Batas Modal Minimal Startup Fintech Segera Ditentukan OJK
OJK beralasan hal ini dilakukan untuk melindungi nasabah, diperkirakan jumlahnya tidak terlalu besar
Kehadiran startup di segmen financial technology (fintech) yang saat ini makin banyak bermunculan dicermati dengan baik oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK). Satu hal yang nantinya akan dibuat aturan yang jelas adalah terkait dengan penentuan batas modal minimal industri fintech. Salah satu alasan dibuatnya aturan tersebut adalah untuk perlindungan konsumen.
"Ini lagi kita bahas, bukan hanya soal sektor IKNB (industri keuangan non bank), tapi juga di sektor perbankan, pasar modal juga. Tapi kita atur sederhana saja karena banyaknya startup company. Kita persyaratkan modal, tapi juga sedikit saja," kata Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB OJK Firdaus Djaelani kepada Neraca.
Selama ini fintech sebagai perusahaan yang masuk dalam kategori industri keuangan berbasis teknologi kebanyakan menggunakan modal milik sendiri untuk menjalankan bisnisnya dan bukan deposit taker atau perusahaan yang mengumpulkan dana dari masyarakat. Dengan demikian nantinya aturan akan disesuaikan dengan nominal yang tepat dan tentunya tidak terlalu besar jumlahnya. Hingga kini OJK yang masih belum bersedia menentukan berapa batas modal minimal yang tepat kepada startup fintech.
"Yang ringan-ringan dulu. Nanti awal-awal gitu, kalo udah baru kita tingkatkan yang agak besar atau bagaimana gitu. Yang penting concern kita adalah bagaimana agar tidak merugikan konsumen," ujar Firdaus.
Salah satu aspek yang menjadi penentu dari ketetapan tersebut adalah keberadaan kantor serta penggunaan server oleh startup fintech, yang nantinya akan mempengaruhi berapa besar batas modal yang ditentukan.
"Jadi misalnya kira-kira berapa ya, sewa ruko dan lain-lain. Sewa ruko paling murah Rp100 juta, apa Rp 500 juta, atau Rp1 miliar atau berapa," tambah Firdaus.
Selain itu yang juga diperlukan oleh startup fintech adalah keberadaan lembaga kustodi, yang berfungsi untuk menyimpan data digital nasabah, agar terhindar dari aksi kecurangan dari nasabah yang ‘nakal’.
"Misalnya nasabah agak nakal, jadi diubah-ubah sedikit, lalu nanti terjadi sengketa yang di sini begini tapi di sana berbeda. Nah kalau misalnya terjadi sengketa, kita lihat ke kustodinya karena kan dia juga punya yang digital," kata Firdaus.
Peluang teknologi fintech diaplikasikan perusahaan asuransi
Di lain pihak, kemudahan yang ditawarkan oleh fintech untuk memberikan informasi, layanan serta kebutuhan yang diperlukan oleh nasabah, menjadikan alasan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mempertimbangkan fintech untuk diaplikasikan perusahaan asuransi.
Diharapkan nantinya fintech tidak hanya membantu penjualan produk asuransi, tetapi juga mempercepat proses pembelian, pembayaran premi, penjelasan produk dan klaim pemegang polis sehingga nasabah tidak perlu datang ke kantor cabang perusahaan asuransi.