29 May 2019

by Yoga Wisesa

Mengupas Upaya Gringgo Menyediakan Solusi Pengelolaan Sampah Berbekal AI

Ada 2600 pelamar Google AI Impact Challenge dan Gringgo merupakan satu dari 20 organisasi yang terpilih untuk mendapatkan bantuan Google.

Ada banyak hal yang bangsa Indonesia bisa banggakan: keragaman budaya, kekayaan alam, hingga potensi sumber daya manusia. Namun ada sejumlah perkecualian. Harus kita akui, masih sedikit dari penduduk Indonesia yang betul-betul peduli terhadap lingkungan. Di bulan Agustus kemarin, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyampaikan bahwa kita adalah negara penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia.

Laporan majalah Science di tahun 2015 menyebutkan ada 3,2 juta ton limbah plastik dihasilkan di kawasan indonesia tiap tahunnya dan 1,29 juta ton dibuang ke laut. Kondisi ini mendorong beberapa orang dan perusahaan untuk mengambil langkah konkret demi meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan sampah. Yayasan Gringgo Indonesia ialah salah satu nama yang menonjol berkat gagasan inovatifnya dan keberhasilan mereka terpilih mendapatkan bantuan Google di program AI Impact Challenge.

Gringgo merupakan satu dari 20 organisasi/startup non-profit di bidang sosial yang jadi penerima hibah Google.org dengan total dana senilai US$ 25 juta. Untuk memahami besarnya pencapaian mereka, perlu Anda tahu bahwa ada 2.600 pelamar Google AI Impact Challenge yang datang dari 12 negara dan Gringgo merupakan satu-satunya startup yang berasal dari kawasan Asia Tenggara.

Di luar dukungan dalam bentuk uang, Gringgo memperoleh bantuan kredit dan konsultasi dari Google Cloud, pelatihan dari pakar AI Google, serta berkesempatan mengikuti program mentoring selama enam bulan dari para ahli di Google Launchpad Accelerator. Di presentasinya, CTO Gringgo Febriadi Pratama menceritakan singkat pengalaman mereka mengikuti pertemuan selama lima hari bersama 19 penerima hibah di kota San Francisco.

 

Kompleksnya masalah limbah di Indonesia

Di sambutannya, Novrizal Tahar selaku Direktur Pengelolaan Sampah menjelaskan bahwa demi menyelamat-kan Indonesia dari bahaya laten timbunan sampah, pola pikir kita sudah mesti diubah. 'Membuang sampah pada tempatnya' bukan lagi jalan keluar yang bisa diandalkan. Masing-masing orang kini harus sadar dan mulai mengidentifikasi limbah yang mereka hasilkan serta menyortir jenis sampah sebelum membuangnya.

Tentu saja, prakteknya tidak sesederhana itu. Ada hanyak hal dan situasi yang membuat penanggulangan sampah bertambah pelik. Pertama, kedala datang dari keadaan sosial. Biasanya, masyarakat sangat meremehkan kesejahteraan para petugas pembersih dan pemulung. Pemasukan mereka juga sangat kecil, lalu mayoritas pengumpul sampah datang dari sektor usaha informal tanpa ada sama sekali sistem pendukung yang terintegrasi serta memadai.

Selain itu, sampah berdampak pada faktor ekonomi. Gringgo sebagai organisasi asal Bali melihat langsung bagaimana kotoran-kotoran yang terbawa arus dapat memenuhi pantai. Kondisi ini tentu saja memengaruhi turisme karena pemerintah daerah kadang terpaksa menutup area pantai buat melakukan pembersihan. Kemudian, sampah juga sangat memengaruhi sektor perikanan dan mencemari biota.

 

Memulai dari skala kecil

Gagasan di belakang penciptaan Gringgo dicetus pada tahun 2014, waktu itu mengusung tajuk Cash for Trash. Tim punya misi untuk memberi terobosan serta menciptakan dampak positif bagi lingkungan dengan cara membangun solusi perputaran ekonomi yang memprioritaskan masyarakat, planet dan kesehatan. Ketika Gringgo Indonesia Foundation resmi berdiri di 2017, proyek mereka dimulai di desa Sanur Kaja, Denpasar.

Di tahun 2017, Denpasar memiliki populasi kurang lebih 898 ribu jiwa, dan diisi oleh 43 desa. Dalam setahun, penduduknya menghasilkan sekitar 700 ribu ton sampah, tetapi hanya 333.955 ton yang terkumpul secara benar. Waktu itu, wilayah operasi para pemungut sampah belum merata dan sering kali saling tumpang tindih. Dengan bertambahnya partisipan program, cakupan jadi lebih luas dan peluang satu pekerja kebersihan masuk ke area operasi rekannya jadi lebih kecil.

Berkat sistem garapan Gringgo, Febriadi bilang bahwa para pekerja kebersihan bisa mendapat pemasukan dua hingga tiga kali dari biasanya. Volume sampah yang terkumpul juga bertambah banyak sampai tiga kali lipat, mencapai 350-meter kubik per bulan, dan memperlihatkan kenaikan dari 9- jadi 12-ton tiap bulan. Sistem juga efektif dalam pengumpulan limbah plastik, dari yang tadinya cuma 400kg melesat jadi 5-ton per bulan.

Solusi dari Gringgo diharapkan pula mendorong partisipan untuk fokus mengumpulkan jenis sampah yang tidak begitu umum, namun sebetulnya punya nilai tinggi. Satu contohnya adalah popok bekas. Ada material di dalamnya yang bisa didaur ulang dan tak semua orang tahu. Gringgo mencoba agar detail nilai dari limbah ini lebih terekspos, dan para petugas kebersihan juga lebih tahu ke mana mereka harus menyalurkannya.

Gringgo tentu saja punya rencana untuk memperluas jangkauan operasi ke wilayah luar Denpasar. Meski begitu, mereka juga telah menetapkan kriteria: daerah-daerah itu mesti punya karakteristik demografi mirip Denpasar, dengan jumlah penduduk antara 800 ribu sampai 2 juta jiwa.

 

Solusi dari Gringgo

Teknologi pengenalan gambar berbasis kecerdasan buatan merupakan tulang punggung dari platform Gringgo. Tapi untuk bisa beroperasi secara maksimal, ada banyak hal harus terpenuhi. Mungkin Anda sudah tahu mengenai kemitraan Gringgo bersama Datanest, sebuah platform DSaaS penyedia visualisasi data, kecerdasan buatan, prediksi machine learning, serta actionability. Gringgo juga harus lebih dulu mengumpulkan ratusan ribu gambar agar sistem dapat melakukan identifikasi dan mempelajari pola.

Saat tersedia luas nanti, solusi Gringgo diharapkan mampu bekerja secara simpel. Pengguna - baik pihak pengumpul sampah atau organisasi/perusahaan - dapat memasukkan foto, video, info GPS, metadata hingga hasil survei. Setelah proses pembersihan dilakukan, engine kecerdasan buatan, machine learning dan platform labelling akan menentukan langkah yang bisa dilakukan selanjutnya. Nantinya, UI akan menampilkan nama barang serta menghitung perkiraan nilai dari semuanya.

Menjawab pertanyaan saya soal di perangkat apa rencananya Gringgo akan mengimplementasikan sistem ini, Febriadi Pratama menjelaskan bahwa timnya masih melangsungkan pengujian di sejumlah hardware berbeda dan belum mengambil keputusan (tim tengah mempertimbangkan smartphone atau kamera. Yang jelas, seluruh data diolah di cloud, jadi prosesnya hampir tidak membebani device. Febriadi juga bilang pengembangan platform saat ini berada di tahap alpha.