Daigo Umehara dan Kreator Street Fighter II Ungkap Rahasia Sukses Game ini

Tahukah Anda bahwa pada awalnya tangan Dhalsim tidak panjang dan kulit Blanka tidak hijau?

Perkembangan dunia fighting game tak bisa lepas dari game legendaris yang berjudul Street Fighter II. Pertama kali dirilis untuk mesin-mesin arcade di tahun 1991, Street Fighter II hingga kini masih dipuja sebagai pelopor berbagai mekanisme fighting game yang terus bertahan. Meski fighting game sekarang sudah semakin modern dan banyak sekali macamnya, gameplay Street Fighter II tetap terasa solid dan menyenangkan untuk dimainkan, bukti kehebatan para kreator yang ada di Capcom pada masa itu.

Daigo Umehara di tahun 2016 pernah mewawancarai salah seorang developer Street Fighter II yang bernama Akira Nishitani. Ia adalah game designer yang merancang sistem permainan berbagai judul ternama Capcom, termasuk Final Fight, Street Fighter II, dan X-Men: Children of the Atom. Setelah meninggalkan Capcom di tahun 1995, Nishitani kemudian mendirikan perusahaan sendiri, yaitu Arika yang kini dikenal sebagai developer di balik seri Street Fighter EX dan kini Fighting EX Layer.

Wawancara tersebut belum lama ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh channel YouTube FGC Translated. Di dalamnya, Daigo dan Nishitani bersama-sama membedah aspek-aspek yang membuat Street Fighter II begitu sukses di pasaran. Apa saja isi obrolannya? Simak di bawah.

Mengapa Street Fighter II memiliki 12 karakter

Ketika Street Fighter pertama dirilis pada tahun 1987, game tersebut hanya memiliki dua karakter yaitu Ryu dan Ken. Itu pun keduanya sebetulnya hanya pallette swap, jurus yang mereka miliki sama persis. Akan tetapi, mengikuti perkembangan hardware di kabinet arcade, Capcom ingin memberikan permainan yang lebih canggih.

Sebetulnya Nishitani ingin memasukkan karakter sebanyak-banyaknya di Street Fighter II, tapi tentu saja ada keterbatasan waktu dan biaya. Oleh karena itu ia mencoba untuk merancang karakter-karakter berdasarkan konsep “peran” tertentu. Contohnya, Zangief menempati konsep “karakter berbadan besar dan kuat”. Proses desain ini pada akhirnya menghasilkan 8 karakter playable dengan latar belakang berbagai negara:

  • Ryu (Jepang)
  • Ken (Amerika)
  • Honda (Jepang)
  • Guile (Amerika)
  • Chun-Li (Tiongkok)
  • Blanka (Brasil)
  • Zangief (Uni Soviet)
  • Dhalsim (India)

Akan tetapi selain 8 karakter itu, Street Fighter II juga menyediakan 4 karakter “boss” yang hanya dikendalikan oleh komputer. Mereka adalah Balrog, Vega, Sagat, dan M. Bison. Mengapa sebuah fighting game perlu ada karakter boss? Salah satunya adalah karena menurut Nishitani akan lebih seru bila ada karakter-karakter yang bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan pemain.

Alasan lainnya adalah karena di era itu fighting game masih belum begitu populer. Tidak banyak orang yang bermain melawan pemain lainnya. Jadi Nishitani ingin Street Fighter II bisa dinikmati secara single-player, layaknya sebuah game action biasa. Keempat karakter boss ini kemudian dibuat playable di Street Fighter II: Champion Edition yang terbit tahun 1992. Tentunya dengan penyesuaian agar mereka tidak terlalu overpowered.

Pengaruh harga komponen terhadap kreativitas

Sebelum mengerjakan Street Fighter II, Nishitani bekerja untuk tim yang menciptakan Final Fight. Saat itu sebetulnya ada sedikit masalah di dunia arcade. Kabinet arcade Capcom menggunakan motherboard yang disebut CPS-1, namun harga CPS1 di seluruh dunia sedang mengalami kenaikan. ROM sangat mahal karena permintaan pasar terlalu tinggi sementara suplai menipis. Karena itu Final Fight dirancang untuk menggunakan volume data yang tidak terlalu besar.

Saat waktunya menggarap Street Fighter II, harga ROM untuk CPS-1 telah menurun, sehingga tim Nishitani bisa bebas menciptakan game dengan data besar. Tim developer Street Fighter II bisa merancang karakter dengan sprite besar di layar, namun tetap memiliki jumlah animasi yang sangat banyak. Ini beda dengan Final Fight yang hanya memiliki sedikit variasi animasi.

Nishitani berperan sebagai desainer konsep setiap karakter, sementara wujud akhirnya dikerjakan oleh desainer lain yaitu Akira Yasuda (alias “Akiman”). Lucunya, beberapa desain karakter pada akhirnya berubah jauh dari konsep yang dibuat Nishitani karena tim developer terlalu bersemangat sehingga mereka menambahkan hal-hal baru sendiri supaya lebih keren dan kuat. Tak hanya tampilan visual, mereka juga menciptakan jurus-jurus sendiri!

Nishitani tidak bisa menolak perubahan-perubahan itu karena semua orang di tim developer sudah sangat menyukainya. Salah satu contoh yang hingga sekarang sangat ikonik adalah gerakan “Upside Down Kick” milik Guile. Sebetulnya sprite gerakan itu dibuat untuk gerakan menjegal kaki (sweep), tapi kru yang menangani Guile memutar balik sprite itu dan menjadikannya serangan baru.

Gerakan Upside Down Kick mungkin sebetulnya mustahil dilakukan di dunia nyata, tapi dibiarkan saja karena keren. Begitu pula dengan Dhalsim. Pada awalnya ia tidak bisa memanjangkan kaki dan tangan begitu jauh seperti sekarang, tapi kru yang menangani menciptakan sprite dan gerakan tersebut tanpa disuruh.

Upside Down Kick di Street Fighter V | Sumber: Street Fighter Wiki

Hal-hal seperti ini terjadi di hampir semua karakter. Blanka pada awalnya tidak memiliki kulit hijau. E. Honda pada awalnya berpenampilan seperti pesumo biasa. Guile tidak memiliki “rambut sapu” seperti sekarang. Tapi kru Street Fighter II semuanya begitu senang menambahkan hal-hal aneh yang menurut mereka keren. Karena itulah Street Fighter II punya desain begitu unik dan ikonik.

Aspek-aspek gameplay eksperimental

Saat ini Street Fighter sudah memiliki pakem gameplay yang khas, tapi di era Street Fighter II mereka belum punya “blueprint” yang pasti. Karena itu Capcom sempat melakukan banyak hal eksperimental di Street Fighter II. Mulai dari percobaan sistem air combo, membagi serangan ke dalam tiga jenis (high, mid, low), hingga adanya “titik lemah” di tiap karakter.

Banyak ide seperti ini yang kemudian batal diimplementasikan, karena mereka khawatir Street Fighter II akan jadi terlalu rumit dan sulit dimainkan. Saat itu, kemunculan fighting game dengan kualitas visual sebaik Street Fighter II saja sudah menghebohkan. Nishitani ingin game ini tidak terlalu rumit, dan ide-ide tadi disimpan untuk sekuel di masa depan.

Salah satu unsur gameplay yang cukup revolusioner adalah adanya batasan arena pertarungan di ujung kanan dan kiri layar. Alih-alih membuat arena dengan latar belakang “infinite scrolling”, Street Fighter II memiliki pembatas karena dua alasan. Pertama karena keterbatasan aset visual, dan yang kedua adalah karena mereka ingin menerapkan konsep “corner” ke dalam fighting game.

Mirip pertarungan di atas ring tinju, memojokkan lawan ke sudut akan membuat kita memiliki keunggulan. Street Fighter II dirancang supaya memojokkan lawan adalah strategi yang kuat. Pada akhirnya ada hal-hal teknis yang agak rumit diterapkan karena adanya sistem corner, seperti gerakan karakter ketika terpukul atau efek slow motion dari serangan tertentu. Tapi pada akhirnya konsep ini dipertahankan dan membuat Street Fighter II lebih seru.

-

Wawancara Daigo dengan Nishitani di video asli channel Daigo the BeasTV memiliki durasi satu jam lebih, dan sejauh ini FGC Translated baru menerjemahkan sebagian saja. Tapi dari sini kita sudah bisa melihat betapa kreatifnya kru di balik Street Fighter dan bagaimana proses berpikir mereka dapat menghasilkan sebuah produk yang mengubah sejarah fighting game.

Bila Anda penggemar genre ini, saya sangat merekomendasikan Anda untuk mengikuti channelFGC Translated karena mereka banyak menyampaikan wawasan dan pendapat dari tokoh-tokoh besar dunia fighting game Jepang. Di tengah komunitas fighting game yang masih terus tumbuh, FGC Translated bisa menjadi pusat pengetahuan yang akan memicu berbagai diskusi. Check it out!

Sumber: FGC Translated