Game Esports Gratis: Sebuah Kausalitas

Hampir semua game yang sukses jadi esports adalah Free-to-Play. Kenapa?

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, dan Free Fire adalah beberapa contoh dari game yang sukses jadi esports. Selain sama-sama populer sebagai esports, game-game tadi juga punya kesamaan lain. Kesamaannya adalah sama-sama free-to-play alias gratis. Kesamaan tersebut tentunya memunculkan pertanyaan lain. Kenapa game yang besar sebagai esports menggunakan model free-to-play?

Esports bisa menjadi cara baru untuk mendatangkan pemasukan jangka panjang, yang tidak dapat ditawarkan dengan metode Pay-to-Win. Selain soal model bisnis jangka panjang yang nanti akan kita bahas lebih dalam, ada sejumlah alasan lain kenapa esports memang bisa bertumbuh lebih di game-game free-to-play.

 

Ragam Jenis Model Bisnis Video Game

Sebelum membahas lebih dalam soal hubungan antara esports dengan model free-to-play, akan saya bahas singkat lebih dulu ragam jenis model bisnis game yang umum di industri game saat ini. Free-to-play hanyalah salah satu dari beberapa model bisnis yang digunakan oleh para game developer. Selain free-to-play, model lain yang lazim diadaptasi sekarang ini adalah model game berbayar dan subscription (berlangganan).

Dalam model berbayar, pemain diharuskan membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan satu game. Pemain biasanya hanya dikenakan satu kali pembayaran saja untuk memainkan satu game sebebas-bebasnya. Generasi muda atau gamer mobile yang sudah terbiasa dengan model free-to-play mungkin merasa asing dengan model ini. Walau demikian, model ini sebenarnya adalah model paling umum dan juga paling lama. Developer game AAA (seperti Cyberpunk 2077 atau GTA V contohnya) sampai developer indie (seperti Stardew Valley).

Sumber: Rockstar Games

Model game berbayar memang biasanya tidak terlalu fokus pada esports. Tapi ada juga beberapa game berbayar yang punya skena esports. Contohanya adalah: ragam jenis game fighting (Street Fighter Series, Tekken Series, dan lain sebagainya) dan ragam jenis game olahraga (FIFA, PES, NBA 2K series, dan lain sebagainya). Counter Strike: Global Offensive sebenarnya juga sempat menggunakan model game berbayar pada saat awal rilis, namun akhirnya diubah menjadi free-to-play pada tahun 2018 lalu.

Soal kenapa game berbayar kurang sukses sebagai esports akan saya bahas di bagian akhir artikel ini. Untuk saat ini mari kita beralih ke model berikutnya yaitu sistem subscription.

Dalam model subscription, pemain harus membayar sejumlah uang setiap bulan supaya bisa memainkan game terkait. Model ini tergolong sangat tidak lazim di Indonesia (beberapa orang Indonesia bahkan kaget ketika tahu harus membayar untuk sebuah video game), namun model ini cukup umum dikenal oleh gamers-gamers negara barat. Model seperti ini biasanya digunakan pada game-game MMORPG. Dua game paling populer yang menggunakan sistem berlangganan adalah World of Warcraft atau Final Fantasy XIV Online.

Biaya yang dibutuhkan untuk berlangganan World of Warcraft. Sumber: Blizzard Official Site

World of Warcraft malah mengadopsi beberapa sistem sekaligus. Sebagai pemain, Anda harus membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan ekspansi terbaru (Shadowlands contohnya), lalu membayar lagi setiap bulannya agar bisa terus main. Harga expansion biasanya lebih mahal (sekitar Rp500 ribu ++ mirip seperti harga game AAA), sementara harga langganan per bulannya dipatok lebih murah (sekitar Rp150 ribu++ per bulan).

Model subscription mungkin terasa mirip dengan model Battle Pass (seperti Royale Pass pada PUBG Mobile atau Starlight Member pada Mobile Legends) pada game free-to-play. Tetapi ada satu perbedaan penting yang membedakan antar keduanya yaitu Anda tidak diperkenankan (atau dibatasi) memainkan game tersebut apabila Anda tidak membayar biaya langganan bulan itu. Dalam World of Warcraft misalnya, Anda hanya bisa memainkan karakter sampai level 20 saja apabila tidak membayar. Setelah membayar biaya langganan Anda akan bisa memainkan karakter sampai level 50 apabila tidak memiliki ekspansi. Setelah membeli ekspansi, Anda bisa memainkan karakter sampai level 60 dan diwajibkan membayar biaya langganan setelahnya apabila ingin lanjut bermain.

Pada perkembangannya, pembayaran biaya langganan tidak lagi terbatas dengan menggunakan uang tunai saja. Pada World of Warcraft misalnya, Anda bisa membayar biaya langganan dengan menggunakan "gold" yang Anda dapatkan dari mekanik di dalam game (dengan cara crafting, hunting, atau trading misalnya). Tapi gold yang dibutuhkan untuk bisa membayar subscription juga tidak sedikit. Karenanya pemain tetap dipaksa "membayar" waktu (untuk rutin memainkan game-nya) ketika ingin membayar biaya langganan dengan gold.

Model yang paling terakhir adalah free-to-play. Model seperti ini adalah model bisnis game yang paling lazim dikenal gamer Indonesia. Seperti namanya, tidak butuh sepeserpun biaya untuk memainkan game free-to-play. Lalu kalau game-nya gratis, dari mana developer dan publishernya mendapat pemasukan? Game free-to-play biasanya memiliki ragam jenis micro-transaction.

Skin senjata adalah salah satu contoh micro-transaction yang disedikan game free-to-play VALORANT. Sumber: VALORANT In-Game Store

Micro-transaction merupakan berbagai pernak-pernik kecil yang bisa dinikmati pemain game free-to-play yang bisa dibeli pakai uang tunai. Pada beberapa game, konten micro-transaction biasanya bersifat hanya pemanis saja dan tidak memberi keuntungan dari sisi gameplay. Contohnya seperti skin karakter pada game MOBA atau skin senjata pada game FPS. Tapi ada juga konten micro-transaction yang akan membuat Anda jadi lebih kuat atau membantu Anda mencapai tingkat yang lebih tinggi secara lebih cepat. Contohnya seperti akses double XP pada game RPG atau skin karakter dengan tambahan kekuatan yang tidak dimiliki karakter standar. Sistem yang menganakemaskan pemain berbayar di game-game gratisan, biasanya jadi disebut Pay-to-Win

Dalam prakteknya, sistem micro-transaction tidak hanya digunakan oleh game free-to-play saja. World of Warcraft atau Street Fighter V kini juga menjual micro-transaction yang berisi konten tambahan sebagai pemanis atau pelengkap permainan.

Selain metode micro-transaction, game free-to-play kini mulai menjajaki model bisnis baru sebagai salah satu sumber pemasukan mereka. Model bisnis baru tersebut adalah esports.

 

Kenapa Game Esports yang Sukses Gratis?

"Kalau Anda tidak membayar untuk suatu produk, maka produknya adalah Anda."

Ungkapan tersebut sebenarnya sudah disuarakan ketika televisi baru booming di kalangan masyarakat namun dengan kalimat yang berbeda. Seiring waktu, ungkapan tersebut santer lagi terdengar terutama ketika media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan kawan-kawan semakin merajalela dan lekat dengan keseharian kehidupan kita. Lalu, apa hubungannya antara esports dengan ungkapan tersebut?

Mungkin Anda sudah bisa menduganya. Dalam esports, publisher dan developer game tersebut berusaha mengubah pemain game menjadi penonton esports. Penonton esports tersebut digunakan menjadi "produk" yang dijual kepada investor ataupun sponsor. Pernyataan tersebut mungkin terdengar sinis. Tetapi, model tersebut terbilang lebih baik ketimbang model bisnis game free-to-play lainnya yang cenderung eksploitatif.

Apabila Anda sempat membaca tulisan Ellavie yang membahas beda industri game Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, Anda mungkin ingat bahwa model free-to-play sebenarnya bukan model yang baru di dalam industri game. Nexon, publisher dan developer game asal Korea Selatan, adalah yang pertama merilis game free-to-play bernama QuizQuiz yang rilis pada tahun 1999.

Namun seiring perjalanannya, cara monetisasi game free-to-play tidak selalu menyenangkan bagi pemainnya. Sebelum esports booming sampai menjadi bisnis seperti sekarang, game free-to-play sebenarnya punya berbagai macam cara untuk memonetisasi pemainnya.

Kalau Anda adalah gamer sejak dari zaman warnet, Anda mungkin ingat RF Online. Kalau Anda main RF Online, apakah Anda ingat dengan Premium Service? Benar, layanan yang bisa Anda aktifkan dengan cara membeli voucher (dengan mata uang asli) yang selanjutnya ditukar dengan Premium Service. Layanan Premium Service akan memberikan Anda sebuah kenyamanan berupa XP yang lebih besar dan jumlah loot monster yang lebih banyak.

RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.

Metode tersebut adalah salah satu bentuk monetisasi dari game free-to-play. RF Online bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Tapi kalau tidak keluar uang, yaa...XP Anda seret, dapat equip dewa juga susah karena loot-nya sedikit. Padahal, daya tarik utama RF Online adalah perang antar tiga bangsa yang sifatnya PVP atau pemain lawan pemain. Karenanya, Anda sebagai pemain tentunya akan butuh level tertinggi dan equip terbaik agar dapat bersaing dengan pemain lain.

Apakah pemain bisa punya karakter super kuat tanpa Premium Service? Bisa saja sih, tapi waktunya tentu akan jauh lebih lama ketimbang pemain yang selalu menyalakan Premium Service. Karenanya, saya menggunakan kata eksploitatif sebelum menjelaskan model ini. Walaupun game tersebut bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, tetapi sistemgame-nya menaruh prioritas lebih ke pemain berbayar dan mengesampingkan pemain gratisan.

Lalu apakah metode monetisasi tersebut adalah metode yang adil atau etis? Adil tidak adil, etis atau tidak etis, bukan saya yang menentukan. Pada akhirnya RF Online juga masih terus hidup sampai sekarang. Pemain yang masih setia tidak merasa ada masalah dan tetap membeli premium service. Dulu ketika saya masih SMP, saya juga main RF Online dan beli Premium Service kok.

Namun satu hal yang bisa kita sepakati, model tersebut membuat ladang pemasukan game terkait jadi terbatas. Apa kabarnya kalau tiba-tiba semua pemain tersadar, lalu sepakat untuk tidak lagi membeli Premium Service? Karena kalau semua orang tidak pakai Premium Service, maka permainan akan jadi lebih adil bukan? Atau mungkin yang lebih buruk, apa jadinya kalau tidak ada lagi orang yang mau main game tersebut karena merasa dieksploitasi dengan model Premium Service?

Selain RF Online, contoh lainnya mungkin adalah sistem energi atau sistem untuk mempercepat pembuatan pasukan pada Clash of Clans (CoC). Walaupun sistemnya agak sedikit beda, tapi model tersebut sebenarnya senada, mempercepat progresi (kekuatan karakter/pembuatan pasukan/peningkatan level) untuk pemain yang membayar.

Pada masanya, CoC sempat mengumpulkan pemasukan yang luar biasa dengan metode tersebut. Mengutip dari statista, Clash of Clans sempat mendapat pemasukan sebesar US$1,8 triliun pada tahun 2015. Tapi pemasukan tersebut terus menurun setiap tahunnya, sampai jadi hanya tinggal US$722 juta pada tahun 2019 lalu.

Data tersebut sedikit banyak menjadi gambaran -- kalau tidak bisa menjadi bukti -- bagaimana model monetisasi yang "memajaki" perkembangan pemain tidak bisa bertahan selamanya. Monetisasi tersebut sangat bergantung dengan keinginan pemain untuk membeli micro-transaction. Tentu saja, pengembang berusaha setengah mati untuk meningkatkan selera pemain agar terus membeli. Mungkin awalnya dengan cara yang halus dulu seperti penjelasan video dari Vox di bawah. Kalau cara halus tidak berhasil, developer biasanya sudah menyiapkan cara "frontal", yaitu membuat progresi pemain gratisan jadi lebih lambat ketimbang yang membayar.

Tetapi balik lagi seperti penjelasan awal saya. Metode eksploitatif seperti itu ada batasnya. CoC sebenarnya mirip dengan RF Online, sama-sama punya konten PVP sebagai daya tarik utamanya dan sama-sama memajaki progress permainan kepada pemainnya. Karenanya, ketika game ini sedang ramai, developer pun cenderung lebih mudah untuk memonetisasi game terkait.

 

Tapi bagaimana ketika hype game-nya sudah mulai menurun? Apa yang terjadi saat Anda sudah level 50, tapi teman Anda berhenti bermain? Anda mungkin masih tetap bermain, tapi yaaa... Santai aja deh, toh enggak ada persaingan juga. Atau malah yang terburuk, ikut berhenti bermain. Kami juga sempat mengurai persoalan "pay-to-win" pada game free-to-play jika Anda ingin tahu lebih lanjut kenapa monetisasi dengan cara tersebut punya masalahnya tersendiri.

Karena itu, kehadiran esports secara tidak langsung telah membuka kesempatan bisnis baru bagi game developer. Bahkan bukan cuma membuka kesempatan bisnis baru, esports bahkan bisa memperpanjang usia dari sebuah game. Mengapa demikian? Pertama, game esports sebenarnya sudah punya keuntungan tersendiri dari aksesnya yang mudah dan ekonomis.

Seperti yang saya sebut sejak awal, game free-to-play bisa dimainkan secara gratis. Karena gratis, semua orang bisa memainkan game tersebut asal punya perangkat untuk memainkannya. Selain gratis, game free-to-play juga biasanya tidak butuh spesifikasi yang terlalu tinggi ketimbang game-game premium.

VALORANT sebagai contohnya. Rilis tahun 2020 lalu, VALORANT bahkan masih bisa berjalan dengan menggunakan GPU Intel HD yang merupakan bawaan dari prosesor. Tetapi pada sisi lain, FIFA 21 yang juga rilis tahun 2020 butuh GPU eksternal (sehingga butuh biaya tambahan) berupa GeForce GTX 660 dan Radeon HD 7850.

Dua game tersebut sama-sama jadi esports, tapi siapa yang lebih populer? Anda mungkin bisa menebak sendiri. Akses yang mudah (free-to-play dan kebutuhan spesifikasi hardware rendah) membuat sebuah game berpotensi menarik lebih banyak pemain ketimbang game dengan akses yang lebih sulit (berbayar dan kebutuhan spesifikasi hardware tinggi). Karenanya jumlah penonton game VALORANT terbanyak di Twitch sempat menyentuh angka 478 ribu sementara FIFA 21 hanya 82 ribu saja mengutip dari twitchtracker.com.

Akses yang mudah dan murah mengundang lebih banyak pemain. Pemain tersebut pelan-pelan diubah menjadi penonton, entah melalui streamer atau konten-konten video tips dan trik. Lalu dengan menghadirkan turnamen dan liga, penonton tersebut pun bisa dikomersialisasi dalam bentuk sponsorship, lisensi media, atau investasi-investasi lainnya dari pihak eksternal.

Dalam hal ini, lagi-lagi saya menggunakan Riot Games dan game League of Legends sebagai contoh. Kalau Anda mengikuti pemberitaan Hybrid, Anda bisa lihat sendiri sudah berapa banyak deal yang didapat Riot Games pada tahun 2020 kemarin hanya gara-gara esports saja. Mulai dari brand fashion seperti Louis Vuitton, AAPE, brand teknologi Cisco, sampai brand musik seperti Universal Studios dan Spotify. Semuanya hinggap ke Riot Games dan League of Legends gara-gara ada 44 juta orang yang menonton LoL World Championship di tahun 2019 lalu. Karenanya, jadi tidak heran kalau Riot Games memutuskan untuk membuat esports jadi salah satu pilar bisnis mereka ketimbang sekadar alat pemasaran saja.

Pencapaian Riot Games sedikit banyak menjadi bukti bahwa esports bisa menjadi salah satu model bisnis bagi publisher game free-to-play yang lebih berjangka panjang.

Model seperti League of Legends baru satu contoh. Dota 2 juga bisa menjadi contoh lain suksesnya game free-to-play berkat esports, walau dengan model yang sedikit berbeda. Valve menjual Battle Pass (berisi berbagai pernak pernik skin dan lain sebagainya) yang 25% dari penjualannya ditambahkan ke hadiah turnamen Dota 2 terakbar di dunia, The International (TI). Valve telah mengumpulkan US$40 juta dari The International Battle Pass tahun lalu cuma dengan 25% dari penjualan Battle Pass. Dengan 75% sisanya masuk ke kantong Valve, Anda bisa bayangkan sendiri berapa uang yang sudah dikumpulkan oleh sang publisher dari penjualan tersebut.

Menyediakan game secara gratis memang memberi keuntungan-keuntungan tersendiri saat publisher berusaha menjadikannya sebagai esports. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana esports memang merupakan sebuah ladang baru dengan potensi komersialisasi tinggi. Esports bisa digunakan untuk membangun minat pemain untuk membeli konten atau mengundang pihak eksternal untuk berinvestasi ke dalamnya.

 

Kenapa Model Lain Kurang Sukses Menjadi Esports yang Besar?

Pada kesempatan sebelumnya saya sudah membahas soal faktor-faktor yang membuat game kompetitif bisa sukses sebagai esports. Apabila Anda juga membaca artikel tersebut, Anda akan menemukan bahwa kemudahan akses menjadi salah satu faktornya.

Seperti yang saya sebut pada pembahasan di atas , game free-to-play memang cenderung lebih mudah mengumpulkan banyak orang. Selain game-nya gratis, developer game free-to-play juga berusaha membuat game-nya seringan mungkin agar bisa menarik perhatian orang sebanyak mungkin.

Pada sisi lain, model bisnis game berbayar atau subscription system mungkin punya fokus yang berbeda. Dari segi akses, kita juga sudah melihat perbandingan antara VALORANT dengan FIFA 21 pada penjelasan saya di bagian sebelumnya. Mau semudah apapun atau sesederhana apapun sebuah game, jumlah penggunanya akan tetap terbatas kepada seberapa tinggi entrybarrier yang ditetapkan oleh sang developer ataupun publisher.

Semakin rendah harga dan kebutuhan spesifikasi perangkat yang dibutuhkan sebuah game, otomatis akan semakin besar dan luas potensi pasarnya. Semakin tinggi harga dan kebutuhan spesifikasi device yang dibutuhkan akan semakin sedikit dan sempit potensi pasarnya. Dalam konteks VALORANT vs FIFA 21, kita bisa lihat bahwa VALORANT gratis sementara FIFA 21 harganya Rp849.000. VALORANT bisa jalan tanpa GPU eksternal sementara FIFA 21 butuh GPU eksternal.

FIFA 21 juga memiliki turnamen esports, tetapi kesuksesannya tetap jadi terbatas karena harga gamenya yang kurang terjangkau dan kebutuhan spesifikasi PC yang lebih tinggi ketimbang game free-to-play.

Dalam hal beda haluan bisnis developer yang saya bicarakan tadi, salah satu contoh nyatanya bisa kita lihat dari posisi Nintendo terhadap esports Smash Bros. Komunitas Smash Bros sudah beberapa kali mengeluh ke Nintendo karena merasa sudah membesarkan game tersebut, namun tak jua mendapat sokongan dalam bentuk hadiah uang turnamen. Dalam satu kesempatan, Nintendo sempat mengatakan bahwa esports cuma salah satu dari berbagai macam event yang ingin dapat didukung oleh Nintendo. Pernyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan posisi Nintendo yang tidak punya keinginan untuk investasi lebih jauh di esports.

Kasus hubungan antara Nintendo dan komunitas esports Super Smash Bros menjadi contoh, bahwa walaupun esports sedang besar dan digembar-gemborkan, belum tentu juga semua developer ingin ke sana. Apalagi developer yang sedari awal sudah sukses dengan model game berbayar. Menurut opini saya, dalam konteks Nintendo, bisa saja mereka sudah nyaman dengan pendapatan yang didapat dari penjualan game Super Smash Bros. Lalu, kenapa harus pusing-pusing lagi memikirkan esports?

Shuntaro Furukawa, presiden Nintendo yang pernah menyatakan pendapatnya soal esports Super Smash Bros. Sumber: Time

Sementara pada sisi lain, developer yang menyajikan game secara gratis harus putar otak agar tetap bertahan hidup. Menjual skin jadi salah satu sumber pemasukan pasti, tapi apakah dengan menjual skin saja bisa mencukupi biaya operasi sebuah game? Riot Games mungkin bisa saja menggunakan metode monetisasi yang eksploitatif pada League of Legends. Misal, Champion baru hanya terbuka apabila akun Anda mencapai level tertentu. Apabila Anda membayar, Anda bisa lebih cepat menaikkan level akun Anda. Tapi pertanyaanya, apakah model seperti itu adalah model yang sehat dan bisa bertahan untuk jangka panjang?

Memang, esports butuh investasi besar dan belum tentu juga menguntungkan pada akhirnya. Tetapi apabila diasuh dengan tepat, efeknya seperti apa yang kita lihat seperti ini. Karenanya CEO Riot Games Nicolo Laurent sempat berkata bahwa esports tidak lagi bisa dilihat sebagai alat marketing, melainkan sebagai sebuah bisnis. Setelahnya Nicolo juga menambahkan, "kami ingin memastikan semua orang memiliki impian untuk diraih." Dari pernyataan tersebut, secara tidak langsung kita juga bisa melihat bagaimana esports punya dampak ekonomi yang lebih luas ketimbang sekadar menjual micro-transactions saja.

 

Penutup

Dari pembahasan ini, kita bisa melihat bagaimana menjadi model free-to-play memang memberi keuntungan tersendiri bagi developer saat berniat menjadikan game tersebut menjadi esports. Di luar dari itu, esports juga memberikan ragam keuntungan menarik kepada developer game terkait. Mulai dari membangun minat pemain, memperpanjang usia sebuah game, sampai memberikan keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari komersialisasi liga esports.

Lalu kalau pertanyaannya dibalik, apakah game gratis harus selalu dijadikan esports? Jawabannya tentu tergantung fokus bagi sang publisher. Seperti yang saya jelaskan di atas, ada banyak metode-metode monetisasi bagi game free-to-play. Walaupun Clash of Clans sempat mengalami penurunan pendapatan, tapi toh game tersebut masih bertahan dengan metode yang sama sampai sekarang. Pada sisi lain, Riot Games yang sukses besar berkat esports juga masih menekankan tim mereka untuk membuat game yang bagus lebih dulu ketimbang terlalu "kebelet esports".

Saya sendiri sebenarnya cukup setuju dengan pernyataan tersebut. Bagaimanapun, inti dari esports adalah game-nya itu sendiri. Karenanya sebuah game harus bagus (aspek kreatif maupun teknis), balanced, dan diminati banyak orang terlebih dahulu sebelum jadi esports. Bukan dijadikan esports agar lebih diminati walau game-nya kurang bagus dari aspek kreatif maupun teknis ataupun kurang balanced.