Fokus ke Belajar, tak Banyak Siswa yang Mau Jadi Atlet Esports di Singapura

Singapura memiliki sistem edukasi yang sangat ketat, para murid dituntut untuk sukses di bidang akademis

Ada stereotype bahwa orangtua Asia selalu menuntut agar anak-anaknya sukses di bidang akademis. Meskipun tidak selamanya benar, sebagian orangtua di negara-negara Asia memang berharap anaknya bisa mendapatkan nilai tinggi di sekolah. Di Indonesia atau negara tetangga seperti Singapura, tidak sedikit orangtua yang memasukkan anaknya ke bimbingan belajar atau kursus. Memang, Singapura memiliki sistem edukasi yang sangat ketat. Para murid biasanya dituntut untuk mendapatkan nilai tinggi dan melanjutkan pendidikan ke universitas. Setelah lulus, mereka dapat bekerja di bidang konvensional yang menawarkan gaji yang memadai. Itulah mengapa tidak banyak warga Singapura yang tertarik untuk masuk ke industri esports. Saat ini, hanya ada 15 atlet esports di Singapura.

"Singapura sangat fokus pada bidang akademis," kata Presiden Asosiasi Esports Singapura, Ng Chong Geng, seperti dikutip dari The Jakarta Post. Dia bercerita, ketika dia berbicara di hadapan para mahasiswa, tidak ada satupun anak yang tertarik untuk menjadi pemain profesional. "Sekarang, semua orang bisa lulus kuliah dengan gelar... Jika Anda mencoba untuk menjadi atlet esports, ada banyak kesempatan yang harus Anda lewatkan." Masalah lain yang dihadapi oleh warga Singapura yang tertarik untuk menjadi pemain profesional adalah wajib militer. Semua warga laki-laki di Singapura memiliki kewajiban untuk ikut wajib militer selama dua tahun setelah mereka berumur 18 tahun. Min-Liang Tan, CEO Razer, juga bercerita bahwa dia pernah menjadi pengacara karena dorongan orangtua sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berhenti dan mendirikan Razer.

Namun, itu bukan berarti tidak ada satupun atlet esports di Singapura. Ialah Galvin Kang Jian Wen, yang kini menjadi anggota tim nasional Singapura yang akan bertanding di cabang olahraga esports di SEA Games. Sebagai pemain Dota 2, Kang dikenal dengan nama "Meracle". Dia mengatakan, alasan dia berani memutuskan untuk berhenti sekolah demi mengejar karir sebagai pemain profesional adalah karena dia percaya diri dengan kemampuannya. "Saya berhenti sekolah dan mengejar mimpi saya," kata pria berumur 23 tahun ini pada AFP ketika ditemui di bootcamp menjelang SEA Games yang diadakan oleh Razer. "Tentu saja, orangtua saya tidak senang dengan keputusan saya. Tidak ada orangtua yang ingin anaknya berhenti sekolah."

Tim esports nasional Singapura saat bootcamp| Sumber: Razer

Kang bukan satu-satunya anggota timnas yang akan bertanding di SEA Games yang memutuskan untuk berhenti sekolah. Nuengnara Teeramahanon, pemain Dota 2 dari Thailand, juga melakukan hal yang sama. "Satu hal yang memiliki dampak paling besar pada saya adalah keputusan saya untuk berhenti sekolah agar saya bisa main seharian, sepenuhnya," ujarnya. "Saya tidak mau pergi ke sekolah lagi. Saya merasa, itu sangat membosankan." Meskipun begitu, para atlet esports harus memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah mereka pensiun, karena umur pensiun atlet esports sangat muda. Salah satu karir alternatif yang bisa mereka kejar adalah menjadi YouTuber.

Para atlet esports timnas yang memutuskan untuk meninggalkan sekolah mengatakan, orangtua mereka kini telah mendukung keputusan mereka. Namun, mereka tidak mendorong para gamer lain untuk mengikuti langkah mereka. Alasan orangtua Kang akhirnya menerima pekerjaannya sebagai pemain profesional adalah karena dia berhasil membuktikan bahwa dia bisa mencari uang di esports. Dia pernah bermain di tim asal Amerika Serikat. Ketika itu, semua biaya hidupnya ditanggung oleh tim dan dia juga mendapatkan gaji dan hadiah turnamen. Saat ini, dia bermain di tim asal Thailand.

"Pada akhirnya, orangtua saya menjadi percaya," kata Kang. "Saya bisa membeli makanan saya sendiri, hidup mandiri."