Alexander Rusli Uraikan Potensi Fintech dan Rencana Ekspansi Digiasia
Peluang pasar masih sangat besar, dan pemahaman pelaku B2B terhadap layanan fintech semakin matang
Co-Founder dan Co-CEO Digiasia Alexander Rusli bicara tentang perkembangan pasar fintech, aksi melantai di bursa saham AS, hingga peran gandanya sebagai angle investor.
Berbincang dengan DailySocial.id, pria yang karib disapa Alex ini melihat potensi pasar Fintech-as-a-Service (FaaS) masih sangat besar seiring dengan semakin matangnya (maturity) pemahaman industri terhadap layanan fintech. Berbeda dengan tiga tahun lalu, saat industri belum memahami bagaimana fintech bisa relevan bagi bisnis B2B. Meningkatnya pemahaman ini juga membuat penjajakan sinergi/kolaborasi menjadi lebih mudah.
Sepanjang 2022, ujarnya, pertumbuhan bisnis Digiasia banyak dimotori oleh sektor fintech, terutama P2P lending. Menurutnya, kebutuhan pelaku fintech mulai meningkat agar mereka bisa lebih fokus mengelola bisnis inti, dan tidak perlu repot untuk mengajukan lisensi baru.
Selain perusahaan fintech, pihaknya juga mulai banyak masuk ke lembaga keuangan konvensional, seperti bank daerah. Ia berujar ke depannya persaingan tidak hanya terjadi pada pemain independen, tetapi juga bank-bank besar yang sudah masuk ke produk Banking-as-a-Service (BaaS).
Saat ini, Alex menyebut pihaknya tengah mengurus lisensi untuk produk payment gateway Syariah dan wallet Syariah. "Belum live, lagi diurus di BI. Kami selalu lihat pain point, kebutuhannya apa. Pada akhirnya, [kebutuhan] orang semakin disiplin, pasti akan ke sana [produk Syariah]," ujarnya kepada DailySocial.id.
Sebagai informasi, Digiasia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Saat ini, pihaknya menawarkan sejumlah solusi keuangan digital dengan lisensi wallet, lending channeling, remittance, hingga LKD.
Terbaru, Digiasia berencana go public melalui kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Dengan mekanisme ini, penilaian pra-ekuitas lewat transaksi penggabungan kedua perusahaan ini ditarget sebesar $500 juta. Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) sebagai pemegang saham Digiasia akan menggulirkan 100% dari ekuitasnya menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi.
"Kami pilih IPO di AS karena [likuiditas] uang di sana banyak, di sini lagi [susah], makanya ada tech winter. SPAC sudah di-set up seperti itu. Target realisasi IPO di kuartal II 2023, tetapi itu tergantung SEC approval. Di sana peraturah lebih jelas. Semua lebih eksplisit," tuturnya.
Alex menambahkan, modal ini akan dimanfaatkan untuk memuluskan rencana ekspansi Digiasia ke Asia Tenggara. Rencananya, perusahaan akan mencaplok perusahaan sejenis di negara terkait untuk mempermudah lisensi dan komersialisasi layanan. Lisensi yang dimiliki perusahaan mitra tidak harus sama dengan Digiasia.
Peran sebagai investor
Alex juga membeberkan pengalamannya sebagai angel investor yang dilakoni sejak beberapa tahun terakhir. Ia aktif berinvestasi ke berbagai startup tahap awal. Portofolionya sekarang ada 31, termasuk Digiasia yang ia dirikan bersama Prashant Gokarn, sesama eks petinggi Indosat.
Saat mencari peluang bisnis baru, ada sejumlah kriteria penting bagi Alex sebelum memutuskan berinvestasi. Pertama, ia butuh waktu panjang untuk mengenal karakter founder dan memahami bisnisnya, bisa enam bulan hingga lebih dari satu tahun.
"As an early [stage] investor, you have to trust the [founder] character karena produknya belum ada. Saya ingin lihat bagaimana founder mau fight for my money, apakah saya cocok dengan cara kerjanya. Makanya, saya jarang berinvestasi di startup yang founder-nya cuma satu karena risikonya tinggi," ungkap Alex.
Ia meyakini perusahaan masih dapat tetap berjalan meski tidak bisa memperoleh pendanaan berikutnya. Menurutnya, perusahaan tidak akan mati, hanya saja pertumbuhannya flat. Maka itu, Alex mencari bisnis yang sekiranya 80% sudah berkelanjutan.
Menanggapi penurunan industri startup, Alex bilang bahwa situasi tersebut justru menjadi eye-opener agar ekspektasi para founder menjadi lebih realistis. Bahwasannya, metode valuasi yang ia katakan sejak awal tidak masuk akal, sekarang menjadi common understanding bagi pihak terkait.
More Coverage:
Sejauh ini, situasi downturn tersebut tidak mengganggu upayanya dalam mencari peluang bisnis baru. Dengan posisinya sebagai investor tahap awal, Alex berkomitmen untuk berinvestasi dalam jangka panjang, yakni 5-6 tahun.
"Saya tidak berinvestasi di sesuatu yang lagi ramai. Tapi, saat ini sektor yang menarik adalah agriculture and food. Bisnis harus bisa jalan dengan atau tanpa teknologi. Small scale. Kalau mau scale up, baru pakai teknologi," ujarnya.
Alex memprediksi tahun ini investor akan selektif dan lebih memilih berinvestasi di portofolio existing. "Old VCs belum bisa raise the money now, sedangkan VC yang sudah, akan lebih berhati-hati. Until, the fed rate go down significantly, orang akan berat untuk put their money keluar AS. For me, I'll still continue what I do."
Dari sisi startup, Alex memprediksi startup baru akan mulai bermunculan. Namun, mereka akan lebih berhati-hati dalam membuat model bisnis sekarang karena mimpi muluknya sudah habis.