25 April 2019

by Yoga Wisesa

Pandangan dan Solusi Qualcomm Demi Mendorong Pengembangan Smart City dan IoT di Indonesia

Ketersediaan konektivitas 5G memegang peranan penting di sana.

Saya masih ingat ketika internet of things diangkat sebagai tema utama di pameran IT konsumen beberapa tahun silam. Ketika itu, konsep 'kota pintar' dan IoT tengah menjadi tren di dunia teknologi, dan orang-orang membayangkan segala macam kepraktisan yang bisa dihadirkan olehnya. Namun dilihat dari perspektif ini dan dikomparasi dengan Singapura serta Hong Kong, Indonesia memang tertinggal di belakang.

Tapi keadaan dapat berubah dengan pemanfaatan teknologi yang tepat. Qualcomm Technologies, perusahaan yang telah berkiprah di ranah semikonduktor dan telekomunikasi selama lebih dari tiga dekade, mencoba menawarkan solusi demi membantu Indonesia mewujudkan misi Industri 4.0, termasuk pula pada penerapan internet of things lebih jauh serta pengembangan gagasan kota pintar.

Di acara bertajuk Qualcomm Invention Forum, perusahaan berbagi segala macam hal yang bisa membantu mempercepat tibanya 'zaman inovasi', sembari merangkul pihak pemerintah, developer, operator seluler, hingga integrator sistem untuk saling bekerja sama. Satu aspek krusial dari semua itu adalah konektivitas 5G yang sebentar lagi berada dalam genggaman. Dan kita tahu Qualcomm ialah salah satu pionirnya.

 

5G

Di presentasinya, senior director of business development Qualcomm International Shannedy Ong menyampaikan bahwa durasi peluncuran 5G terbukti jauh lebih cepat dibanding 4G. Dahulu, hanya ada empat operator dan tiga produsen yang segera merangkul 4G begitu teknologi tersedia. Untuk 5G, terhitung ada lebih dari 20 operator dan 20 OEM memberikan dukungannya. Bagi konsumen awam, upgrade ke generasi selanjutnya biasa diaosisasikan dengan lompatan kecepatan akses. Hal ini tidak sepenuhnya keliru, tapi ada banyak aspek esensial lain yang dihidangkan oleh 5G, contoh kecilnya ialah kapasitas lebih besar dan latensi lebih rendah.

Kolaborasi antara Qualcomm, operator dan produsen perangkat memungkinkan direalisasikannya perilisan teknologi 5G di kuartal kedua tahun ini, terutama di wilayah-wilayah seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, Tiongkok, Jepang, Australia dan sejumlah kawasan Asia Tenggara. Tentu saja beragam segmen akan merasakan dampak positifnya: proses manufaktur otomatis, terwujudnya sarana transportasi tanpa pengemudi, medis, keamanan, logistik, pengelolaan energi, dan sudah pasti ia membantu implementasi IoT.

Berdasarkan hasil studi IHS Markit yang diajukan oleh Qualcomm, 5G kabarnya akan mengekspansi ekosistem mobile hingga tercipta industri-industri baru. Sistem ini akan mentenagai ekonomi digital - baik berupa barang maupun jasa - senilai lebih dari US$ 12 trilyun.

 

Smart city dan IoT

Di presentasinya, senior director  Qualcomm Technologies Sanjeet Pandit menjelaskan bahwa smart city dapat terealisasi melalui penggabungan banyak segmen dan vertikal internet of things, di antaranya penerapan IoT di ranah utility monitoring, manufaktur, jaringan sensor dan kamera, tempat tinggal, serta agrikultur. Singkatnya, kota pintar adalah kota-kota yang menyimpan teknologi-teknologi digital di berbagai fungsi.

Smart city harus bisa menopang, mengelola dan mengevolusi diri serta segala layanan di sana dari waktu ke waktu. Mereka juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan warga dan pemerintahnya. Konsep ini diusung agar membuat kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologi lebih berkesinambungan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas penduduk. Gagasan kota pintar juga berguna untuk meminimalkan efek negatif urbanisasi karena teknologi membantu menghemat banyak hal.

Pertanyaan yang kini mungkin muncul adalah, smart city memang memudahkan masyarakat, tapi apakah menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkecimpung di sana? Berdasarkan perhitungan Harbor Research, pemasukan dari implementasinya berpeluang meningkat dari US$ 44 miliar di tahun 2018 menjadi US$ 367 miliar di 2025. Penerapan teknologi terbesar di smart city terletak pada aspek pengawasan lewat kamera, pemanfaatan lampu pintar, pengoptimalan fasilitas dan ruang publik, serta transportasi.

Secara keseluruhan, status adopsi gagasan kota pintar masih cukup belia dan akan mencapai puncaknya di sekitar tahun 2025. Lewat dari tahun 2030, penghasilan dari smart city diperkirakan mencapai US$ 7 triliun.

Ada tiga kategori kota pintar, ditakar dari level kerumitan integrasi teknologi: Tempat seperti St. Petersburg dan Sao Paulo masih disebut sebagai smart city sederhana, memiliki sistem siaga dan alarm, pengawasan, dan otomatisasi mendasar; Seoul, Chicago, Toronto serta Beijing masuk ke golongan menengah; kemudian kota-kota semisal Barcelona, Melbourne, Singapura, Dubai, Hong Kong dan London dianggap sebagai smart city 'kompleks' karena segala sistemnya sudah saling bersinergi.

Satu faktor yang perlu diingat adalah, IoT dan pernak-pernik pendukung kota pintar harus disesuaikan dengan kondisi di lokasi itu. Menurut Sanjeet Pandit, hal-hal yang bisa dilakukan di kota-kota di Amerika kemungkinan besar tidak cocok buat di Indonesia. Dan di sinilah Qualcomm mencoba memberi jawaban lewat 'Smart City in a Box'. Singkatnya, Smart City in a Box merupakan solusi menyeluruh (end-to-end) serta terkustomisasi berisi komponen-komponen internet of things untuk membangun kota pintar.

Namun meski solusi sudah ada, Sanjeet Pandit menyampaikan pada saya bahwa pihak mana pun yang ingin membangun kota pintar perlu terlebih dulu mengidentifikasi masalah yang ingin diselesaikan - apakah kemacetan atau problem di layanan publik. Kendala itu harus bersifat umum, dirasakan oleh setidaknya 70 persen penduduk di tempat tersebut. Baru setelah itu mereka bisa mulai mempersiapkan infrastrukturnya.