Di Balik Sensasi Kultur Merangkul Kegagalan
Jauh sebelum Steve Jobs atau Richard Branson menasihati kita untuk merangkul kegagalan (embracing failure), Thomas Edison adalah tokoh penemu yang sudah lebih dulu membuktikan keberhasilan setelah ribuan kegagalan melalui hasil penelitiannya. Bayangkan bila Thomas Edison hidup di masa kini, berapa banyaknya nominal yang harus dikeluarkan untuk mendukung kerjanya.
DNA startup adalah perusahaan yang dinamis dan inovatif. Untuk itu kultur menerima kesalahan atau kegagalan menjadi sebuah nilai yang sangat pas untuknya. Jika sebuah perusahaan menanamkan nilai intoleran kepada kesalahan, hal ini akan berdampak negatif kepada karyawan untuk takut berinovasi atau mencoba sesuatu yang baru.
Setiap pelaku startup pasti familiar dan bersemangat mengatakan bahwa mereka dan kultur perusahaannya sangat embracing failure. Meskipun demikian, jika ditanya untuk memberikan satu saja contoh kasus yang pernah terjadi, mereka pasti akan terdiam atau mengaku tidak dapat mengingatnya satupun. Rasanya aneh jika seseorang tak bisa mengingat satu saja momen wake up call atau "jleb" dalam perjalanannya membangun usaha.
Saat gelaran Startup Asia minggu lalu, co-founder Silicon Valley Asia Technology Alliance Sonita Lontoh dalam sebuah diskusi panel mendapat sebuah pertanyaan terkait kultur embracing failure yang sangat dihargai di Sillicon Valley dan bagamana kita bisa mengimplementasinya.
Menurutnya embracing failure penting bagi entrepreneur agar mereka tidak mudah putus asa dan terus mencoba. “Namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak membuat perencanaan dan eksekusi yang baik,” ujarnya mantap.
Data Statistic Brain menunjukkan bahwa 25% startup (di semua bidang) gagal di tahun pertama dan angka itu terus menanjak di tahun-tahun berikutnya. Hanya 37% startup di bidang Informasi yang berhasil bertahan setelah empat tahun. Faktor terbesar kegagalan bertahannya sebuah startup, menurut data tersebut, adalah inkompetensi dan kurangnya pengalaman.
Tidak semua kegagalan diciptakan sama
Pertanyaan kunci yang wajib dijawab adalah bagaimana kita bisa belajar dari kesalahan atau kegagalan yang terjadi. Terdengar klise tentu saja. Sebuah buku berjudul Fail Better: Design Smart Mistakes and Succeed Sooner karya Anjali Sastry membeberkan cara mengelola kegagalan serta petunjuk praktis dan contoh-contoh nyata.
Bagi perusahaan yang dibangun bertujuan untuk berinovasi, kegagalan adalah hal yang pasti (sebelum mencapai keberhasilan). Pemimpin yang cerdas akan memastikan bahwa setiap kegagalan berguna maksimal.
Untuk membuat kesalahan atau kegagalan menjadi maksimal, harus jelas bedanya antara kegagalan yang dihasilkan dari perencanaan dan eksekusi yang matang dan kegagalan akibat kecerobohan. Kegagalan pertama akan dapat ditelaah dengan mengumpulkan dan memeriksa data yang tepat. Ini semua tentang perhitungan risiko dan membuat keputusan cerdas.
Pada akhirnya, tak ada orang yang mau benar-benar gagal, namun kegagalan yang dikuti oleh keberhasilan yang diinginkan setiap individu. Kegagalan harus dirangkul hanya jika memungkinkan keberhasilan yang lebih baik.
Fail Fast
Idiom seperti "Fail Fast” atau “Fail Better” menjadi mantra yang paling sering didengar, apalagi di Silicon Valley. Apapun nuansa yang dipilih, sudah menjadi sebuah slogan trendi, terutama untuk calon inovator.
Hal ini menjadi sangat terkenal sebab gagal di usia muda sangat membantu membangun jaringan dukungan sosial dan mengembangkan mekanisme mengatasi perasaan gagal. Mengembangkan keterampilan seperti ini sangat berguna untuk kemampuan individu dalam bangkit kembali dan ketahanan diri.
Tujuannya bukan untuk membanggakan kegagalan, melainkan untuk menumbuhkan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar darinya.
[Ilustrasi: Shutterstock]