1. Startup

Ekspansi Grab Capai Papua, Babak Baru Layanan On-Demand ataukah Persaingan Layanan Pembayaran?

Persaingan tidak lagi sekedar layanan transportasi, tetapi juga mengarah ke optimasi e-money

Grab baru saja mengumumkan total ekspansi layanannya di Indonesia yang kini telah mencapai 75 kota. Ekspansinya kali ini berhasil mengukuhkan perluasan layanan Grab dari Aceh hingga Papua. Secara bisnis global, Grab sendiri saat ini sudah memiliki basis di Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Myanmar.

"Layanan Grab di kota-kota terbaru akan senantiasa mengikuti aspek-aspek keselamatan yang telah kami tetapkan, mulai dari kegiatan operasional harian, pelatihan pengemudi hingga fitur-fitur teknologi di mana keselamatan merupakan prioritas bagi Grab. Saat ini jangkauan layanan tersebar di tujuh negara dengan lebih dari 60 juta unduhan," papar Mediko Azwar, Marketing Director Grab Indonesia.

Potensi layanan on-demand di luar kota besar

Dengan total ekspansi ini, persaingan pun kini terasa semakin nyata. Lawan bisnisnya GO-JEK kini telah resmi memiliki basis di 50 kota di Indonesia, sedangkan Uber mengklaim telah memiliki kehadiran di 32 kota di Indonesia. Ekspansi ini menjadi penting dilakukan, pasalnya para pemain on-demand tersebut, khususnya GO-JEK dan Grab, tampak mulai "memainkan" model bisnis untuk menciptakan peluang baru. Salah satunya potensi e-money untuk visi layanan end-to-end.

Hal ini bukan tanpa tantangan, karena menariknya mereka akan dihadapkan pada proses manuver adaptasi khususnya di kota-kota kecil. Dua hal yang menjadi tantangan utama, mengonsolidasikan regulasi dan kultur setempat.

Beberapa waktu lalu GO-JEK melakukan ekspansi ke Magelang, Jawa Tengah. Pemerintah setempat melakukan penutupan kantor perwakilan di wilayah tersebut, menyusul protes yang dilakukan oleh para pemain transportasi konvensional.

Terkait penolakan, di kota besar seperti Yogyakarta pun masih ada. Hanya saja kebutuhan masyarakat dengan transportasi berbasis aplikasi yang lebih besar, menjadikan pertimbangan dilakukan secara berimbang. Menyelamatkan transportasi yang sudah ada, sembari tetap membiarkan layanan on-demand beroperasi.

Benarkah e-money akan menjadi tujuan utama?

Dalam sebuah kesempatan, DailySocial pernah melakukan survei terhadap pengguna ponsel pintar dari beberapa wilayah di Indonesia. Survei tersebut menanyakan seputar tanggapan kehadiran layanan on-demand dan faktor apa yang menjadikan mereka menyukai layanan tersebut.

Dari 1024 responden pengguna ponsel pintar di Indonesia, 71,08 persen mengaku pernah menggunakan layanan ojek berbasis aplikasi. Faktor fleksibilitas dan kenyamanan menjadi dua hal yang melandasi mereka untuk nyaman dengan jasa tersebut.

Dari dua faktor tersebut, jika ditelisik lebih dalam salah satu yang membuat mereka merasa lebih fleksibel dan nyaman ialah model satu pintu yang diterapkan. Mulai dari proses pemesanan, pembayaran, hingga penilaian terhadap pengguna semua menyatu dalam satu aplikasi. Ini menjadi proses yang lebih transparan dan terukur daripada apa yang diterapkan sebagai SOP layanan transportasi konvensional.

Dari basis bisnis transportasi, penyedia layanan pun tidak berhenti di sana, namun melakukan “eksploitasi” lebih dari itu, menghadirkan layanan jasa pemesanan dan pengantaran makanan, paket, perbelanjaan, hingga menghubungkan dengan penyedia jasa khusus seperti kebersihan dan kecantikan.

Pola tersebut membawa konsumen dengan ketergantungan di satu buah layanan, all-in-one services app. Semua lebih terukur dan ada jaminan untuk setiap layanan yang diterapkan. Membuat orang terdorong untuk nyaman menggunakan berbagai jenis layanan tersebut.

Saat pola ini terbentuk, sistem e-money bergerak menjadi "pahlawan". Apalagi sistem poin dan diskon juga terus digencarkan.

Berharap lisensi e-money dari sepak terjang Kudo

Tokopedia dengan TokoCash, Bukalapak dengan BukaDompet, Shopee dengan ShopeePay, hingga layanan PayTren besutan Yusuf Mansur sudah kena “lampu kuning” dari Bank Indonesia. Medium digital mereka telah memutarkan jumlah uang masyarakat yang cukup besar.

Menurut Bank Indonesia, dana kelolaan lebih dari Rp1 miliar harus memiliki legitimasi lisensi. Ini terkait jaminan risiko pengelolaan dana publik. GO-JEK dulu memilih mengakuisisi MV Commerce Indonesia dan memindahkan lisensi ke PT Dompet Anak Bangsa sebagai perusahaan legal di balik layanan GO-PAY.

Pasca akuisisi Kudo, Grab memang dikabarkan terus mendorong untuk mendapatkan lisensi e-money dari Bank Indonesia. Kabar ini kian diperkuat dengan perekrutan Ongky Kurniawan menjadi Managing Director GrabPay Indonesia. Menjadi sebuah indikasi keseriusan Grab mengelola layanan GrabPay di Indonesia. Butuh perjuangan untuk ke arah sana, karena BI tidak mudah merilis lisensi tersebut.

Sejauh ini, selama hampir 5 tahun, baru 26 perusahaan yang mendapatkan lisensi e-money. Perebutan lisensi e-money membuka babak baru antara layanan on-demand dan e-commerce sambil mengakuisisi pasar di Indonesia.