Kritik Keras Richard Lewis Atas Kebiasaan Buruk Para Jurnalis Esports

Tidak cek fakta, tidak ada narasumber, hingga pencemaran nama baik, adalah beberapa hal yang kerap terjadi di pemberitaan esports.

Akhir pekan lalu (16 – 17 November 2019) rasanya banyak sekali event penting yang berhubungan dengan esports terjadi. Di dunia Mobile Legends misalnya, kita melihat ada pertandingan M1 yang akhirnya dimenangkan oleh EVOS Esports. Selain itu di dunia fighting game ada dua turnamen besar digelar bersamaan, yaitu Capcom Pro Tour 2019 North America Regional Finals dan ArcRevo America 2019. Sementara itu di London, Inggris, digelar acara Esports Awards 2019 untuk memberi penghargaan kepada para tokoh esports yang keberadaannya telah menimbulkan dampak untuk industri ini.

Salah satu kategori penghargaan tersebut adalah Esports Journalist of the Year, yang jatuh ke tangan Richard Lewis. Lewis adalah seorang jurnalis senior asal Wales yang telah menulis untuk sejumlah situs esports ternama, termasuk di antaranya VPEsports dan Dexerto. Sebelumnya, Lewis sudah pernah mendapat penghargaan serupa di tahun 2016 setelah ia membongkar skandal situs judi CSGOLotto. Dan di tahun 2019 ini, Lewis adalah jurnalis yang mengungkap kasus rasisme di dalam Echo Fox, yang akhirnya berujung pada keluarnya Rick Fox dan bubarnya Echo Fox.

Ajang penghargaan ini digunakan oleh Lewis untuk menyampaikan sebuah kritikan terhadap kondisi jurnalisme esports yang telah menjadi semakin ramai di seluruh dunia. Menurut Lewis, belakangan banyak perusahaan media eksternal (dari luar esports) yang ingin ikut bersuara dan bercerita tentang esports. Ia memberi contoh tiga media besar yaitu Waypoint, Kotaku, dan Polygon. Media-media seperti ini kerap kali memberitakan esports dengan pendekatan yang buruk.

“Mereka terus-menerus mempermalukan diri sendiri dengan menulis artikel-artikel yang menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap scene kita, tidak adanya narasumber, dan opini tidak orisinil tentang topik-topik yang sudah kita bicarakan sampai habis selama kurang lebih 20 tahun,” ujar Lewis.

Media-media seperti ini, kata Lewis, suka menulis artikel hit-piece (artikel yang dibuat menggiring opini publik) serta suka menulis artikel yang mencemarkan nama baik orang lain. Basis artikel mereka bukanlah fakta, namun hal-hal ambigu dan bahkan terkadang kebohongan. Lewis kemudian memberi beberapa contoh artikel yang dimaksud, misalnya artikel tentang seorang pemain Overwatch perempuan bernama Ellie, yang ternyata tidak ada. Ellie adalah nama alias milik pemain lain.

Lewis lanjut berkata bahwa kesalahan semacam ini seharusnya tidak terjadi seandainya para jurnalis itu mau melakukan pengecekan fakta sedikit saja. Sejumlah hadirin di acara Esports Awards 2019 merespon kritikan Lewis dengan standing applause. Beberapa pelaku esports kemudian juga menyatakan dukungannya pada pandangan Lewis lewat Twitter, termasuk di antaranya

">" target="_blank">Adam Apicella (pendiri Esports Engine dan mantan VP Activision Blizzard).

">

Menurut Lewis, respons positif ini menunjukkan betapa banyaknya orang yang telah menjadi korban dari pemberitaan-pemberitaan seperti di atas. Lewis juga berkata bahwa

">" target="_blank">hal yang mendorong dirinya untuk menyerukan kritik keras ini adalah karena pengalaman buruk yang diterima oleh beberapa orang. Seperti Colin Moriarty,

">" target="_blank">DrDisrespect, dan Totalbiscuit.

Meski demikian, Lewis mengakui bahwa ada jurnalis-jurnalis dengan latar belakang non-esports yang mampu menghasilkan konten berkualitas. Secara khusus ia menyebut seorang jurnalis Kotaku,

">" target="_blank">Cecilia D’Anastasio, yang menurut Lewis layak menjadi salah satu nominasi Esports Journalist of the Year. Lewis juga mengingatkan para audiens bahwa jurnalisme yang baik bukanlah sebuah kompetisi.

">

Esports adalah sebuah ekosistem yang sebetulnya sudah berjalan lama dan punya sejarah puluhan tahun, akan tetapi baru beberapa tahun terakhir saja meledak jadi lebih mainstream. Mengikuti perkembangan tren, wajar bila kemudian makin banyak pihak yang ingin “mencelupkan kaki” ke dunia esports, termasuk dari industri media.

Sayangnya, ada pihak-pihak yang enggan mengeluarkan energi untuk mempelajari ekosistem ini lebih mendalam, atau menjalin hubungan lebih dekat dengan para pelaku industrinya demi pemberitaan yang akurat dan bermutu. Membuat konten-konten sensasional memang bagus untuk memancing traffic dalam waktu singkat. Tapi bila kita ingin menumbuhkan ekosistem esports yang sehat dan berkelanjutan, kita harus mau berinvestasi untuk jangka panjang, dan menghindari hal-hal yang disebutkan oleh Richard Lewis.

Sumber: Esports News UK, " target="_blank">Esports Awards 2019