Sejarah Esports: Evolusi Laga Adu Skor Jadi Ajang Kompetisi Global

Sejarah esports terbentang dari awal tahun 1970an hingga sekarang. Bermula sebagai laga adu skor, kini game telah menjadi ajang kompetisi global.

Esports jadi satu fenomena besar yang menarik mata banyak pihak. Investor dan pelaku bisnis berlomba-lomba menjajaki industri baru yang menggiurkan ini. Para gamers jelas tidak mau ketinggalan, menjadi yang terhebat demi mendapat hadiah ratusan juta dolar.

Mendapat uang dari bermain game memang adalah fenomena baru. Jika kita melihat beberapa dekade ke belakang, boro-boro mendapat uang, yang ada kita dimarahi orang tua jika bermain game terlalu banyak. Bahkan saat Counter-Strike mulai populer dan menjadi kompetisi di awal tahun 2000an saja, belum ada karir untuk bermain game, istilah esports pun masih jarang terdengar.

Lalu dari mana mulainya esports? Sejak kapan ini menjadi suatu peluang ekonomi yang menjanjikan? berikut sejarah perkembangan esports.

Dimulai dari Spacewar dan Space Invader

Jika ingin menelusuri secara lebih jauh, budaya berkompetisi di video game sudah dimulai sejak tahun 1970, masa yang bisa disebut awal dekade industri video game. Jangankan teknologi internet, komputer pada zaman itu saja masih sangat purba yang punya kemampuan komputasi yang sangat lemah.

Pada zaman itu komputer masih menjadi barang mewah, tidak semua orang punya akses terhadap teknologi tersebut. Sementara itu video game biasanya menjadi pengisi waktu luang para pegawai korporat, ataupun akademisi, karena komputer biasanya hanya ada di perkantoran atau laboratorium belajar universitas.

Semua dimulai pada Oktober 1972. Mengutip dari Kotaku, 19 Oktober 1972 disebut sebagai turnamen video game pertama di dunia. Universitas Stanford menjadi saksi bisu atas kejadian bersejarah ini, ketika para mahasiswa ilmu komputer bertanding video game Spacewar. Tidak ada hadiah ratusan juta dolar AS, para mahasiswa bertanding dalam kompetisi bertajuk Intergalatic Spacewar Olympic, hanya untuk mendapatkan paket langganan majalah Rolling Stone selama satu tahun.

Potret turnamen space Invader yang diadakan oleh Atari pada tahun 80an. Sumber: Reddit

Game yang dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology, ini memang favorit di masa itu. Spacewar sudah dimainkan seantero laboratorium komputer Universitas di Amerika Serikat dan Kanada selama 11 tahun lamanya. Seorang lulusan Stanford menceritakan kepada Kotaku, bahwa pada masa itu para teknisi komputer bisa terpaku ke layar Cathode Ray Tube (CRT) selama berjam-jam, memainkan game ini di malam hari usai mereka kerja.

Setelah dari itu, 8 tahun kemudian, Atari melaksanakan turnamen Space Invaders. Spacewar tercatat sebagai turnamen video game pertama di dunia, sementara Space Invaders Championship tercatat sebagai turnamen video game skala besar pertama di dunia. Rilis tahun 1978, Space Invader merupakan salah satu game terpopuler di masa itu, ketika game hanya bisa dimainkan di mesin Arcade atau tempat yang kita kenal sebagai 'ding-dong'. Turnamen ini berhasil menarik perhatian banyak gamers, diikuti oleh 10 ribu lebih peserta, dan membuat bermain video game jadi hobi arus utama.

Kendati turnamen game sudah mulai marak pada masa itu, tapi jangan bayangkan ini sebagai pertandingan satu lawan satu. Kebanyakan game di zaman itu bersifat Single-Player. Lalu bagaimana game single-player bisa dipertandingkan? Jawabannya tentu saja dengan membandingkan skor yang bisa didapatkan antar pemain.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal di zaman sekarang, ketika game multiplayer (baik online atau offline) sudah menjadi budaya yang umum. Namun demikian perebutan skor tertinggi menjadi satu ajang unjuk gigi terbaik pada masa itu.

Satu bukti popularitas turnamen video game di Amerika Serikat zaman itu adalah terciptanya Twin Galaxies, organisasi yang bekerja mencatat rekor skor tertinggi dari para pemain, yang dibentuk oleh seorang pengusaha bernama Walter Day.

Billy Mitchell, pencetak skor tertinggi untuk jajaran game Nintendo terpopuler pada tahun 80an. Sumber: VentureBeat

Satu yang membuat usaha Walter Day begitu terasa ketika itu adalah usahanya untuk menyetor catatan tersebut kepada Guinness World Records. Karena Guinness World Records mencatat semua rekor yang bisa dicapai oleh manusia, kehadiran Twin Galaxies berperan membawa budaya gaming menjadi mainstream di Amerika Serikat.

Berkat Twin Galaxies, masyarakat awam jadi bisa kenal Billy Mitchell, gamers yang mencatatkan rekor skor tertinggi pada game Pac-Man, Ms. Pac-Man, Donkey Kong, Donkey Kong, Jr., Centipede, dan Burger Time, yang membuatnya masuk dalam buku Guinness World Records di tahun 1985.

Pada tahun 80an, fenomena turnamen video game tidak hanya jadi monopoli Amerika Serikat saja. Pasalnya pada tahun itu Indonesia juga sudah kenal turnamen video game. Bukti akan hal tersebut mencuat lewat sebuah foto yang diunggah seorang pengguna media sosial.

Foto itu menggambarkan suasana keramaian di tangga suatu bangunan, dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta lomba Nintendo tingkat Jatim 1989, di THR Surabaya Mall.”

Memang pada tahun itu, Nintendo sedang melakukan promosi lewat kompetisi. Tahun itu ada Nintendo Challenge Championship, dan satu tahun setelahnya ada Nintendo World Championship di tahun 1990. Tetapi, dua helatan akbar konsol asal Jepang itu diadakan di Amerika Serikat.

Sampai saat ini belum ada satu media pun yang membahas lebih lanjut soal foto lomba Nintendo tingkat Jatim tadi ataupun dokumentasi yang lebih detail. Akhir tahun 80an menutup satu lembar sejarah esports dan melanjutkan kita ke era berikutnya di tahun 90an.

Kemunculan Street Fighter II dan Munculnya Laga Digital 1 lawan 1

Awal tahun 1990 membuka babak baru dari perkembangan esports. Setelah kurang lebih satu dekade adu kemampuan main game hanya bisa ditakar dari skor, tahun 90an memberikan gamers cara baru dalam menentukan siapa yang terbaik, yaitu lewat laga digital satu lawan satu. Ini terjadi berkat Capcom, yang merilis mesin Arcade berjudul Street Fighter II: The World Warrior pada tahun 1991.

Dalam artikel Hybrid yang ditulis oleh Ayyub Mustofa membahas soal sejarah fighting games, dikatakan bahwa fighting games pada masa itu biasanya hanya melawan komputer saja. Tapi Street Fighter II merevolusi semua itu dengan menciptakan sistem permainan player vs player. Sontak Street Fighter II menjadi favorit pemain Arcade.

Menurut catatan dari Gamerevolution, Street Fighter II diperkirakan mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar AS (sekitar Rp153 triliun), dengan total 200.000 mesin arcade, dan 15 juta unit software terjual di seluruh dunia.

Banyaknya jumlah pemain Street Fighter II menciptakan budaya kompetitif di kalangan para pemain. Orang jadi berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik, karena ada harga diri, uang, dan waktu yang dipertaruhkan oleh pemainnya ketika bermain Street Fighter II di tempat Arcade. Walhasil budaya kompetitif ini menyebar dengan liar namun belum ada tempat yang mewadahi hasrat kompetitif ini pada masa itu.

Sampai pada akhirnya terciptalah cikal bakal kompetisi fighting games terakbar di dunia, Evolution Championship Series. Kompetisi ini digagas oleh empat sekawan dengan nama awal Battle by the Bay, yang diciptakan tahun 1996. Empat sekawan itu adalah Tom Cannon (inkblot) dan Tonny Cannon (Ponder) yang dikenal sebagai Cannon bersaudara, Joey Cuellar (MrWizard), dan Seth Killian (S-Kill).

Battle by the Bay tercipta sebagai cara bagi para pemain untuk menentukan siapa yang terbaik. Di Amerika Serikat pada zaman tersebut, ketika internet baru mulai ada, pusat dari persaingan Street Fighter berada di daerah California. Tom Cannon sendiri berkuliah di North California (NorCal), yang menjadi tempat kompetisi Street Fighter paling panas pada masanya.

Potret keseruan turnamen fighting game pada awal-awal perkembangannya. Sumber: Kotaku.com

Belum lagi ketika itu juga ada rivalitas antar kelompok, terutama antara pemain NorCal dengan pemain SoCal (South California). Masing-masing pemain ini bisa saja asal klaim bahwa dirinya yang terbaik, karena belum ada satu kompetisi yang menjadi penentu hal tersebut. Sampai akhirnya Battle by the Bay tercipta, untuk menjadi penentu, siapa pemain Street Fighter terbaik seantero pantai California.

Selain kelahiran ajang adu kemampuan satu lawan satu, periode ini juga menandai penggunaan internet dan komputer yang semakin umum di masyarakat. Ini kembali mengevolusi cara orang berkompetisi dalam video game. Selain Street Fighter, game lain yang juga jadi ikon awal tahun 90an adalah Doom.

Game ini segera menuai kesuksesan, yang dikabarkan berhasil mendapatkan penjualan sebesar US$100.000 setiap harinya. Namun game ini menjadi kontroversi karena kekerasan yang dihadirkan. Kehadiran Doom jadi pembuka bagi genre FPS yang membombardir pecinta game di periode ini.

Doom menginspirasi kehadiran Quake, dan Half-Life. Pada akhir 90an, tepatnya pada 1999. Half-Life 2 juga menjadi basis custom-game FPS yang masih eksis hingga saat ini, Counter-Strike. Di Amerika Serikat, Quake menjadi fenomena kompetisi game komputer, karena mode multiplayer yang variatif.

QuakeCon pertama yang digelar Agustus 1996 menjadi penanda munculnya Quake sebagai satu pertandingan game yang digandrungi oleh banyak gamers. Acara tersebut berawal sebagai gathering komunitas, namun berkembang menjadi satu ajang kompetisi Quake paling bergengsi pada masanya.

Setelah laga adu skor, Street Fighter, dan Quake terjadi di Amerika Serikat, perkembangan esports berikutnya membawa kita ke Timur, ke negeri ginseng, Korea Selatan.

Cikal Bakal Esports Menjadi Fenomena Global Dari Korea Selatan

Selain Amerika Serikat, Korea Selatan bisa dibilang menjadi kiblat perkembangan esports lainnya. Bagi Korea Selatan, awal mula semua itu adalah ketika terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997. Menanggapi keadaan itu, pemerintah Korea Selatan fokus melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan internet.

Dampak hal tersebut adalah komunitas gamers yang berkembang pesat, karena PC bang (sebutan untuk warnet di Korsel) menggunakan koneksi internet baru yang lebih cepat sehingga menyedot perhatian para gamers untuk main game online. PC bang akhirnya bertindak seperti lapangan kosong yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola, entah untuk sekadar bersenang-senang, atau uji kemampuan.

StarCraft, game besutan Blizzard jadi sangat populer di Korea Selatan sana. Ditambah lagi, pemerintah juga mendukung dan berinvestasi terhadap industri baru ini. Pemerintah Korea Selatan menciptakan Korea E-Sports Association (KeSPA) pada tahun 2000, semakin mendorong perkembangan esports di sana.

Sumber: DotEsports

“14 tahun lalu, dengan dukungan pemerintah, turnamen diselenggarakan secara profesional, dan gelaran ditayangkan di televisi, wajar jika esports menjadi mainstream di sana. Layaknya sepak bola jadi olahraga yang diterima masyarakat secara umum.” Ucap Jonathan Beales, seorang komentator esports kepada New York Times pada artikel terbitan tahun 2014 lalu.

Tak hanya game komputer saja, Street Fighter 2 dan komunitas fighting game juga terus berkembang di masa awal 2000an, walau tren mesin Arcade sudah mulai tergantikan konsol. Periode awal 2000an menjadi momen besar bagi komunitas fighting game, ketika kompetisi mereka tak lagi lokal, tapi menjadi ajang unjuk kemampuan internasional.

Turnamen besutan Capcom yang mempertemukan jagoan barat, Alex Valle, dengan jagoan timur, Daigo Umehara, berhasil menjadi katalis perkembangan esports fighting game. Alhasil Battle by the Bay tahun 2001 kedatangan banyak pemain dari Jepang. Perkembangan ini membuat Battle by the Bay berubah nama menjadi EVO di tahun 2002.

Lalu, awal tahun 2000 juga menjadi momen saat Counter-Strike hadir dan menjadi fenomena global. Pada masa ini Indonesia juga turut mencicipi perkembangan tersebut, dan menjadi salah satu yang berpengaruh di dalam perjalanan sejarah esports.

Ini semua karena World Cyber Games. Kompetisi yang digagas oleh pengusaha Korea bernama Yoseeop Oh, dan didukung secara finansial oleh Samsung itu, berhasil menjadi ikon esports sebagai kompetisi global karena diikuti peserta dari 55 negara.

Kualifikasi menuju panggung dunia WCG mulai hadir di Indonesia pada tahun 2002. Puncak prestasi Indonesia dalam gelaran ini adalah pada tahun 2003, ketika tim XCN berhasil mencapai babak Semi-Final. Walau akhirnya terhenti oleh tim asal Denmark, namun mencapai peringkat top 8 dalam turnamen internasional adalah pencapaian besar bagi Indonesia.

Lompat beberapa tahun ke depan, periode awal 2010 menjadi cikal bakal dari dua turnamen yang jadi fenomena besar dalam perkembangan esports. Riot Games mengadakan turnamen bertajuk Season One Championship pada 2011, yang menjadi cikal bakal LoL Worlds, ajang esports terbesar di dunia yang ditonton oleh 21,8 juta orang pada tahun 2019 lalu.

Pada tahun yang sama, Valve juga mengadakan The International. Ini merupakan turnamen tingkat dunia pertama bagi Dota 2, versi standalone dari custom-game Warcraft terpopuler, Defense of the Ancient. The International juga menjadi fenomena besar bagi dunia esports. Dengan total hadiah sebesar 10,9 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp154 miliar), gelaran ini berhasil mencetak rekor sebagai turnamen game dengan hadiah terbesar di tahun 2013.

Berkat sistem crowdfunding yang diterapkan, The International terus memecahkan rekor total hadiah di skena esports setiap tahunnya sejak tahun 2013. Terakhir kali, The International 2019 bahkan memiliki total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp523 miliar).

Mobile Games Sebagai Tren Baru dan Dominasi Indonesia di Peta Persaingan Esports Global

Ketika kita mengira bahwa perkembangan esports akan stagnan, ternyata esports memasuki babak baru lagi pada tahun 2014. Perkembangan ini didorong oleh sekelompok pengembang berpengalaman yang ingin mendorong teknologi mobile lebih jauh lagi. Di bawah perusahaan bernama Super Evil Megacorp (SEMC), Vainglory diluncurkan pada November tahun 2014 lewat sesi presentasi teknologi API grafis bernama Metal untuk iPhone 6.

Pada masa itu, Vainglory bisa dibilang menjadi pionir MOBA untuk mobile. Walau mereka bukan yang pertama, namun SEMC menjadi pengembang pertama yang berhasil menciptakan MOBA di mobile secara sempurna, dan punya konsep 3v3 yang unik. Setelah melalui fase beta, game ini ternyata diterima dengan sangat baik, dan berhasil mencatatkan 1,5 juta pemain aktif bulanan.

Vainglory pada masa itu juga menjadi pionir esports mobile game tingkat global. Tahun 2015 mereka menyelenggarakan Vainglory World Invitational yang cuma diikuti oleh 8 tim saja. Sukses di tahun pertama, gelaran ini berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 2016 dengan jumlah tim peserta dan perwakilan negara yang lebih banyak.

Vainglory Worlds 2017, menjadi gelaran dunia terakhir dari Vainglory. Source: redbull.com

Sayang Vainglory malah meredup di tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, Indonesia diwakili oleh Elite8 mengikuti Vainglory World Championship 2017. Berbarengan dengan itu, Vainglory merilis mode 5v5, namun perkembangan Vainglory setelah itu malah terhambat yang diikuti dengan berbagai masalah yang membuat skena esportsgame ini jadi menurun.

Tahun 2017, kompetisi menjadi MOBA di mobile paling populer kedatangan pendatang baru. Dibesut pengembang asal Tiongkok, Moonton, Mobile Legends menjadi fenomena baru di Indonesia. Berbarengan dengan panasnya esports Vainglory lewat gelaran Indonesia Games Championship, Mobile Legends juga menunjukkan taringnya lewat gelaran Mobile Legends SEA Cup 2017.

MSC ketika itu bisa dibilang menjadi salah satu gelaran esports dengan jumlah penonton terbanyak. Berhasil membuat venue gelaran Grand Final, Mall Taman Anggrek, jadi penuh sesak sembari menunjukkan potensi skena esports bagi Mobile Legends: Bang-Bang.

Pada tahun berikutnya PUBG Mobile rilis. Game ini juga mendapat penerimaan yang baik secara global, dengan total pemain lebih dari 200 juta orang dan jumlah pemain aktif mencapai 30 juta orang per bulan di tahun yang sama dengan tahun perilisan. Dibesut oleh Tencent, PUBG Mobile segera mendapat kompetisinya tersendiri di skena lokal lewat PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC 2018).

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Masih di tahun 2018, Mobile Legends memulai liga profesionalnya di Indonesia yang bertajuk Mobile Legends Professional League (MPL ID Season 1). Kompetisi tersebut segera mendapatkan penerimaan yang sangat baik sampai akhirnya sistem kompetisi diubah jadi franchise model pada tahun 2019.

Tahun 2019 saat esportsmobile games menjadi semakin umum, membuat Indonesia banyak memetik buah prestasi dari hal ini. Pada tahun itu Bigetron RA menjadi juara dunia kancah PUBG Mobile lewat gelaran PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019. ONIC Esports menjadi tim terkuat di Asia Tenggara lewat gelaran Mobile Legends Southeast Asia Cup 2019, dan terakhir ada EVOS Esports yang menjadi juara dunia Mobile Legends pertama lewat gelaran M1 World Championship.


Esports berhasil menjadi industri yang berkembang berbarengan dengan perkembangan teknologi. Ini belum menjadi akhir dari perkembangan esports. Bahkan untuk saat ini saja, esportsmobile games masih belum menemukan bentuk terbaiknya, karena popularitasnya yang masih terpusat di daerah Asia saja.

Di masa depan, mungkin akan muncul evolusi baru lagi dari esports, yang hadir lewat teknologi terbaru. Mungkin bisa saja teknologi virtual reality dan augmented reality mungkin akan menjadi evolusi berikutnya dari esports. Satu hal yang pasti, di dunia digital yang terus berkembang ini, kita dituntut harus cepat beradaptasi dengan zaman agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.