9 May 2019

by Yoga Wisesa

Google Singkap Karakteristik Konsumen Smartphone di Indonesia

Menariknya, data Google tidak 100 persen disetujui oleh pihak retail dan kalangan reviewer.

Dengan 300 lebih kelompok etnis yang menghuni negeri kepulauan seluas 1,9 juta kilometer persegi ini, karakteristik konsumen di Indonesia sangat unik serta beragam. Beberapa vendor hardware sempat mengutarakan kebingungannya pada saya soal apa yang sebetulnya orang Indonesia inginkan, tapi di sisi lain, kita melihat betapa gencarnya produsen memasukkan produk-produk anyar mereka.

Kabar baiknya, Google mencoba mengurangi kebingungan ini di segmen smartphone tanah air. Setelah melangsungkan studi via survei dan melengkapinya dengan rangkuman data-data internal Google serta YouTube, sang raksasa internet mengundang media dalam acara Tech & Telco Talk untuk berdiskusi sembari mengungkap seperti apa kebiasaan dan pembawaan orang Indonesia dalam membeli perangkat bergerak. Dialog antar narasumber juga menyibak informasi-informasi unik yang mungkin tidak banyak orang sadari.

 

Pertumbuhan smartphone di Indonesia dan pandangan konsumen

Sebelum membahas tema utamanya lebih jauh, kita harus memahami dulu signifikansi pasar ponsel pintar Indonesia di mata dunia. Berpedoman pada data Canalys Indonesia Smartphone Market Report di kuartal keempat 2018, Google senior tech & telco industry analyst Yudistira Nugroho menyampaikan bagaimana pasar perangkat bergerak di nusantara menunjukkan peningkatan paling pesat di wilayah Asia Tenggara. Kenaikannya menyentuh angka 17 persen dari periode 2017 ke 2018.

Berkat tersedianya begitu banyak pilihan dari brand berbeda, masyarakat Indonesia jadi kian bertambah kritis dalam membeli perangkat baru. Ekspektasi mereka juga tambah tinggi. Di segmen menengah, ada sekitar 45 persen pengguna masih belum merasa puas dengan kapabilitas smartphone yang mereka miliki. Persentasenya bahkan lebih tinggi lagi di kelas premium, mencapai 56 persen. Hal ini ialah peringatan sekaligus kesempatan bagi produsen buat meningkatkan 'manuver' dan kualitas produk mereka.

Berbicara soal brand, banyak yang mengira bahwa orang Indonesia jarang sekali berpindah ke merek lain jika mereka sudah menyukai satu nama. Hasil riset memperlihatkan kondisi berbeda: satu dari dua konsumen memilih brand berbeda ketika membeli produk baru. Kesetiaan konsumen pada penyedia jaringan seluler juga tidak begitu besar. Dua dari lima orang biasanya beralih ke provider baru saat meminang smartphone anyar - boleh jadi karena tergoda promo atau program bundling menarik.

Meski beragamnya opsi bisa jadi hal positif, terlalu berlebihan juga dapat memberikan dampak negatif. 55 persen dari total konsumen smartphone mengaku mereka merasa kewalahan sewaktu memilih. Sebagian besar khayalak (81 persen) bahkan belum bisa memutuskan model spesifik yang ingin dimiliki saat membutuhkan perangkat baru. Mereka juga masih bingung mengenai brand apa yang sebaiknya dipilih.

 

Apa yang jadi tolak ukur konsumen lokal dalam membeli smartphone?

Lalu ketika kita juga beranggapan bahwa performa fotografi merupakan salah satu takaran utama masyarakat dalam memilih smartphone, data Google menunjukkan hanya 71 persen konsumen yang peduli pada kamera - menempatkan fotografi di urutan ke-12 skala prioritas user. Menurut Google, tiga faktor utama yang kini jadi perhatian calon pembeli adalah (1) kecepatan, (2) daya tahan baterai, dan (3) kapasitas penyimpanan serta memori.

Di sini perlu digarisbawahi, 'kecepatan' yang Google maksudkan di sana bukan sekadar kapabilitas smartphone dalam menjalankan app, tapi juga laju network. Itu artinya, komposisi hardware dan kecepatan jaringan memegang peranan besar. Google juga mengungkap efek negatif dari semakin miripnya penampilan satu smartphone dengan ponsel pintar lain. Hanya 47 persen pengguna yang kini menakar perangkat dari sisi desain. Penampilan berada di peringkat 25 aspek yang jadi preferensi.

Menariknya, ada pandangan berbeda yang diungkapkan oleh beberapa narasumber diskusi kemarin. Romi Hidayat dari Droidlime berpendapat bahwa desain akan jadi aspek penting dalam pembelian smartphone di tahun-tahun ke depan. Saya pribadi cenderung setuju, mengingat banyak bermunculannya ponsel-ponsel ber-notch minimalis serta model yang mengusung kamera pop-up (serta rotating camera seperti di Samsung Galaxy A80) dengan maksud memaksimalkan rasio layar ke tubuh.

Djatmiko Wardoyo selaku direktur pemasaran dan komunikasi Erajaya Group juga punya opini yang cukup bertentangan soal kamera. Bagi Djatmiko, fotografi tetap jadi pesona utama smartphone terlepas dari di segmen mana mereka ditujukan. Ada ponsel berkamera ciamik di kelas entry-level, dan ia juga sering mendengar bagaimana konsumen menjuluki Huawei P30 sebagai 'kamera high-end yang ditambah fungsi ponsel'.

 

Karakteristik pengguna Indonesia dalam memilih ponsel pintar

Lewat salah satu slide presentasinya, Yudistira Nugroho menunjukkan bagaimana konsumen Indonesia rata-rata butuh waktu 14 hari untuk membeli sebuah smartphone. Pertama-tama mereka akan melakukan pencarian, dan selanjutnya diikuti oleh menyimak review (tertulis maupun video), melihat spesifikasi, serta mencari promosi-promosi bundling. Di penghujung periode itu, mereka akan pergi ke gerai retail buat mencoba langsung sebelum akhirnya membeli.

Kabarnya, 71 persen dari konsumen Indonesia menemukan model-model baru dengan melakukan search di Google dan sebagian besar dari mereka terbantu berkat kolom rekomendasi. Ada tiga sumber informasi utama khalayak saat sedang mencari produk yang dinginkan, yaitu (1) situs-situs komparasi, (2) ulasan profesional, dan (3) review dari sesama pengguna. Fakta menarik di sini ialah, website pihak ketiga malah jadi favorit ketimbang situs milik produsen perangkat ataupun penyedia jaringan.

Eksistensi storefront fisik tetap krusial bagi masyarakat di Indonesia. Transformasi ke transaksi online (dengan penawaran-penawaran atraktif dari e-commerce serta bertambahnya dukungan fintech) memang tidak bisa dihindari, namun untuk sekarang, gerai-gerai offline tetap diperlukan karena di sanalah calon konsumen dapat bercengkerama langsung dengan produk. Bagi pemain retail seperti Erajaya, tempat-tempat ini berguna buat menawarkan pengalaman pembelian yang seamless serta wadah diterapkannya strategi omni-channel.

Misalnya bagi konsumen di daerah luar Jakarta. Seseorang mencoba membeli smartphone A melalui e-commerce, namun stoknya habis. Mereka bisa datang ke toko retail, mencoba produk, lalu meski perangkat tidak tersedia di hari itu juga, pemesanan dapat dilakukan di sana. Data Google menyingkap bahwa sebanyak 69 persen pengguna membeli smartphone di gerai offline. Dan uniknya lagi: sebelum memutuskan buat bertransaksi, mayoritas dari mereka menggunakan perangkat bergerak milik sendiri untuk mencari info dan membandingkan harga.

Sebuah perspektif menarik kembali diberikan oleh Djatmiko Wardoyo. Ia sedikit kurang setuju soal durasi 14 hari yang diajukan Google bagi konsumen untuk menentukan pilihan. Menurutnya, 14 terlalu lama karena ada produk baru meluncur hampir setiap saat. Kabar baik bagi distributor dan produsen, masyarakat Indonesia adalah jenis konsumen yang tergolong impulsif. Ini sebabnya beberapa brand berlomba-lomba buat memposisikan produk-produknya di area terdepan toko.