Kisah Hidup Tokido, Legenda Street Fighter yang Dijuluki "Sang Iblis"

Tokido percaya bahwa impian pasti dapat dicapai lewat kerja keras, dan itu tercermin dalam etos kerjanya sebagai atlet esports fighting game.

Musim panas 2017 adalah masa yang tak terlupakan bagi pemuda bernama Victor Woodley. Tak lama menjelang datangnya turnamen fighting game terbesar dunia, Evolution Championship Series (EVO), Woodley yang saat itu masih berusia 18 tahun baru saja menandatangani kontrak profesional bersama tim esports Panda Global. CEO Panda Global, Alan Bunney, berkata bahwa Woodley akan menjadi salah satu “kuda hitam” di tahun 2017, dan itu bukan tanpa alasan.

Performa Woodley memang sedang hebat-hebatnya. Ia baru saja memenangkan tiga turnamen bergengsi berturut-turut, menumbangkan sederet nama besar dunia Street Fighter seperti Justin Wong, Yusuke Momochi, dan Fuudo. Setelah bergabung bersama Panda Global, Woodley pun langsung memenangkan satu turnamen lagi, yaitu ELEAGUE Street Fighter V Invitational 2017 yang memberikannya hadiah sejumlah US$150.000 (sekitar Rp2,1 miliar).

Sepak terjang si darah muda menimbulkan badai di komunitas fighting game. Sebagian terkesima dengan permainannya, tapi sebagian lainnya justru tak suka karena Woodley punya kebiasaan melakukan trashtalk—sesuai dengan nickname yang ia pakai, “Punk”. Orang pun mulai bertanya-tanya. Apakah Victor Woodley merupakan pemain jenius yang akan jadi legenda baru Street Fighter? Lagi pula bila para mantan juara EVO saja bertekuk lutut, siapa yang bisa menghentikannya?

Victor "Punk" Woodley, pemain Street Fighter paling ditakuti di tahun 2017 | Sumber: Gamereactor

Untuk sejenak mereka lupa, bahwa jauh sebelum karier Punk melejit, pernah ada seorang jenius lain dari seberang dunia. Jenius yang memenangkan turnamen EVO ketika ia baru berusia 17 tahun—bahkan lebih muda dari Punk.

The Beginning

Jenius itu adalah seorang pria asal Jepang bernama Hajime Taniguchi. Lahir di Okinawa pada tanggal 7 Juli 1985 dari pasangan dokter gigi Hisashi Taniguchi dan Yukiko Taniguchi, Hajime sejak kecil tergolong anak yang pintar. Ia tidak punya banyak teman di sekolah karena keluarganya sering berpindah rumah, jadi waktu luangnya kebanyakan dihabiskan untuk bermain game. Sang ayah, mendukung hobi putranya namun tetap perhatian pada edukasi, selalu berjanji akan membelikan game terbaru bila Hajime berhasil meraih nilai yang baik di sekolah.

Hajime mulai mengenal game dari judul keluaran Nintendo yang sangat populer di akhir era 80an, yaitu Super Mario Bros. Namun menginjak bangku sekolah dasar, ia bertemu dengan game yang akan mengubah hidupnya di masa depan: Street Fighter II. Hajime sebetulnya menyukai segala jenis game. Ia merupakan penggemar judul-judul JRPG, seperti seri Final Fantasy dan Dragon Quest. Tapi sejak mencoba Street Fighter II di rumah seorang teman, benih jiwa kompetitif Hajime mulai tumbuh.

Tokido menyukai fighting game sejak era Street Fighter II | Sumber: Capcom

Ia mulai menghabiskan banyak waktu untuk bermain Street Fighter II sendirian, di samping berbagai game lainnya. Namun sesekali, ketika keluarganya pulang kampung ke Okinawa, Hajime punya kesempatan untuk bertanding melawan sepupunya yang lebih tua—dan selalu kalah. Dalam wawancaranya dengan theScore esports, Hajime pun mengakui bahwa sepupunya itu adalah seorang pemain fighting game yang sangat baik.

Tidak puas dengan kekalahan itu, Hajime terus-menerus berlatih, bukan hanya di Street Fighter namun juga fighting game lainnya. Hingga akhirnya suatu hari, Hajime berhasil menang dari sepupunya dalam pertandingan Virtua Fighter 2. Kemenangan itu membuatnya lebih percaya diri dan lebih mendedikasikan diri untuk mengasah keahlian di genre game yang sangat disukainya.

Enter Tokido

Menginjak usia SMP, kegemaran Hajime bermain fighting game telah berubah menjadi kegiatan yang lebih sosial. Ia lebih sering bertanding bersama teman, juga berpartisipasi di turnamen-turnamen. Selama era SMP hingga SMA inilah Hajime mulai membangun reputasi sebagai salah satu pemain fighting game yang kuat di Jepang.

Virtua Fighter 2, revolusioner pada masanya | Sumber: Emuparadise

Ada satu ciri khas dari gaya permainan Hajime yang sebetulnya efektif namun membuat banyak orang kesal, yaitu kebiasaannya untuk selalu memainkan karakter maupun strategi paling optimal demi kemenangan. Tidak peduli apa game yang ia mainkan, tidak peduli se-cheesy (murahan) apa pun sebuah taktik, ia sama sekali tidak sungkan karena ia sangat haus akan kemenangan. Toh ia tidak melakukan perbuatan curang.

Gaya permainan ini sangat mencolok ketika ia memainkan King of Fighters. Mengandalkan karakter Iori Yagami—yang dalam ceritanya pun merupakan tokoh jahat—Hajime selalu bermain dengan spamming tiga gerakan terus-menerus. Seorang kakak kelas Hajime kemudian menyematkan nickname padanya. “Tokido”, yang merupakan singkatan dari tiga gerakan itu: Tonde (melompat), Kick (menendang), dan Doushita (kalimat yang dilontarkan Iori Yagami ketika mengeluarkan fireball). Hajime tidak keberatan menerima nickname tersebut. Sejak saat itu, ia pun menyebut dirinya sebagai Tokido.

Iori Yagami, karakter yang memunculkan nickname "Tokido" | Sumber: Steam Card Exchange

Momen besar dalam hidup Tokido terjadi di tahun 2002. Saat itu ia sedang berusia 17 tahun, dan sedang duduk di tingkat terakhir bangku SMA. Esports belum populer seperti sekarang, jadi impian untuk menjadi gamer profesional pun tak terbayangkan di benaknya. Rencana hidup Tokido adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, mengambil gelar S2, kemudian mencari pekerjaan mapan.

Dengan rencana hidup demikian, Tokido sadar bahwa ia tidak bisa bermain game selamanya. Di saat yang bersamaan, ia mendengar kabar akan adanya turnamen fighting game tingkat dunia di Los Angeles yang bernama Evolution Championship Series (EVO). Merasa bahwa mungkin inilah turnamen terakhir yang bisa ia ikuti, Tokido kemudian meminta izin pada ayahnya untuk pergi ke Los Angeles, dengan janji bahwa sepulang dari kejuaraan tersebut ia akan fokus pada pendidikan.

Father

Hisashi Taniguchi adalah ayah yang serius, bahkan kaku. Yang tidak banyak orang tahu, semasa mudanya Hisashi pernah punya impian untuk menjadi musisi. Apalagi waktu itu instrumen synthesizer sedang booming. Hisashi sangat menyukai synthesizer, namun sayangnya instrumen tersebut sangat mahal dan Hisashi sendiri merasa tidak begitu berbakat dalam bermain musik. Ia akhirnya memilih jalur karier sebagai dokter gigi, namun kecintaannya pada bidang musik tak pernah padam.

Tokido bersama keluarganya | Sumber: ELEAGUE via theScore esports

Minat besar pada musik bahkan membantu kariernya di dunia kedokteran. Salah satu riset yang pernah ia lakukan adalah tentang cara membantu pasien kanker yang harus menjalani pelepasan rahang saat perawatan. Pemahaman Hisashi akan suara, serta keahliannya di bidang prosthetic (anggota tubuh buatan), merupakan bekal untuk membantu para pasien tersebut belajar berbicara kembali. Dengan uang yang dikumpulkannya sebagai dokter gigi pun, Hisashi akhirnya dapat menggapai impiannya untuk membeli synthesizer dan menggubah musik sendiri.

Pengalaman hidup itu diperkuat lagi dengan posisi Hisashi yang sedang menjabat sebagai wakil presiden sebuah universitas. Ia kerap mendengar keluhan dari para mahasiswanya, termasuk berbagai konflik antara mahasiswa dan orang tua yang terjadi saat sedang merencanakan masa depan. Karena itu, ketika Tokido meminta izin untuk berkompetisi di turnamen dunia, ia langsung tahu apa yang harus dilakukan.

“Oh, kamu ingin pergi ke Amerika Serikat untuk ikut turnamen video game? Oke, ayah akan bayari,” kata Hisashi pada Tokido. Jawaban yang membuat Tokido sendiri terkejut, karena ia tak menyangka ayahnya yang kaku itu akan mau membiayainya untuk bermain game. Tokido pun berangkat ke EVO 2002 sebagai kontestan termuda asal Jepang (juga satu-satunya pemain Jepang yang bisa berbahasa Inggris). Oleh-oleh yang dibawanya pulang, adalah gelar juara dunia untuk game Capcom vs. SNK 2: Mark of the Millennium 2001, uang hadiah senilai US$1.500, serta sebuah kebanggaan besar.

Seluruh uang hadiah itu kemudian habis, digunakan oleh Tokido untuk bermain game lebih sering lagi di arcade center.

Tokido ketika menjuarai EVO 2002 | Sumber: James Chen via Reddit

Professional

Apa yang Anda lakukan setelah meraih gelar juara dunia? Bagi Tokido, tidak ada yang banyak berubah. Rencana hidupnya tetap sama. Ia melanjutkan pendidikan di salah satu kampus paling prestisius di Jepang, The University of Tokyo alias Todai, dengan jurusan teknik kimia material. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, Tokido masih tetap menekuni fighting game sebagai hobi. Ia juga beberapa kali datang kembali ke turnamen EVO, bahkan meraih gelar juara lagi di tahun 2007 untuk cabang Super Street Fighter II Turbo.

Tahun 2008, Tokido lulus dari Todai, kemudian mulai melakukan persiapan untuk ujian masuk program magister. Namun sayangnya ia merasa kesulitan dalam ujian itu dan mendapat hasil yang sangat buruk. Rencana hidup Tokido harus berubah. Ia berada di persimpangan jalan, tak yakin apa yang harus dilakukan berikutnya.

Saat itu yang terbayang di Tokido adalah mencari pekerjaan, dan Jepang punya kultur kuat dalam hal ini. Di Indonesia kita mungkin sudah terbiasa melihat karyawan berpindah-pindah perusahaan, namun di Jepang umumnya ketika seseorang sudah mendapat pekerjaan penuh waktu, ia akan bertahan di pekerjaan itu untuk jangka yang lama—bahkan seumur hidup. Jadi bagi Tokido ini adalah keputusan yang sangat besar.

Tokido mengaku sempat ingin mencari pekerjaan di pemerintahan. Stereotype pekerjaan ini adalah gaji yang tidak begitu tinggi namun sangat stabil, dan ia akan punya waktu serta kesempatan berlibur untuk menjalankan hobinya yaitu bermain fighting game. Tapi kemudian santer kabar yang cukup menghebohkan komunitas fighting game Jepang. Daigo Umehara, sang legenda Street Fighter yang sempat “banting setir” menjadi pemain mahyong, memutuskan untuk kembali ke dunia fighting game sebagai gamer profesional. Untuk pertama kalinya di Jepang, atlet esports—khususnya esports fighting game—terlihat punya potensi sebagai sebuah profesi.

Kembalinya Daigo, ditambah dengan popularitas Street Fighter IV yang waktu itu baru saja dirilis, membuat ekosistem fighting game tumbuh bergairah. Tidak hanya di Jepang, namun juga di belahan dunia lain seperti Amerika Serikat. Tokido yang waktu itu berusia 24 tahun kemudian berkonsultasi kepada ayahnya tentang kemungkinan untuk menjadi gamer profesional seperti Daigo. Sama seperti enam tahun sebelumnya ketika Tokido meminta izin pergi ke EVO, kali ini pun sang ayah langsung mengizinkan.

Midas

Karier profesional Tokido telah dimulai, namun saat itu ia masih belum mendapat sponsor. Untuk memenuhi kebutuhannya Tokido mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu, tapi semua itu ia lakukan semata-mata untuk mendukung aktivitasnya di dunia fighting game. Di era inilah Tokido mulai meraih reputasi sebagai seorang pemain jenius. Bagai raja Midas yang mampu mengubah benda apa pun yang ia sentuh menjadi emas, Tokido menunjukkan bahwa ia dapat berkompetisi di level sangat tinggi, apa pun game yang ia mainkan.

Tokido selalu berwajah serius saat bertanding | Sumber: Karaface

Di periode 2008 – 2015, Tokido berhasil menjuarai kompetisi di segudang game berbeda. Mulai dari Tekken, Soulcalibur, The King of Fighters, Tekken, Street Fighter x Tekken, Marvel vs. Capcom, BlazBlue, hingga Persona 4 Arena. Setiap kali ada turnamen fighting game besar, rasanya aneh jika nama Tokido tidak masuk ke babak Top 16, bahkan ia juga langganan tampil di Grand Final.

Seiring berjalannya waktu reputasi Tokido semakin melesat, dan ia mulai memperoleh beberapa nickname lain dari para penggemarnya. Salah satu yang paling terkenal adalah “Murderface”, karena Tokido selalu menunjukkan wajah sangat serius ketika ia bermain. Tokido juga mendapat julukan “The Demon” sebab karakter andalannya adalah Akuma.

Sebetulnya Tokido pertama kali memilih untuk memainkan Akuma atas saran dari Daigo Umehara, karena menurutnya Akuma adalah karakter kuat yang lebih mudah digunakan dibanding karakter lain, misalnya Ryu. Tapi di tangan Tokido, Akuma bukan hanya kuat namun juga menjadi sangat cheesy. Tokido bahkan menciptakan sebuah taktik bernama Tokido Vortex, yaitu taktik yang memanfaatkan banyak gerakan salto (Demon Flip) sehingga lawan bingung bagaimana harus merespons dan pasti terkena damage.

Meski terkenal tak punya belas kasihan terhadap lawan, di balik gaya bermainnya yang kejam itu Tokido juga disukai banyak orang karena ia memiliki kepribadian yang ramah dan eksentrik. Ia adalah orang yang humoris dan sering melakukan hal-hal aneh di atas panggung. Bahkan ada masa di mana setiap kali akan bertanding, Tokido selalu mengukur jarak ideal antara wajahnya dengan layar monitor menggunakan meteran!

Tahun 2011 merupakan tahun yang penting bagi Tokido. Di tahun inilah ia akhirnya bergabung dengan tim Mad Catz, bersama dengan Daigo Umehara. Bersama dengan salah satu pemain veteran Jepang lainnya yaitu Mago (Kenryo Hayashi), Tokido juga menjadi host untuk acara streaming yang disebut Topanga TV. Dalam acara ini mereka bermain secara rutin dan membagikan berbagai tips fighting game pada pemirsa, sekaligus mengadakan pertandingan-pertandingan eksibisi antara pemain-pemain top. Sepanjang era Street Fighter IV, karier Tokido berkembang pesat dan ia telah masuk ke zona nyaman seorang atlet esports. Hanya saja, ada satu masalah.

Tokido tidak pernah menjadi juara EVO.

Tokido memanfaatkan segala cara demi kemenangan | Sumber: TokidoFans

Focus Attack

Ketika kita berbicara tentang legenda di dunia Street Fighter, nama yang pertama kali mencuat pastilah Daigo Umehara. Hal ini bukan tanpa alasan. Daigo memang punya sejarah prestasi yang luar biasa, serta berbagai catatan rekor yang sulit disaingi. Di luar kariernya sebagai atlet fighting game Daigo juga memiliki usaha clothing line sendiri, telah menjadi penulis buku, bahkan menjadi trainer dalam seminar-seminar bisnis.

Bukan berarti Daigo tak pernah kalah sama sekali. Di berbagai turnamen langkah Daigo sempat terhenti oleh jawara-jawara lainnya. Tapi itu tak menggoyahkan status Daigo sebagai “The Beast”, sang pemain buas namun karismatik yang menjadi wajah terdepan dunia Street Fighter. Berada dalam satu tim yang sama, Tokido semakin menyadari betapa jauhnya perbedaan kemampuan antara Daigo dan dirinya.

Tokido tidak puas dengan kondisi seperti ini. Ia tidak puas hanya menjadi seorang pemain hebat. Ia ingin menjadi yang terhebat, karena ia tahu bahwa hanya pemain-pemain terhebat saja yang bisa bertahan di dunia fighting game. Untuk meraih tujuan tersebut, ketika Street Fighter V dirilis pada tahun 2016, Tokido memutuskan meninggalkan semua fighting game lainnya dan fokus pada Street Fighter saja.

Tokido sempat menjadi kawan satu tim Daigo Umehara | Sumber: CEOGaming via Kusa3k

Di awal perilisan Street Fighter V, Akuma yang menjadi andalan Tokido belum masuk ke dalam jajaran karakter yang bisa dimainkan. Sebagai pengganti, Tokido memilih Ryu dan mulai berlatih keras. Setelah sempat gugur di Grand Final beberapa kali, Tokido akhirnya meraih gelar juara di turnamen bergengsi, Community Effort Orlando (CEO) 2016. Turnamen ini merupakan rematch antara dirinya dengan Infiltration (Lee Seon-woo), juara Street Fighter V yang mengalahkannya di beberapa Grand Final sebelumnya.

Sepak terjang Tokido meraih momentum yang tinggi, tapi lalu terjadi sebuah masalah. Organisasi Mad Catz yang menaungi Tokido harus melepaskan divisi esports fighting game mereka karena kendala finansial. Sempat menjadi free agent beberapa lama, Tokido kemudian bergabung dengan tim Echo Fox, bersama sederet nama besar fighting game lain termasuk Justin Wong, Momochi, dan SonicFox (Dominique McLean). Sementara Daigo Umehara bergabung dengan tim di bawah bendera Red Bull.

Memasuki tahun 2017, Akuma akhirnya hadir di Street Fighter V, dan Tokido pun segera beralih ke karakter favoritnya itu. Karena baru berganti karakter wajar saja bila performa Tokido di turnamen sedikit menurun di masa-masa ini. Hingga pertengahan tahun Tokido masih berusaha beradaptasi, sementara di belahan dunia lain sebuah ancaman baru tengah mengintai. Ancaman yang bernama Punk.

Carnage

Apa yang membuat seseorang diakui sebagai legenda? Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari keahlian, prestasi, reputasi, atau lainnya. Tokido sudah memiliki beberapa di antaranya, tapi masih ada sesuatu yang kurang. Ia belum punya suatu momen ikonik yang menahbiskan statusnya sebagai seorang legenda, seperti EVO Moment #37 milik Daigo Umehara yang sangat terkenal. Dan di tanggal 16 Juli 2017, momen ikonik itu akhirnya terjadi.

Tokido hanyalah salah satu dari sekian banyak veteran fighting game yang turut berkompetisi dalam EVO 2017. Daigo Umehara, Momochi, Bonchan, Justin Wong, MenaRD, Infiltration, Haitani, Dogura, Mago, GamerBee, Nemo, Ricki Ortiz, Fuudo, dan masih banyak lagi, juga menjadi partisipan di turnamen fighting game terbesar dunia itu. Di antara nama-nama besar tersebut, Tokido dan Punk termasuk di dalam jajaran pemain yang lolos ke babak Top 8, tapi ada perbedaan besar di antara keduanya.

Bila Punk adalah rising star yang punya rekam jejak gemilang menjelang EVO, Tokido justru terlihat masih agak kesulitan beradaptasi dengan karakter barunya. Bila Punk melenggang ke Top 8 lewat Winners’ Bracket dan mendominasinya, Tokido justru harus merangkak di Loser’s Bracket dengan ancaman eliminasi. Bila Punk digadang-gadang sebagai kandidat paling kuat untuk jadi juara, banyak orang bahkan tidak memperhitungkan kemungkinan Tokido yang akan meraihnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Tokido sebenarnya sudah pernah kalah dari Punk di turnamen EVO ini. Mereka sempat bertemu di babak Top 32, dan saat itu Punk menang meyakinkan dengan skor 0-2. Punk-lah orang yang mengirim Tokido ke Losers’ Bracket, dan bila Tokido ingin jadi juara, Punk jugalah yang harus ia kalahkan di Grand Final.

Perjalanan Tokido di babak Top 8 adalah perjalanan yang mengagumkan. Bagai kerasukan iblis, satu-persatu kandidat kuat juara ia paksa berkemas pulang. Ia mengalahkan Filipino Champ, yang dikenal sebagai pemain Dhalsim terbaik dunia. Ia mengalahkan NuckleDu, ahli Guile yang sebelumnya juara Capcom Cup 2016. Ia mengalahkan Itabashi Zangief, salah satu pemain pertama yang meraih peringkat Master di Capcom Fighters Network (CFN) saat itu. Ia mengalahkan Kazunoko, kandidat kuat lain yang meraih juara 3 di Capcom Cup 2016. Jalan Tokido di EVO 2017 adalah sebuah “pembantaian besar”, dan pembantaian itu masih belum berakhir.

Raging Demon

Berhadapan kembali dengan Punk di Grand Final, Tokido mengamuk. Segala macam kejadian menghebohkan yang mungkin terjadi di sebuah pertandingan fighting game, dapat Anda temukan di sini. Di bawah sorotan kamera, disaksikan ratusan ribu penonton di seluruh dunia, dan memikul beban sebagai wakil dari dua negara yang telah lama bersaing di dunia fighting game, kekuatan mental kedua pemain benar-benar diuji. Lalu di tengah ketegangan yang kian memuncak, apa yang dilakukan oleh Tokido?

Ia melakukan Taunt Combo. Melawan Punk. Di Grand Final EVO.

Tokido sebetulnya bisa menang dengan cara biasa, tapi itu tidak cukup. Ia juga melakukannya dengan gaya. Taunt Combo adalah sebuah pernyataan dari Tokido bahwa di panggung turnamen terbesar dunia ini ia tidak hanya ingin menang dari Punk—ia ingin menghancurkannya. Tak sekadar menghajar karakter yang ada di layar, Tokido juga menghantam mental Punk dengan telak, seolah mengingatkannya agar tidak sombong karena semakin tinggi seseorang terbang, semakin keras pula jatuhnya.

Ketika Tokido berhasil melakukan bracket reset, sorak sorai penonton begitu gegap gempita. Diikuti langsung oleh sebuah ronde dengan kemenangan Perfect, rasanya sulit untuk percaya bahwa Tokido sebelumnya bahkan tidak dianggap favorit juara. Lalu ketika Tokido menghabisi Punk dengan jurus pamungkas Raging Demon, saat itulah semua orang sadar. Mereka sedang menyaksikan sebuah momen bersejarah di dunia fighting game.

Pose kemenangan Tokido di EVO 2017 | Sumber: ESPN

Sepuluh tahun. Selama itulah Tokido menunggu. Berlatih, bertanding, dan mengejar kembali gelar juara dunia yang dulu pernah diraihnya. Dan ia berhasil, setelah melalui proses yang luar biasa. Kemudian bukannya sombong atau membanggakan diri. Ketika ia diwawancara di atas panggung, ia menutup hari dengan sebuah pesan: “Fighting game is something so great.”

Another Beginning

“Fighting game is something so great.”Fighting game adalah sesuatu yang hebat. Apa makna ungkapan tersebut? Di kemudian hari Tokido menjelaskan, bahwa menurutnya, fighting game adalah salah satu hal di dunia ini yang pasti akan memberikan hasil sesuai dengan usaha kita. Lagi pula, dalam pertarungan satu lawan satu, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kecuali diri kita sendiri ketika kita gagal. Sebaliknya, bila kita mau bekerja keras, maka impian kita pasti akan terwujud.

Juara dunia setelah sepuluh tahun lamanya | Sumber: " target="_blank">Capcom Fighters

EVO 2017 seolah menjadi titik balik dalam karier Tokido. Sejak saat itu ia telah memenangkan sejumlah gelar bergengsi lainnya, seperti SEA Major 2017, ELEAGUE Street Fighter V Invitational 2018, Canada Cup 2018, dan banyak lagi. Dalam sirkuit kompetisi Capcom Pro Tour 2018, Tokido juga menjadi pemimpin klasemen dengan perolehan poin yang sangat jauh dibandingkan saingan terdekatnya. Dan kini, tak ada lagi yang meragukan kemampuan Tokido sebagai salah satu atlet Street Fighter terbaik dunia—bahkan mungkin yang terbaik.

Semangat untuk selalu menyempurnakan kemampuan dan memperbaiki diri, serta kepercayaannya pada kekuatan kerja keras, membuat Tokido sangat cocok dengan profesinya sebagai atlet esports fighting game. Setelah menjuarai EVO pun ia tak berhenti membuktikan diri, termasuk menantang Daigo Umehara dalam acara duel yang disebut Kemonomichi (Way of the Beast).

Di pertarungan berformat First to 10 (alias Best of 20) itu, The Demon harus tunduk kepada The Beast dengan skor 5-10. Tokido sadar, meski sudah menjadi juara dunia, jalan panjang masih terbentang di hadapannya. Tujuan akhir Tokido bukan “hanya” juara dunia. Bukan "sekadar" jadi pemain terkuat. Ia ingin sesuatu yang lebih dari itu. Ia ingin melampaui Daigo Umehara. Seperti mantan teman satu timnya itu, suatu hari nanti, ia ingin menjadi seorang legenda.

Satu yang mungkin Tokido tak sadar, adalah bahwa sebenarnya, ia sudah seorang legenda