18 March 2015

by Yoga Wisesa

Carbon3D Gunakan Sinar UV Untuk Mencetak 3D Dari Cairan

Belakangan, istilah 3D printing memang langsung mengingatkan pada perangkat cetak berbasis thermoplastics. Padahal pendekatan tersebut sudah dikembangkan ke beragam iterasi, dari mulai pena untuk menggambar di udara hingga 3D printer kue dadar. Tapi saya yakin metode print yang diusung oleh Carbon3D mampu membuat Anda terkagum-kagum.

Berkat para talenta ahli dalam sebuah startup baru, teknologi 3D printing akan menghadapi terobosan besar selanjutnya. Mengenalkan teknik radikal bernama Continuous Liquid Interface Production atau CLIP, Carbon3D tidak memproses printing lapisan demi lapisan. Memanfaatkan cahaya ultraviolet dan level oksigen, ia bisa 'menumbuhkan' hasil cetakan dari resin cair. Output-nya pun lebih halus dari bahan ABS dan PLA standard.

Walau berpotensi besar dalam berbagai fungsi pemakaian dan bidang industri, terdapat beberapa hal yang menghalagi penggunaan 3D printing di lini manufaktur. Prosedur memakan waktu sangat lama, pilihan bahan sangat terbatas, dan biasanya cetakan tak terlalu kuat. Developer menjelaskan, pada dasarnya sistem 3D printer saat ini hanyalah mem-print bangun dua dimensi berkali-kali.

Info menarik: Ilmuwan Berhasil Buat Perangkat ‘Teleportasi’ Berbasis 3D Printer

Cara kerja Carbon3D sangat canggih. Cairan resin diletakkan di wadah yang telah disediakan. Lalu sinar ultraviolet akan memicu proses photo polymerization atau pengerasan material. Keseimbangan antara oksigen dan interaksi cahaya sangat penting sebab zat asam bertugas untuk menentukan bentuknya. Perlahan-lahan, objek diangkat ke atas. CLIP adalah metode kimia yang menjadi alternatif dari langkah-langkah mekanik di 3D printer biasa.

Selain hasil yang lebih detail dan mulus, Carbon3D juga unggul dalam kecepatan mencetak. Ketika 3D printer konvensional menghabiskan waktu berjam-jam hingga berhari-hari, teknik CLIP memastikannya berjalan sangat gesit - diklaim 25 sampai 100 kali lebih cepat. Di uji coba komparasi printing objek kompleks berdiameter 51 milimeter, Carbon3D cuma memerlukan 6,5 menit, sangat kencang dibanding Polyjet (3 jam), SLS (3,5 jam), dan SLA (11,5 jam).

Carbon3D dijanjikan siap untuk memenuhi kebutuhan komersil karena hasilnya konsisten. Objek bukan cuma halus di luar, tapi juga solid di dalam. Perangkat dapat menggunakan bermacam-macam bahan dari keluarga polymer. Salah satu contohnya ialah elastomer, material elastis yang tangguh dan tahan suhu ekstrim - banyak dipakai sebagai komponen otomotif.

Namun photopolymer sendiri bukanlah teknologi baru, CreoPop sudah lebih dahulu mengusungnya. Penyajian Carbon3D-lah yang membuatnya unik. 3D printer ini belum tersedia di pasar, dan pengembangannya didukung sebuah firma rakasa dengan modal sebesar US$ 40 juta.

Sumber: Carbon3D.com.