[Opini] Posisi Media Esports Ketika Esports Semakin Diminati Media Mainstream

Media mainstream dan media khusus esports sama-sama punya keterbatasan. Celah itu yang harus kita manfaatkan.

Ketika suatu bidang berkembang menjadi industri, maka bidang tersebut pasti tak akan lepas dari yang namanya jurnalisme. Jurnalisme video game telah menjadi hal yang lumrah semenjak era 90an dulu, dan kini pun mengikuti perkembangan ke arah kompetitif sebagai jurnalisme esports. Malah meskipun keduanya masih beririsan, dapat dikatakan bahwa reportase video game (core gaming) dengan reportasi esports merupakan hal yang sebetulnya jauh berbeda. Sebab fokus hal yang dibahas, cara pembahasan, serta target pasarnya pun berbeda.

Bila kita menengok beberapa tahun ke belakang, lima tahun lalu misalnya, media yang membahas tentang esports masih tergolong jarang. Akan tetapi sekarang esports telah menjadi buzzword yang sangat populer, dan tayangan esports pelan-pelan berubah dari sesuatu yang geeky menjadi hiburan umum di kalangan anak muda. Ditambah dengan nilai industrinya sendiri yang begitu besar, wajar bila kemudian semakin banyak media esports bermunculan. Fenomena yang mulai terjadi belakangan adalah bukan hanya media khusus esports yang membahas tentang esports, namun juga media-media mainstream.

Coba saja Anda melakukan pencarian di Google News dengan kata kunci “Mobile Legends”, maka Anda akan menemukan sejumlah nama-nama media non-esports, bahkan non-gaming, muncul di sana. Mulai dari Liputan 6, Republika, Detik, Kompas, hingga Tribun, semuanya kini membahas esports. Esports memang belum 100% menjadi mainstream di kalangan masyarakat, tapi dengan banyaknya media mainstream yang membahas, tampaknya tren mulai bergerak ke arah sana.

Tentunya tetap ada perbedaan antara “media mainstream yang membahas esports” dengan “media esports”. Secara simpel, perbedaannya ada pada level fokus dan dedikasi. Jurnalis atau media yang memang mengkhususkan diri untuk membahas esports, selain mengabarkan berita-berita umum juga dapat memberikan wawasan lebih mendalam terhadap berbagai aspek industri esports.

Jurnalis esports senior Duncan “Thooorin” Shields menyatakan bahwa orang-orang seperti inilah yang dibutuhkan oleh industri esports. Mereka yang benar-benar paham seluk-beluknya, sudah lama menggelutinya, dan dapat menyampaikan kisah-kisah industri esports lewat konten bermutu. Dalam hal ini, kita bisa menyimpulkan bahwa media esports tidak akan kalah dari media mainstream, setidaknya dalam hal kedalaman dan ketajaman konten esports yang disajikan.

Duncan "Thooorin" Shields menerima gelar Esports Journalist of the Year | Sumber: Esports Awards

Akan tetapi lain ceritanya bila kemudian ada media mainstream yang merekrut kru khusus untuk membahas esports secara terdedikasi. Seperti dilakukan The Washington Post beberapa waktu lalu. Mereka membuka beberapa lowongan untuk reporter video game serta editor esports, untuk “membantu mengembangkan cakupan industri video game yang terus tumbuh serta dunia esports”. Terlebih lagi posisi ini bukan posisi untuk junior, mereka menginginkan editor dan reporter yang sudah berpengalaman. Artinya dalam waktu dekat kita bisa saja melihat adanya konten dengan kualitas setara media khusus esports, namun tampil di media mainstream.

Bagi sesama pelaku media, langkah The Washington Post ini dapat memunculkan kekhawatiran. Karena bila kelebihan media esports—yaitu kualitas kontennya—bisa dimiliki juga oleh media mainstream, masyarakat akan kehilangan alasan untuk mengakses media esports. Lebih baik mereka membuka media mainstream saja, toh isinya sama. Apalagi bila nantinya, jurnalis yang masuk ke dalam media mainstream itu adalah jurnalis senior yang dulunya punya pengaruh besar di industri esports.

Sumber: The Pulitzer Prizes

Sebaliknya, bagi industri esports secara keseluruhan, langkah The Washington Post ini adalah kabar yang menggembirakan. Dengan jangkauan massa yang jauh lebih besar, berita di industri esports akan menyebar lebih luas dan lebih cepat. Prestasi-prestasi para atlet akan mendapat lebih banyak apresiasi, begitu juga para pemilik brand akan lebih tertarik untuk berinvestasi karena visibilitas mereka meningkat. Tidak menutup kemungkinan di masa depan esports akan jadi hal yang sangat lumrah di masyarakat, tak ubahnya industri sepak bola profesional, dan stigma negatif akan esports akan benar-benar hilang sepenuhnya.

Meski demikian bukan berarti media esports akan mati. Hanya saja segmentasinya pelan-pelan akan berubah. Karena bagaimana pun juga selama media mainstream itu masih menjadikan esports sebagai hanya “bagian dari mereka”, mereka pun tetap akan menemui keterbatasan. Baik itu keterbatasan jumlah kru, ruang konten di media, hingga keterbatasan topik yang dapat dibahas. Tidak mengherankan bila media mainstream pada akhirnya hanya membahas cabang esports yang mainstream saja. Sementara cabang-cabang esports lainnya hanya jadi topik sampingan.

Sebagian penikmat esports yang sudah puas dengan konten tersebut akan pindah ke media mainstream, dan hal itu tak bisa dihindari. Tapi di antara para penikmat esports itu pun akan ada sebagian yang tidak puas. Mereka lapar akan konten mendalam, dan haus akan reportase cabang-cabang esports tertentu yang tidak ada di media mainstream. Mereka tidak hanya ingin mendengar berita tentang event, namun ingin mengenal esports lebih jauh, siapa tokoh-tokohnya, seperti apa game yang dipertandingkan, hingga bagaimana cara kerja industrinya. Mereka ingin ulasan, opini, dan data. Guide, ulasan, atau sejarah. Analisis seperti Core-A Gaming, gosip seperti Lambe Moba, hingga meme seperti Dota Watafak. Serta segudang jenis konten lainnya.

Hal-hal seperti inilah yang, saya rasa, tidak bisa muncul di media mainstream dan akan menjadi alasan para penggemar esports untuk tetap setia pada media khusus esports. Berbagai data sudah menunjukkan bahwa di era modern ini, keinginan masyarakat akan konten panjang (longform) berkualitas tumbuh semakin besar. Sebagai kreator konten kita dituntut untuk terus stand out, menunjukkan keunikan, melakukan spesialisasi dan memiliki karakter. Karena bila tidak demikian maka kita tidak akan bisa bertahan di tengah lautan media yang kini bisa dibuat oleh siapa saja. Improvise, adapt, overcome. Karena memang itu satu-satunya pilihan yang tersedia.

Sumber Gambar: Joe Brady/Top Mid Esports