Harapan Asosiasi E-Commerce Indonesia untuk Kejelasan RPP E-Commerce
idEA memberikan lima poin masukan pada pemerintah untuk RPP E-Commerce
Sejak diumumkan telah memasuki tahap uji publik, Rancangan Peraturan Pemerintah terkait perdagangan online yang digulirkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus menjadi pembahasan hangat. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam aturan pemerintah ini dan hal tersebut dituding dapat menjadi penghambat perkembangan bisnis e-commerce ke depannya. Pihak idEA memberikan setidaknya lima masukan terhadap aturan RPP e-commerce tersebut, termasuk untuk beberapa pasal yang cukup rancu di dalamnya.
Draft RPP e-commerce memang masih belum diterima oleh idEA, namun Kemendag telah menyerahkan matriks Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal e-commerce kepada idEA.
Ketua Umum idEA Daniel Tumiwa menuturkan bahwa masih banyak yang harus dikaji ulang dari aturan RPP e-commerce ini. Menurutnya, RPP e-commerce yang ada sekarang masih belum terlalu bersahabat bagi para pelaku e-commerce Indonesia, khususnya mereka yang baru memulai seperti startup.
Sebelumnya, idEA juga telah berulang kali mengajukan keluhan kepada Kemendag yang dinilai tidak transparan dalam menyusun RPP tersebut. Mereka juga telah mencoba melayangkan surat permohonan perpanjangan waktu menjadi 30 hari dari 7 hari yang diberikan oleh Kemendag yang hingga hari ini menurut idEA masih belum dijawab. Matriks yang diberikan pun dirasa oleh idEA masih tidak cukup komprehensif. Terkait dengan hal tersebut, ada lima poin yang menjadi sorotan idEA.
Poin-poin yang menjadi sorotan idEA
Poin pertama yaitu terkait dengan kejelasan batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat e-commerce, mencakup pedagang, Penyelenggara Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PTPMSE), serta penyelenggara sarana perantara. Menurut Daniel, poin-poin dalam RPP tersebut masih memukul rata segmen industri e-commerce, padahal e-commerce sendiri memiliki segmen yang spesifik dan perlu dibedakan perilakunya.
Daniel menjelaskan, "Industri e-commerce itu terdiri dari beberapa tipe, seperti ritel, iklan baris, dan marketplace. Jadi lingkup tanggung jawabnya pun perlu dibedakan menurut masing-masing tipe yang dipakai."
Poin kedua yaitu mengenai kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah dan luar negeri. Alasan yang disampaikan oleh pihak idEA yaitu, karena sejatinya Internet adalah platform tanpa batas negara. Maka bila pemerintah tidak dapat melakukan enforcement yang seimbang kepada pelaku usaha asing, konsumen tentu dapat menggunakan solusi lain yang tidak diatur oleh hukum Indonesia.
Poin ketiga adalah perihal kewajiban untuk memiliki, mencantumkan, dan menyampaikan identitas subjek hukum atau yang dikenal sebagai KYC (Know Your Costumers). Dalam ini, pihak idEA mengusulkan KYC hanya dengan data nomor telepon atau rekening saja, karena regulasi pada bidang telekomunikasi dan perbankan telah mewajibkan dan menerapkan KYC terhadap layananannya. Soal keamanan nomor ponsel, asosiasi mempercayakannya kepada pihak operator telekomunikasi.
Poin keempat erat kaitannya dengan perizinan berlapis yang dinilai dapat menghambat pertumbuhan industri e-commerce itu sendiri. Perizinan tersebut meluputi tanda daftar khusus (pasal 18 ayat 1), izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik (pasal 18 ayat 2), dan sertifikat keandalan (Pasal 25 huruf (c), dan 42 ayat 2). Alasannya, kekosongan dari peraturan pelaksana terkait masing-masing perijinan tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan yang tidak kondusif bagi para pelaku bisnis e-commerce di Indonesia.
Poin kelima berkaitan dengan beberapa bagian di RPP yang bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Misalnya pada hukum pengangkutan yang menganut asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan atau fault liability.
Aturan fault liability menjelaskan bahwa setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab mengganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu, pihak yang dirugikan harus membuktikan kesalahan pengangkut. Dalam matriks RPP e-commerce, tanggung jawab tersebut ada di PTPMSE.
Berdasarkan UU perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa menjadi beberapa bagian, yakni penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan, penyelesaian perkara secara pidana, dan penyelesaian perkara secara administratif. Dalam matriks RPP e-commerce dikenal penyelesaian sengketa melalui online, padahal penyelesaian sengketa ini tidak dikenal oleh UU Perlindungan Konsumen dan juga tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa.
"Pandangan yang kami sampaikan ini masih perlu dielaborasi lagi. Kami berharap pihak Kemendag dapat memberikan perpanjangan waktu agar kami dapat memberikan masukan yang substansial dan terbaik bagi dokumen yang sangat krusial terhadap masa depan industri e-commerce nasional ini," ujar Daniel.