Utilisasi Data Bantu Chickin Efisiensikan Peternak Unggas
Didirikan pada 2018, berambisi menjadi pemain e-commerce B2B khusus daging ayam di Indonesia
Meski banyak tantangan, sektor agrikultur menjadi area potensial berikutnya yang belakangan ini mulai digenjot dengan berbagai inovasi baru berbasis teknologi. Pada umumnya, dengan merangkul teknologi digital bakal berdampak pada upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi, profitabilitas, serta mengurangi risiko penyakit.
Adopsi teknologi baru harus dilakukan secara masif dan menjadi kebiasaan baru bagi para petani/peternak misalnya, jika mereka ingin tetap bertahan hidup, tetap relevan, dan kompetitif di industri yang menantang, yang mana harga input melonjak dan penyakit terus mengancam bisnis mereka. Chickin menjadi salah satu pemain agritech yang mencoba menyelesaikan isu tersebut, dimulai dari industri budidaya unggas.
Tiga orang kawan, yang terdiri dari Ashab Al Kahfi, Tubagus Syailendra, dan Ahmad Syaifulloh, memantapkan diri sebagai peternak unggas sebelum akhirnya merintis Chickin pada 2018 di Klaten, Jawa Tengah.
“Kami memahami betul permasalahan di industri ini. Dari situ kita mencari pain point dari upstream hingga downstream. Berniat sekali untuk membantu menjaga ketahanan pangan di Indonesia yang masih mengonsumsi daging dengan indeks protein hewani terendah di Asia Tenggara dan masalah supply demand yang highly fragmented,” terang Co-founder & CEO Chickin Tubagus Syailendra.
Menurutnya, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting yang membantu mengatasi permasalahan di lapangan. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa. Terlebih itu, adopsi teknologi sangat penting bagi peternak karena burung itu sangat rentan terhadap risiko penyakit. “Forecasting di supply chain dapat membantu proses matchmaking antara supply dan demand.”
Isu lainnya yang turut menjadi perhatian adalah indeks konsumsi daging protein hewani yang masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.
“Ini jadi masalah besar. Di Indonesia potensinya besar tapi masyarakatnya tidak bisa makan dengan harga dan kualitas yang oke. Lalu masih centralize juga, di luar Pulau Jawa banyak orang belum bisa makai daging karena aksesnya sulit. Di lihat dari uniqueness, daging certified terbesar itu adalah ayam. Banyak yang jual ayam di sini dan yang terpenting banyak momentum hari raya yang membuat ayam jadi komoditas di acara tertentu mendadak tinggi.”
Welcome to Premium Content
Become a DailySocial.id Subscription, you can get unlimited access to discover the best minds of innovation and to perceive the finest tech journalism products in Indonesia. Learn more
Single Article
Access anytime, only this article.
Starting at
Rp 7,000 /article
Subscription
Unlimited access premium content.
Starting at
Rp 150,000 /month
Login or create account to access premium content

Sign up for our
newsletter