Wikasa Tak Mau Tunggu Pasar "Online Learning" Matang
Wikasa yang berada di bawah naungan PT. Qometlabs adalah situs yang menyediakan pembelajaran online (online learning). Mengunjungi situs ini, pengguna akan menemukan sekumpulan kursus yang yang dipilihkan atau dikurasi berasal dari perkuliahan universitas ternama seperti Tufts, Oxford, Yale, Massachusetts Institute of Technology (MIT), UC Berkeley, atau kursus gratis yang disediakan situs bisnis Docstoc serta GCFLearnFree.
Beberapa waktu lalu DailySocial berhasil menghubungi dua pendiri Wikasa, Rama Manusama (CEO) dan Octa Ramayana (Content Director), serta berbincang-bincang lebih jauh tentang produk mereka. Kedua founder ini menjelaskan bahwa Wikasa baru meluncur 24 Februari 2014 dan ternyata menurut pengakuan mereka layanan ini adalah hasil pivot. Semua berawal dari ide Rama yang ingin membuat sebuah platform edukasi. Octa dan Rama saling kenal saat bersama-sama melanjutkan kuliah di Belanda.
Mereka bertemu di acara kuliah umum BJ Habibie di Aachen, Jerman. Saat itu Rama sedang menjalankan startup Criticube, namun stagnan karena kesulitan mencari programmer penuh waktu. Saat di Belanda, Octa dan Rama sering diskusi mengenai pendidikan. Buah hasil diskusi ini adalah platform pendidikan yang mereka dirikan sekembalinya ke tanah air. Octa sendiri selain aktif di Wikasa juga menjadi dosen di Politeknik Negeri Media Kreatif.
Awal mulanya Wikasa bernama AyoJuara dan masih berupa akun Twitter yang berisi konten seputar soft skills, marketing, dan entrepreneurship. Layanan ini kemudian dikembangkan menjadi platform video-video presentasi yang sifatnya "how to". Ide ini sempat dipresentasikan dalam acara Indonesian Diaspora besutan Dino Patti Djalal. Setelah melalukan riset, mereka merasa kesulitan untuk untuk mengisi konten.
Terkait video “how to” LMS (learning management system), Rama sudah mengadakan banyak pembicaraan dengan beberapa universitas, namun masalah terletak pada akses dan kualitas koneksi Internet di indonesia. Wikasa sempat berubah menjadi online learning platform, hingga akhirnya diputuskan menjadi curated online learning system. Wikasa saat ini telah mendapat pendanaan awal (seed funding) dari Systec.
“Memang benar kalau (untuk) market education sendiri Indonesia belum siap dan masih ada gap di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Tetapi kami melihat masalah ini dari perspektif global,” tutur Rama.
Karena tujuannya memang melihat dari perspektif global, rencananya konten bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk pengguna di Thailand, Vietnam, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Rama menjelaskan lebih lanjut bahwa konten yang akan tampil adalah kursus yang ada practical value-nya, atau setidaknya immediate practical value. “lebih Udemy daripada Edx,” urai Rama.
Hanya saja layanan ini belum bisa menampilkan langsung konten original. Lalu apa added value-nya? Octa menjelaskan added value-nya lebih pada progress tracking dan kontributor bisa mengkurasi sendiri learning experience yang ingin di-share. Wikasa adalah platform alternatif yang bisa dipilih.
“Kalau mereka mau pakai dari (sumber) Stanford langsung ya monggo. Dari beberapa course yang ada, kalau lihat langsung di site-nya, dari segi UX kurang ok, atau kurang engaging,” ujar Octa.
Wikasa saat ini membuka kepada siapa saja untuk menjadi kontributor, namun Octa menjelaskan kontributor tetap akan dipilih karena ingin menjaga kualitas.
Sejak mengudara, Wikasa tidak akan terlalu fokus dalam traction jumlah pengguna setidaknya beberapa minggu ke depan. Mereka lebih fokus memiliki beberapa ratus pengguna yang puas, yang akan menjadi fondasi pembangunan sustainable traction.
Rama dan Octa sama-sama menjelaskan tantangan ke depan terletak pada peluncuran konten yang menarik orang untuk mendaftar.
”Untuk genjot visit sebenarnya enggak susah-susah amat, tapi challenge-nya di conversion rate ke regular active users, berarti kita benar-benar harus fokus sama membuat produk dan konten yang valuable buat existing users juga,” jelas Rama.
[Ilustrasi foto: Shutterstock]