4 Pandangan Negatif tentang Game yang Lemah Argumentasinya

Yang seharusnya sudah tak dipakai lagi buat yang mau berpikir.

Consistency is contrary to nature, contrary to life. The only completely consistent people are dead.” – Aldous Huxley

Kontradiksi dan paradoks mungkin adalah elemen yang membuat kita manusiawi. Kita memuja perubahan namun takut dengan hal-hal baru. Teknologi adalah ruang yang biasanya kental dengan kontradiksi itu tadi, termasuk game. Kita selalu ingin disebut logis dan punya akal budi. Namun tak jarang kita malas memelajari hal-hal asing dan memilih untuk menempelkan sejumlah stigma negatif ke sana.

Berbicara mengenai pandangan negatif tentang game, hal ini mungkin memang sudah jadi PR lama bagi para penggiat industri di sini untuk dipecahkan. Mirisnya, tak sedikit juga para gamer yang terbawa arus mainstream tentang stigma negatif tadi dan tidak menyadari realita bagaimana dunia selayaknya berputar.

Karena itu, ijinkan saya kali ini membawa sejumlah paradigma negatif tentang gamer tadi ke tingkat kesadaran; dari perspektif seorang gamer yang terobsesi dengan segala hal yang berbau filsafat.

1. Game Sebagai Candu Hidup

Sumber: Compound Interest

Kecanduan game kalau kata orang-orang di luar sana. Salah satu paradigma negatif paling populer adalah soal game yang bisa menjadi candu bagi kaum muda atau bahkan orang tua sekalipun.

Faktanya, segala hal yang mampu membuat tubuh kita memproduksi dopamin bisa jadi candu bagi hidup kita. Silakan baca artikel ilmiah (PDF) di tautan ini jika Anda ingin belajar lebih jauh tentang dopamin. Namun singkatnya, dopamin adalah hormon yang diproduksi tubuh kita saat kita bahagia atau bisa juga dihasilkan dari obat-obatan.

Bermain game hanyalah satu dari jutaan atau miliaran hal lainnya yang bisa memicu tubuh kita menghasilkan hormon tadi. Buktinya, banyak orang kecanduan media sosial, nonton serial TV (baik itu sinetron lokal, Korea, atau malah Game of Thrones), belanja, bekerja, dan yang lainnnya yang akan terlalu banyak disebutkan di sini semuanya.

Bahkan, ketika kita jatuh cinta, tubuh kita juga akan memproduksi dopamin. Makanya sekarang ada istilah bucin. Buat yang pernah jatuh cinta pasti tahu betul rasanya: tak ingin terpisahkan oleh jarak, ruang, dan waktu, lupa segala-galanya (kalau kata orang jaman generasi saya, serasa dunia milik berdua), ataupun rela menyeberangi lautan, memindahkan gunung, dan mengambilkan bulan untuk sang dambaan hati.

Tidak, saya memang tidak menyangkal bahwa game itu dapat mengakibatkan kecanduan. Namun, nyatanya, ada banyak hal lainnya yang bisa buat kita kecanduan. Apakah segala hal yang bisa membuat kita kecanduan harus dimusnahkan dari dunia ini? Termasuk pekerjaan (karena ada juga yang namanya workaholic) dan perihal asmara?

Naif saja rasanya jika semua hal yang bisa membuat orang bahagia itu harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya... Saya pribadi lebih percaya bahwa membawa candu itu ke tingkat kesadaran dan berpikir bagaimana memanfaatkannya agar jadi bermakna justru jauh lebih realistis, jika tak mau disebut lebih bijak.

2. Game Berbahaya Bagi Kesehatan

Sumber: Pinterest

Di sebuah artikel di Beritagar, ada sebuah cerita tentang orang tua yang menemukan anaknya kejang-kejang dan demam tinggi setelah anak tersebut bermain game di laptop. Anak tadi ternyata memang mengidap epilepsi. Apakah game-nya yang bersalah atas kejang-kejangnya anak tadi?

Coba kalau ceritanya seperti ini, ada anak-anak yang alergi dengan kacang dan ada juga yang alergi dengan kucing. Apakah semua kacang dan kucing itu yang bersalah jika ada anak-anak alergi yang bersentuhan dengan kedua barang itu?

Saya kira banyak orang tua lebih suka mencari kambing hitam lain atas tanggung jawabnya membesarkan buah hatinya. Tak hanya game sebenarnya, internet, musik (tahu soal pemblokiran Bruno Mars dan kawan-kawannya?), sekolah, bahkan presiden pun dibawa-bawa jadi kambing hitam atas ketidakmampuan (atau ketidakmauan) orang tua membagi waktu dan memberikan perhatian lebih ke anak-anaknya.

Saya juga sudah jadi orang tua selama 11 tahun (saat artikel ini ditulis) namun saya tidak akan menyalahkan objek atau orang lain jika anak saya nakal ataupun terjadi sesuatu padanya. Saya dan istri saya yang bertanggung jawab penuh atas apa yang dilakukan dan terjadi pada anak saya, setidaknya sampai dia berumur 18 tahun. Siapa bilang punya anak itu gampang? Eh punya anak memang gampang sih, yang susah adalah mendidik dan membesarkannya.

Credits: Pixar

Ada lagi yang bilang game itu membuat orang jadi malas bergerak, terlalu lama di depan layar jadi buat sakit mata, dan lain sebagainya. Faktanya, manusia itu mungkin memang pemalas dan kemajuan teknologi berhasil mengakomodasi itu lebih jauh dari sebelumnya.

Bayangkan saja jaman sebelum ada mobil. Semua orang harus mau tidak mau berjalan atau mengeluarkan tenaga untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Internet yang memudahkan kita berkomunikasi satu sama lain sehingga bisa pesan makanan ataupun barang-barang lainnya dari ranjang. Apakah teknologinya yang harus dihapuskan supaya kita harus langsing dan berotot lagi? Silakan saja coba sendiri untuk hidup tanpa teknologi modern...

3. Game Memicu Perilaku Kekerasan

Ini satu lagi paradigma negatif yang kerap dilemparkan oleh orang-orang yang takut dengan hal-hal baru. Saya masih ingat jaman saya kecil, orang-orang tua jaman dulu juga menganggap musik rock mengajarkan kekerasan.

Faktanya, tindakan kekerasan dan kriminalitas sudah ada sejak jaman dahulu kala bahkan sebelum manusia bisa mengolah listrik ataupun api. Apakah tindakan kekerasan dan kriminalitas meningkat dengan adanya game? Jika kita mau berpikir, permasalahan kriminalitas adalah masalah yang kompleks dan tak bisa dikaitkan hanya dengan satu faktor saja.

Lagipula, sempit sekali pikiran kita jika hanya karena ada segelintir orang yang mengaku bertindak kejahatan karena game, kita jadi melihatnya sebagai sebuah hubungan sebab akibat yang mutlak. Maksud saya seperti ini, faktanya, ada juga segelintir orang yang mengatasnamakan agama sebagai justifikasi mereka bertindak kekerasan. Apakah agamanya yang salah?

Kecuali untuk seorang psikopat ataupun sosiopat, saya kira semua orang tahu mana yang benar dan salah terlepas dia bermain game atau tidak. Jika sampai ada orang yang tidak sadar bahwa menyakiti orang lain itu salah, saya kira terlalu naif saja jika menganggap satu hobi sebagai kausal utamanya. Karena faktanya, ada miliaran hal di hidup yang menentukan bagaimana cara kita mengambil keputusan dan memperlakukan orang lain.

4. Game Tidak Berguna untuk Mencari Nafkah

Sumber: The Verge

"Mau makan apa kamu jadi gamer?" Mungkin itulah yang sering terlontar dari banyak orang yang berpandangan negatif tentang game. Untuk hal ini, sekali lagi, mungkin memang ada benarnya. Namun, untuk semua hal yang berhubungan dengan karir dan profesionalitas, kita juga tidak akan jadi siapa-siapa kalau kita tak belajar dan berusaha sekuat tenaga.

Misalnya, pekerjaan apa yang menurut Anda paling besar pendapatannya? Pengusaha? Pegawai bank? Progammer? Selebriti? Semuanya punya rumus yang tak jauh berbeda. Pengusaha yang bangkrut itu nyatanya lebih banyak daripada yang sukses. Pegawai bank dan programmer juga karir dan pendapatannya tak akan beranjak naik jika ia bermalas-malasan. Selebriti bahkan bisa hilang begitu saja karirnya dalam waktu singkat jika ia tak mampu menawarkan gaya yang khas.

Di game juga sama saja. Mereka-mereka yang berusaha sekuat tenaga juga bisa bertahan lama dan hidup berkecukupan atau malah berlebihan, tergantung bidangnya. Saya pribadi sudah hidup dan berkarir di industri game Indonesia (khususnya media) sejak 2009.

Industri, apapun itu, memang kejam. Mereka-mereka yang tak bisa belajar dengan cepat dan memberikan nilai unik sebagai seorang profesional, tak akan survive di mana pun mereka berada. Penyebabnya karena memang industri sendiri adalah sebuah kompetisi, saat kita bersaing dengan profesional-profesional lainnya di bidang yang sama.

Besarnya pendapatan industri game dunia di 2018. Sumber: Newzoo

-

Akhirnya, jika kita mau berpikir dewasa atau terbuka (terserah Anda mau pilih diksi yang mana), semua hal yang ada di dunia ini memang punya efek baik dan buruknya masing-masing. Menghilangkan semua hal yang punya pengaruh negatif berarti mengurung diri di kamar tanpa ada interaksi apapun dengan dunia luar. Karena bahkan sekolah (saat mendapatkan guru yang sekadar tak punya pilihan profesi lain), bekerja (ketika karir itu juga faktanya memabukkan), agama (jika dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi), ataupun yang lainnya bisa memberikan efek yang tak positif.

Demikian juga dengan teknologi, game, sosial media, dan segudang hal-hal baru lainnya. Saya lebih percaya dengan apa yang dikatakan oleh Socrates jika, "hidup yang tidak disadari, tidak layak dijalani." Menyadari hal-hal negatif yang mungkin terjadi dari kegiatan bermain game, internet, ataupun yang lainnya memang wajib dilakukan. Namun bagaimana cara mengolahnya menjadi hal-hal positif adalah kunci perjalanan kita sebagai manusia berevolusi sebagai mahluk yang lebih komprehensif.