Belajar dari Jepang, Melirik Peluang Bisnis Data Analytics di Dunia Esports

Apakah peluang yang sama juga tersedia di industri esports Indonesia?

Di tengah perkembangan industri esports global yang pesat, Jepang menjadi negara yang dapat disebut sebagai sebuah anomali. Jepang memang memiliki developer-developer game yang sangat berkualitas, juga memiliki sejarah kompetisi yang panjang di level akar rumput. Tapi bila berbicara esports sebagai sebuah industri, Jepang masih tertinggal cukup jauh.

Ada bermacam-macam alasan yang menjadi hambatan perkembangan ini, namun kendala terbesar justru datang dari pemerintah. Peraturan negara yang ketat tentang perjudian dan periklanan terbukti menyulitkan para organizer untuk menggelar turnamen berskala besar. Peraturan ini berakar dari maraknya bisnis poker di kalangan Yakuza pada tahun 1980an, dan berisi dua poin yang sangat penting: sebuah turnamen tidak boleh menggunakan uang pendaftaran peserta sebagai uang hadiah (pot prize), dan turnamen yang mempromosikan produk tertentu hanya boleh menawarkan hadiah senilai maksimal 100.000 Yen (sekitar Rp12,7 juta).

Aturan tersebut, yang juga berlaku untuk turnamen esports, tentu tidak bisa mendukung pertumbuhan ekosistem esports yang saat ini sudah punya standar tinggi. Untungnya, pemerintah Jepang sudah berubah menjadi lebih fleksibel. Peraturan tersebut telah diubah, dan pada tahun 2018, Jepang akhirnya bisa mengadakan kompetisi esports dengan hadiah mencapai US$300.000 (sekitar Rp4,2 miliar). Kompetisi bernama Tokaigi Game Party Japan itu kini menjadi acara tahunan. Turnamen fighting game terbesar dunia, Evolution Championship Series, kini juga hadir di Jepang secara rutin.

Pertandingan Call of Duty di Tokaigi Game Party Japan 2019 | Sumber: Shiho Fukada/Bloomberg

Tahun 2018 adalah tahun meledaknya esports di Jepang. Perubahan regulasi, pembentukan JeSU (Japan Esports Union), hingga pemberian lisensi profesional kepada para atlet esports benar-benar membuat pertumbuhan esports negeri sakura itu melejit bagai roket. Menurut riset dari Gzbrain, pasar esports Jepang kini memiliki nilai 4,8 miliar Yen (sekitar Rp611,7 miliar), tumbuh 13 kali lipat hanya dalam setahun terakhir.

Industri yang tiba-tiba meledak seperti itu tentu juga memunculkan peluang-peluang bisnis baru. Mike Sheetal, CEO organisasi esportsPlayBrain, berkata bahwa saat ini esports di Jepang sedang memasuki apa yang disebut “opportunity period”. Masa di mana demand layanan industri sangat tinggi namun belum banyak pihak yang menyediakan layanan tersebut. Menurut Sheetal, peluang itu terutama muncul di satu bidang penting, yaitu teknologi siaran.

“Apa yang kita lihat sekarang adalah bahwa muncul demand untuk benar-benar menyajikan pengalaman kelas tinggi, karena banyak pemain industri yang mengira dapat bermain di pasar ini, tapi lalu tiba-tiba mereka sadar bahwa mereka tidak punya pengalaman siaran yang sesuai ekspektasi penggemar. Ini benar-benar merupakan opportunity period di pasar Jepang,” ujarnya dalam wawancara dengan The Esports Observer.

PlayBrain adalah perusahaan creative agency di industri game Jepang | Sumber: The Esports Observer

Beberapa tahun terakhir, standar siaran esports di seluruh dunia memang telah meningkat pesat. Sebuah siaran yang baik tidak sekadar streaming tampilan game yang ditandingkan, tapi juga dapat menampilkan statistik dan berbagai informasi di tengah pertandingan. Kualitas siaran esports sudah mengikuti standar siaran olahraga konvensional, misalnya sepak bola. Dan untuk bisa melakukan hal-hal tersebut secara real-time, dibutuhkan berbagai macam layanan, seperti layanan penyediaan data, visualisasi data, dan lain sebagainya.

Penayangan informasi-informasi menghibur seperti ini disebut oleh Sheetal sebagai “second screen experience”, dan merupakan jenis layanan yang di Jepang masih sangat jarang atau bahkan belum ada. Di sinilah perusahaan-perusahaan teknologi bisa masuk dan merebut pasar esports Jepang yang masih dalam masa pertumbuhan. Mungkin tidak hanya Jepang, tapi di negara-negara lain dengan industri esports yang belum dewasa, misalnya Indonesia.

“Saya rasa negara barat sudah mulai bergerak ke arah advanced analytics untuk para atlet esports. Di Jepang kita belum sampai di level itu, tapi saya rasa itu sesuatu (yang patut diperhatikan). Orang-orang Jepang menyukai informasi. Ini adalah salah satu hal yang akan membantu kita memperoleh lebih banyak insight, tidak hanya dalam hal pengalaman penggemar, tapi juga untuk pengalaman pengembangan para atlet,” ujar Sheetal.

Sumber: The Esports Observer, Gzbrain