BOOM Esports Bertahan di DOTA 2 Demi Bawa Indonesia ke Dunia

Mobile esports tengah berkembang di Indonesia, tapi BOOM Esports berkeras untuk main di PC

Esports kini tengah naik daun. Mengingat Indonesia adalah negara mobile first, tak heran jika mobile esports lebih populer daripada esports untuk PC atau konsol. Beberapa tim Indonesia pun terbukti sukses meraih prestasi di tingkat dunia, seperti Bigetron RA yang baru saja memenangkan PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019 di Malaysia. Meskipun begitu, BOOM Esports -- yang dulu dikenal dengan nama BOOM ID -- justru fokus pada tim DOTA 2 mereka.

Pada Selasa, 3 Desember 2019, CEO dan pendiri BOOM Esports, Gary Ongko berkunjung ke kantor Hybrid. Ketika ditanya tentang mengapa BOOM memilih untuk fokus pada esports PC, dia menjawab, "Sejujurnya, saya cukup nasionalis. Waktu buat BOOM, tujuannya adalah untuk menjadi tim nomor satu di dunia. Sayangnya, kalau tidak main di PC, dunia tidak akan peduli. Saya mau mengibarkan bendera kita di luar negeri." Dia mengatakan, Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar ke-4. Dia yakin, dia bisa menemukan lima orang pemain esports yang dapat untuk bersaing di tingkat dunia. "Dari segi fisik, kita mungkin kalah. Tapi, kalau beradu otak, masa iya nggak ada yang bisa lawan juga?"

Tidak ada yang salah dengan rasa nasionalisme. Namun, sekarang, esports telah menjadi bisnis. Secara global, diperkirakan nilai industri esports mencapai US$1,1 miliar. Banyak perusahaan non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor. Selain itu, juga bermunculan perusahaan yang tertarik untuk menanamkan investasi di esports. Perusahaan venture capital pun juga ikut masuk ke esports. BOOM sendiri telah menjadi perusahaan dengan puluhan karyawan. Soal pendapatan, Gary menyebutkan, saat ini, sebagian besar pendapatan BOOM -- dan juga tim esports besar lain di Indonesia -- berasal dari sponsorship. Selain itu, mereka juga mendapatkan pemasukan dari hak siar dan penjualan merchandise.

Sumber: Dokumentasi Hybrid

"Kalau di luar negeri, bisa 30 persen media rights, sponsor 60 persen, dan sisanya lain-lain. Kalau di Indonesia, sekitar 80-90 persen dari sponsorship," kata Gary. "Di Indonesia, prize pool juga tidak terlalu besar. Makanya kita masih main di PC." Di Indonesia, turnamen dengan prize pool terbesar adalah Mobile Legends Professional League Season 4 dengan hadiah mencapai US$150 ribu. Sebagai perbandingan, turnamen dengan total hadiah terbesar di dunia adalah The International 2019 yang menawarkan lebih dari U$30 juta sebagai hadiah.

Jumlah penonton esports yang terus bertambah membuat banyak perusahaan tertarik untuk menjadi sponsor di dunia esports. Selain organisasi esports, sebuah perusahaan juga bisa menjadi sponsor dari turnamen atau liga esports. Sebagai pemilik organisasi esports, Gary tentu saja merasa menjadi sponsor dari tim esports lebih menguntungkan. "Karena kalau event kan cuma satu kali. Tahun depan belum tentu ada lagi. Dan viewership-nya juga belum tentu sama," ungkapnya. Sementara dengan menjadi sponsor tim esports, sponsor akan bisa memasang logo atau nama perusahaan di jersey pemain. Tak hanya itu, mereka juga bisa mengadakan kolaborasi untuk membuat konten. Ini juga sudah dilakukan oleh G2 Esports dan Mastercard.

Sumber: Dokumentasi Hybrid

Gary bercerita, saat ini, BOOM memiliki sekitar 70-80 karyawan. Sebagian besar -- sekitar 60 orang -- adalah pemain profesional. Meskipun begitu, dia mengatakan bahwa organisasi esports tak cukup jika hanya mengejar kemenangan. Dia bercerita, pada dua tahun pertama BOOM didirikan, mereka tak fokus pada media sosial. Dia berpikir, jika BOOM terbukti berprestasi, maka para fans akan datang dengan sendirinya. "Tapi, kenyataannya tidak begitu," katanya. Dia mengaku, membangun presence di media sosial juga penting. Karena, menurutnya, pada akhirnya para penonton juga ingin tahu tentang cerita di balik kesukesan sebuah tim esports.

Selain tim media sosial, Gary mengatakan, psikolog juga memiliki peran dalam kesuksesan tim. Setelah menyediakan psikolog untuk tim, tim Free Fire dan PUBG Mobile BOOM terbukti menjadi lebih sukses. Dia menyebutkan, banyak pemain esports asal Asia yang berbakat. Hanya saja, mereka punya kecenderungan untuk merasa rendah diri jika bertemu dengan pemain dari Amerika Utara atau Eropa. Psikolog akan membantu para pemain untuk tetap percaya diri pada kemampuan mereka sendiri, tak peduli siapa yang mereka hadapi.