Sejarah Epic Games: Lalui 4 Fase yang Berbeda-Beda

Epic Games melalui empat fase. Di masing-masing fase, mereka melakukan perombakan arah bisnis

Epic Games baru saja mendapatkan investasi sebesar US$1 miliar. Dengan ini total nilai perusahaan itu mencapai US$28 miliar, menurut laporan Sky News. Epic terakhir kali mengumpulkan dana pada Juli 2020. Ketika itu, Sony menjadi salah satu investor mereka dengan menanamkan modal sebesar US$250 juta. Fortnite menjadi salah satu game terpopuler buatan Epic. Sejauh ini, jumlah pemain game battle royale tersebut telah mencapai 350 juta oarng. Selain itu, Epic juga dikenal berkat Unreal Engine mereka.

Lalu, bagaimana Epic Games bisa menjadi perusahaan game raksasa seperti sekarang? Tim Sweney, Co-founder Epic Games mengungkap, selama 30 tahun berdiri, Epic Games melalui empat fase.

 

Epic 1.0

Di era Epic 1.0 -- yang berlangsung pada 1991-1997 -- Epic Games bahkan belum menggunakan nama itu. Sweeney mendirikan Potomac Computer Systems (PTC) pada 1991. Ketika itu, dia masih bekerja dari rumah orangtuanya. Game pertama yang PTC rilis adalah ZZT, game action-adventure puzzle yang bisa dimainkan di MS-DOS. Sweeney membutuhkan waktu sembilan bulan untuk menyelesaikan game tersebut. Dia memperkirakan, game tersebut terjual hingga ribuan unit.

ZZT terjual hingga ribuan unit. | Sumber: Wikipedia

PTC berubah menjadi Epic MegaGames pada 1992. Alasan Sweeney mengubah nama perusahaannya adalah karena dia ingin serius mengembangkan bisnisnya. "Saya sadar perlu menggunakan nama yang serius. Dan tercetus ide untuk menggunakan nama "Epic MegaGames' -- agar terlihat seperti perusahaan besar," kata Sweeney, seperti dikutip dari Gamasutra.

Dalam beberapa tahun ke depan, Epic MegaGames merilis beberapa game, seperti Jill the Jungle, Epic Pinball, dan Ken's Labyrinth. Pada 1994, mereka meluncurkan Jazz Jackrabbit, yang didesain oleh Cliff Bleszinski dan Arjan Brussee. Jazz Jackrabbit adalah salah satu gameside-scrolling platformer pertama yang diluncurkan untuk Windows dan Mac.

 

Epic 2.0

Era Epic 2.0 dimulai pada 1998. Di era ini, Epic mulai tumbuh sebagai perusahaan. Jumlah karyawan mereka naik, dari 15 orang menjadi 25 orang. Mereka juga mulai menyadari, untuk bisa menggaji semua karyawan mereka, mereka perlu membuat game yang lebih besar. Mereka lalu bekerja sama dengan GT Interactive sebagai publisher.

Pada 1998, Epic MegaGames meluncurkan Unreal, game 3D first-person shooter yang mereka kembangkan bersama dengan Digital Extremes. GT Interactive menjadi publisher dari game tersebut. Di tahun yang sama, Epic juga mulai menjual lisensi dari Unreal Engine ke developer-developer game lain. Satu tahun kemudian, Epic MegaGames kembali berubah nama, menjadi Epic Games. Bersamaan dengan itu, Epic pindah markas ke North Carolina. Masih pada 1999, Epic meluncurkan game Unreal Tournament. Sama seperti game Unreal pertama, Unreal Tournament dikembangkan dengan bantuan Digital Extremes dan dirilis oleh GT Interactive. Hanya saja, Unreal Tournament lebih fokus pada fitur multiplayer.

Unreal Tournament fokus pada fitur multiplayer. | Sumber: Steam

"Era Epic 2.0 berakhir karena maraknya pembajakan game PC. Menjual game single-player ketika itu hampir mustahil," kata Sweeney, menurut laporan Polygon. "Ketika itu, kami memperkirakan, untuk setiap orang yang membeli game kami, ada empat orang yang memilih untuk memainkan versi bajakan."

 

Epic 3.0

Epic memasuki era Epic 3.0 pada 2006. Fokus mereka pun berubah: dari membuat game untuk PC menjadi game untuk konsol. Di tahun 2006, Epic juga meluncurkan game shooter, Gears of War, untuk Xbox 360 dan PC. Microsoft Game Studios menjadi publisher dari game tersebut. Gears of War begitu sukses sehingga Epic memutuskan untuk membuat dua sekuel dari game itu. Berkat kesuksesan Gears of War, komunitas gamer konsol mulai mengenal Unreal, baik sebagai game engine maupun franchise game.

Pada Desember 2010, Epic meluncurkan Infinity Blade. Game action RPG ini dikembangkan oleh Epic dengan bantuan Chair Entertainment. Game ini merupakan game iOS pertama yang menggunakan Unreal Engine. Infinity Blade dibuat dengan tujuan untuk memamerkan versi terbaru dari Unreal Engine di iOS. Dan game tersebut sangat populer. Hanya dalam waktu empat hari sejak diluncurkan, Infinity Blade berhasil mendapatkan US$1,6 juta. Pada akhir 2011, total pemasukan untuk game ini mencapai US$23 juta.

Satu tahun kemudian, pada 2011, Epic meluncurkan Bulletstorm, yang dibuat bersama  dengan People Can Fly, studio game dari Polandia. Bulletstorm dirilis oleh Electronic Arts untuk PlayStation 3, Xbox 360, dan PC. Pada Agustus 2012, Epic membeli People Can Fly, yang kemudian turut mengerjakan Gears of War: Judgment. Masih pada 2011, Epic mengumumkan keberadaan Fortnite. Ketika itu, game tersebut hanyalah multiplayer survival game yang terinspirasi dari game jam internal di Epic.

Biaya produksi Gears of War 3 sudah jauh lebih besar dari game original-nya. | Sumber: Microsoft

Era Epic 3.0 berakhir karena biaya pembuatan game yang terus naik. Sebagai ilustrasi, biaya produksi game Gears of War pertama adalah US$12 juta. Sementara biaya produksi dari Gears of War 3 memakan biaya 4-5 kali lipat dari game pertama.

"Kami memperkirakan, jika kami tetap membuat Gears of War 4, biaya yang kami perlukan akan mencapai lebih dari US$100 juta. Jika game itu sukses, kami akan bisa balik modal. Namun, jika tidak, kami justru bisa bankrut," cerita Sweeney. Hal inilah yang mendorong Epic untuk mengubah model bisnis mereka. Faktor lain yang membuat Epic tertarik untuk mengganti model bisnis mereka adalah masalah pada versi multiplayer di Gears of War: Judgment.

Sweeney menjelaskan, Epic lalu membahas rencana mereka dengan Microsoft. Namun, Microsoft tidak setuju dengan mereka. Pasalnya, apa yang ingin Epic lakukan tidak sesuai dengan rencana Microsoft. Ketika itu, Sweeney sadar bahwa publisher justru bisa menjadi penghalang bagi developer. Pada saat yang sama, Epic mulai sadar bahwa salah satu proyek mereka, Fortnite -- yang awalnya dibuat sebagai game indie kecil-kecilan -- bisa menjadi populer jika Epic menggunakan model bisnis free-to-play untuk game itu.

 

Epic 4.0

Pada akhir era Epic 3.0, Epic mulai menyadari bahwa game-game populer adalah live game yang kontennya terus mendapatkan update dan bukannya game AAA. Mereka pun sadar, mereka harus mengubah model bisnis mereka.

"Kami mulai berubah dari developer dengan fokus sempit pada konsol menjadi developer yang fokus pada game multiplatform dan menjadi publisher dari game kami sendiri," ujar Sweeney. Hanya saja, untuk berubah, Epic akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Jadi, kami membuat keputusan yang gila. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Epic, kami mengajak investor dari luar, yaitu Tencent."

Pada Juni 2012, Tencent mengeluarkan US$330 juta untuk membeli 48% saham Epic. Selain saham, Tencent juga mendapatkan hak untuk memilih dua orang dari tujuh anggota dewan direksi Epic. Namun, Tencent tidak akan mencampuri urusan pembuatan game. Keputusan Tencent ini sesuai dengan modus operandi perusahaan Tiongkok tersebut. Dengan pembelian saham Epic oleh Tencent, era Epic 4.0 pun dimulai. Di fase ini, Epic kembali fokus membuat game PC.

Setiap Epic berevolusi, Sweeney menyebutkan, mereka selalu mencari rekan yang bisa membantu mereka melakukan hal-hal yang mereka tidak bisa lakukan. Tak terkecuali Tencent. Menurut Sweeney, Tencent adalah rekan yang cocok untuk Epic. Alasannya, Tencent tidak hanya sukses untuk menjadi publisher nomor satu di Tiongkok, mereka juga sangat ahli dalam mengoperasikan live game.

"Tencent bukan developer game," kata Sweeney. "Namun, mereka ahli dalam mengoperasikan game dalam skala besar dan menarik hati para konsumen. Dan kami sadar, mereka punya visi dan misi yang mirip dengan kami sehingga kami bisa belajar banyak dari mereka."

 

Game-Game yang Merefleksikan Era Epic 4.0

Sweeney merasa, karakteristik dari setiap fase yang Epic lewati tercermin dalam game-game yang mereka buat di era tersebut. Dua game yang mencerminkan karakteristik fase Epic 4.0 adalah Paragon dan Fortnite. Kesamaan dari kedua game itu adalah dua-duanya diluncurkan dalam keadaan tidak sempurna. Tujuannya, agar para gamer bisa memainkan game-game tersebut secepat mungkin dan memberikan masukan serta saran pada Epic.

Paragon merupakan MOBA dengan sudut pandang orang ketiga. | Sumber: VentureBeat

"Kami tahu bahwa komunitas gamer akan selalu lebih besar dari tim kami," kata John Wasilczyk, yang pindah ke Epic setelah bekerja selama dua tahun di Infinity Ward, mengembangkan game-game Call of Duty. "Jadi, kami berusaha untuk mendekatkan diri dengan mereka secepat mungkin. Hal itu berarti, kami merilis fitur baru bahkan sebelum ia sempurna. Dan jika komunitas merasa fitur itu tidak perlu, kami tidak akan menyempurnakan fitur tersebut. Dengan begitu, kami bisa menghemat waktu."

Pada awalnya, Epic hendak meluncurkan Fortnite di Xbox. Namun, mereka sadar, Fortnite bisa dibuat menjadi live game yang terus mendapatkan update dari waktu ke waktu. Darren Sugg, Lead Designers dari Fortnite menjelaskan bahwa Fortnite merupakan percobaan untuk Epic. Game itu bertumbuh seiring dengan pertumbuhan ambisi Epic. Dia merasa tidak ada yang salah dengan itu. Menurutnya, di era modern seperti sekarang, tidak ada kata tamat untuk game online. Ke depan, sebuah game online masih akan terus tumbuh, menjadi lebih sempurna dengan fitur yang lebih banyak.

"Saya rasa, kebanyakan game online tidak akan tamat, selama kita masih bisa merilis update dan para pemain masih tertarik untuk memainkan game itu," ujar Sugg. "Kami akan terus mendukung Fortnite selama masih ada orang yang memainkan game tersebut."

 

Unreal Engine

Epic tidak hanya dikenal sebagai developer game. Mereka juga dikenal berkat Unreal Engine. Engine itu pertama kali digunakan pada game Unreal, yang dirilis pada 1998. Walau pada awalnya Unreal digunakan untuk membuat game FPS, engine itu bisa digunakan untuk mengembangkan game dari berbagai genre, mulai dari platformer, MMORPG, sampai fighting.

Pada awalnya, Epic menjual lisensi penggunaan Unreal Engine. Namun, pada 2015, mereka membiarkan Unreal Engine diunduh secara gratis. Sebagai gantinya, mereka menggunakan model bisnis royalti. Dengan model bisnis ini, Epic akan mendapatkan 5% dari total penjualan game yang menggunakan Unreal Engine. Keputusan Epic untuk menggratiskan Unreal Engine berbuah manis. Setelah Unreal Engine bisa digunakan secara gratis, ada semakin banyak developer yang tertarik menggunakan engine tersebut.

"Dulu, komunitas Unreal Engine sangat terbatas. Para developers AAA menggunakan engine kami untuk membuat game besar dan kami mengenal mereka semua. Ternyata, ada banyak developer indie berbakat -- yang punya pengalaman dalam membuat game AAA atau baru pertama kali membuat game -- yang juga tertarik dengan Unreal Engine. Dan mereka bisa membuat sesuatu yang hebat yang tidak pernah terpikirkan oleh kami," ujar Sweeney.

Ke depan, Epic juga ingin mempromosikan Unreal Engine ke industri lain di luar gaming. Sweeney menyebutkan, Unreal Engine juga bisa digunakan di industri arsitektur, desain kendaraan, pembuatan film, dan lain sebagainya.