Hipotesis-Hipotesis Investor dalam Mengucurkan Pendanaan
Belajar dari Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca di sesi #Selasa Startup
Pemodal ventura atau venture capital (VC) adalah salah satu elemen penting dalam ekosistem digital. VC menyalurkan pendanaan kepada startup tentu dengan sebuah proyeksi, baik keuntungan maupun pertumbuhan industri.
Banyak di antara kita yang pasti bertanya-tanya, kriteria apa saja yang sebetulnya diperlukan bagi VC sebelum memutuskan untuk menyuntik investasi kepada startup. Apakah dari produk yang dikembangkannya? Atau idenya yang otentik?
Untuk menjawab hal ini, DailySocial kedatangan Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca yang berbagi pengalamannya seputar pendanaan startup pada sesi #SelasaStartup kali ini.
Mari kita simak ulasannya berikut ini:
Time capsule
Selama sepuluh tahun menjadi investor, Willson berbagi pengalamannya dalam mendanai startup-startup di Asia, khususnya di Indonesia. Dalam proses tersebut, ia menekankan perlunya membangun hipotesis sebelum membuat keputusan.
Willson bercerita bagaimana sepuluh tahun lalu tidak ada investor lokal yang mau berinvestasi di startup. Padahal, Indonesia merupakan pasar yang besar dengan sekelumit masalah. Ia berpikir sebaliknya karena sejumlah hipotesis yang ia yakini.
Sebagai contoh, vertikal e-commerce merupakan produk startup yang berkembang cepat di awal industri ini muncul. E-commerce dinilai menjadi lokomotif industri startup Indonesia. Menggunakan hipotesis model time capsule, e-commerce berkembang lebih dulu di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Rusia. Hal yang sama seharusnya akan hadir di Indonesia. Oleh karena itu, East Ventures memutuskan berinvestasi di sektor e-commerce.
"Kenapa mau investasi di startup sepuluh tahun lalu? Kita melihat adopsi digital di Indonesia cepat. Facebook dan Twitter saat itu belum ada kantor, tapi penggunanya banyak di Indonesia," papar Willson.
Dengan banyaknya masalah di Indonesia sangat banyak, peluangnya juga semakin besar. Hal ini pula yang memperkuat keyakinannya untuk membangun industri ini.
Global knowledge, local execution
Terkait banyaknya berinvestasi ke founder yang memiliki pendidikan di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, Willson menyebutkan sesungguhnya hal tersebut bukanlah hal yang utama.
Mereka yang berstudi di Amerika Serikat sudah mendapatkan knowledge dari negara-negara maju. Meskipun demikian, ketika akan diterapkan di Indonesia, mereka harus memperhatikan kondisi setempat, karena permasalahan di Indonesia biasanya unik dan berbeda dengan di negara maju.
Harus ada pendekatan pemahaman permasalahan dan eksekusi lokal untuk memberikan solusi di negara ini.
Single market domination
Willson meyakini konsep single market domination. Startup dapat fokus ke pasar yang diinginkan sebelum memutuskan untuk ekspansi.
Menurutnya, penting bagi startup untuk mengembangkan produk sesuai kebutuhan pasar dan target pengguna yang benar-benar dituju karena Indonesia memiliki pasar yang luas.
"40 persen populasi di Asia Tenggara itu dari Indonesia. Populasi Singapura itu tidak ada apa-apanya. Makanya, siapapun yang menang di Indonesia, pasti bisa kuasai Asia Tenggara.
Pendekatan bottom up
Hal lain yang disoroti adalah bagaimana mereka membangun produk yang dibuat. Sebagai investor, Willson memilih startup yang mengedepankan pendekatan bottom up, bukan top down dalam mengembangkan produknya.
Pendekatan bottom-up yang ia maksud adalah bagaimana startup melihat masalah yang ada di lapangan dan mencari solusinya.
"Yang harus dilakukan founder adalah amati masalahnya apa dan di mana. Bukan cari [masalah] dari berita yang ada internet. Kalau perlu dites apakah masalahnya betul ada, berarti ada problem statement. Apabila ada yang mau pakai produk kita, artinya sudah market fit," jelasnya.
Yang penting orang dan industri
"The key about investing adalah bukan tentang produknya, tetapi orang dan industrinya," ungkap Willson.
Ia bercerita pengalamannya saat East Ventures berdiri. Ada tiga hal yang menjadi kriteria utama dalam menentukan investasi kepada startup, yaitu people, product, dan potential market (3P).
Seiring berjalannya waktu, Willson menilai bahwa produk tidaklah lagi menjadi kriteria utama, tetapi people dan potential market. Ia meyakini good people (team) dapat membangun produk yang baik.
'People' yang dimaksud dalam hal ini juga merujuk pada founder. Menurutnya, penting untuk memiliki founder yang paham pasar. Dengan begitu, produk yang dibuat dapat relevan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada.
"Untuk menjadi founder startup, mereka harus punya global knowledge dan local experience. Indonesia itu negara kepulauan terbesar dengan 17.000 pulau. Orang [luar] tidak bakal mengerti kompleksitas di sini," ujarnya.
Founder muda tanpa pengalaman
Masih bicara tentang founder, Willson punya pemikiran terbalik dalam menentukan pendanaan kepada startup. Dalam hipotesisnya, ia lebih memilih founder yang tidak berpengalaman daripada yang punya banyak pengalaman.
Menurutnya, founder yang berpengalaman cenderung akan terjebak dalam pemikirannya sendiri. Hal ini dinilai akan menghambat startup dalam berkembang karena hanya mencari solusi masalah dari cara founder berpikir.
"Kalau founder terlalu paham, saya justru takut berinvestasi. Karena saat solving problem, mereka akan terjebak di pemikiran founder-nya saja. Makanya di East Ventures, kami tidak suka mentorship. Kami tidak ingin mereka terkungkung mengerjakan sesuai pemikiran investor," tutur Willson.