"Menurut saya, dampak paling besar akan dirasakan oleh affiliate, bukan penjual. Sebab penjual bisa pindah ke platform lain. Malah sebagian besar penjual sudah punya toko di tempat lain, mereka tinggal mengoptimalkan saja. Sedangkan kreator yang menjadi affiliate, tidak bisa pindah begitu saja. TikTok berbeda dengan media sosial yang lain. Di TikTok algoritmanya memungkinkan kita yang tidak punya follower besar untuk bersaing dengan akun besar lain. Asal kontennya bagus bisa FYP. Sedangkan media sosial termasuk di Shopee ditentukan oleh jumlah pengikut. Apalagi di marketplace lain, kalau tidak pasang iklan susah naiknya. TikTok juga lebih mudah digunakan, ibu-ibu yang tidak punya pengalaman bisa langsung berjualan atau memasarkan produk toko." Jelasnya.
"Plan ke depan, sepertinya Saya akan pindah ke Shopee Affiliate, mau tidak mau." Pungkas Ken ketika ditanya apa rencana ke depan menyusul pengumuman penutupan TikTok Shop.
TikTok Siapkan Aplikasi Baru?
Salah satu skenario yang banyak disebutkan selama polemik berkembang yakni soal pemisahan TikTok Shop dari fitur media sosialnya. Artinya, nanti akan ada dua aplikasi terpisah, TikTok dan TikTok Shop. Penutupan TikTok Shop ini sendiri diyakini merupakan langkah awal menuju ke tahapan itu.
Di pengumuman yang sama, TikTok juga mengatakan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah Indonesia terkait langkah dan rencana kami ke depan.
Walaupun belum ada penjelasan resmi terkait aplikasi baru, namun sejumlah pihak percaya TikTok sedang menyiapkan aplikasi baru yang fokus ke eCommerce.
Salah satunya datang dari Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura kepada Bisnis, Selasa (3/10/2023) “Ada kemungkinan mereka buat marketplace terpisah.”
TikTok Dituding Menyebabkan Pasar Retail Sepi
Diketoknya Permendag No 31 Tahun 2023 tidak lepas dari tudingan yang mengatakan bahwa TikTok Shop menjadi salah satu penyebab sepinya pasar-pasar retail, Tanah Abang kemudian muncul di sejumlah headline sebagai yang paling terdampak.
Menanggapi isu tersebut, Ketua Bidang Business & Development idEA Mohammad Rosihan menilai sepinya penjualan di pasar offline bukan semata lantaran peralihan perilaku konsumen ke digital, melainkan menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah yang menyangkut turunnya daya beli.
Isu kedua yang muncul ke permukaan mengenai transfer dan pengumpulan data yang kemudian diyakini menyebabkan tingginya transaksi di platform social commerce. Kondisi ini kemudian memicu bermunculannya produk impor dengan harga yang sangat murah.
Menjawab kekhawatiran itu, peneliti industri digital Ignatius Untung menyampaikan pro-kontra sebenarnya tidak perlu. Menurutnya, transfer data ini dilakukan oleh semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen. “Pemilik Google, e-commerce, media sosial berbeda, tapi melakukan yang sama,” kata Untung.