Jason Lamuda: Kerja Keras Bukan Satu-Satunya Kunci Sukses Startup
Kerja, kerja, kerja! Kata ini menjadi begitu populer sejak Presiden Joko Widodo mengucapkannya dalam debat Pilpres beberapa waktu lalu. Yang paling mengerti makna kata tersebut adalah para founder, penggiat serta pelaku startup. Mereka tahu bahwa untuk bisa berhasil merintis bisnisnya, tak lain dan tak bukan adalah melalui kerja keras.
Pendiri BerryBenka Jason Lamuda justru berpendapat agak berbeda. Baginya ada yang tak kalah penting sekadar dari kerja keras. Work-life balance. Ayah satu anak ini memang punya cita-cita untuk menjadikan BerryBenka sebagai e-commerce fashion nomor satu, tapi tak hanya itu ia juga bercita-cita menciptakan sebuah kondisi kerja di lingkungannya menyenangkan. Ia ingin menginspirasi orang untuk lebih berani terjun menjadi seorang entrepreneur.
Jason mengawali kariernya sebagai Business Analyst di McKinsey & Company di bulan Agustus 2008 selama dua tahun setelah meraih gelar master dari Columbia University jurusan Financial Engineering. Kemudian ia mendirikan Disdus bersama Ferry Tenka hingga diakuisisi Groupon tahun 2011. Setelah sukses, sama seperti rekannya, Jason juga merintis usaha baru kembali dari nol dengan mendirikan BerryBenka.
BerryBenka saat ini telah melebarkan sayap dengan mendirikan HijaBenka yang menyasar pasar busana muslim untuk kaum muda. Kategori produk baru yang dijelajahi oleh Berrybenka adalah make up kecantikan dan apparel untuk olahraga. “Kalau mau menjadi nomor satu (di segmen) fashion e-commerce, mau tidak mau saya harus terus meluaskan bisnis dan layanan di seluruh sektor ini,” ujar Jason yang juga berencana untuk mengeluarkan aplikasi mobile BerryBenka.
Sejalan dengan cita-citanya untuk menjadikan BerryBenka e-commerce fashion terdepan, ia juga akan merambah pasar fashion laki-laki. Rencana e-commerce yang sedang dirintisnya ini akan hadir kuartal pertama tahun depan.
Work-life balance
Menurut Jason, seorang pendiri harus bisa selalu membawa suasana yang baik dan visioner. Membangun bisnis akan selalu terlihat manis di luarnya, namun sebagai startup naik turun kondisi perusahaan sering digambarkan sebagai roller coaster. Jason mengatakan sehebat apa pun seorang founder ia tak akan bisa melakukannya sendiri. Makanya ia perlu membangun kerja tim yang solid.
Permasalahannya ketika ingin membangun sebuah tim yang andal, startup belum tentu mampu memperkerjakan orang-orang terbaik dalam industri, terutama terkait dengan kemampuan keuangan. Ia menyarankan untuk mengutamakan memilih orang-orang yang punya pikiran positif dalam sebuah tim.
Jason berpendapat, “Kalau hard skill seperti programmer, kan tidak bisa hire orang yang tidak mengerti bahasa pemograman dan diajari. Namun talent-talent soft skill seperti marketing dan sebagainya, bisa memperkerjakan orang yang penting ia punya ketertarikan, mau bekerja keras, memiliki passion dan bisa terus diarahkan menjadi yang terbaik.”
Passion dalam bidang yang dikerjakan adalah nilai yang besar. Jason berpendapat yang tak kalah penting adalah sifat persistence (kegigihan). “Enggak boleh gampang nyerah, setiap hari ada naik turunnya. Dalam e-commerce misalnya kadang hari ini perusahaan sedang bagus semua orang bahagia, kadang keadaan enggak selalu baik. Saat seperti itu jangan menyerah,” ujarnya.
Jason percaya dengan suasana lingkungan yang menyenangkan perusahaan akan mudah berkembang, terutama karena kondisi naik turun sebuah startup yang cepat dan bisa menimbulkan kelelahan mental.
“Kalau perusahaan masih kecil kita masih bisa membangun kekeluargaan dengan lebih mudah, tetapi kalau pegawainya makin banyak itu akan sulit. Dramanya lebih banyak. Orang-orang yang sering bergosip, menjelek-jelekkan kolega, bos, atau yang lainnya bisa menjadi racun yang membuat suasana kerja tidak nyaman,” ujar Jason.
Menurutnya penting untuk menghindari konflik-konflik yang tak perlu terjadi.
Karena hidup tak selalu berisi kerja, Jason menginginkan adanya keseimbangan dalam hidupnya. Itu pun yang ditularkan kepada budaya perusahaannya. Ia berujar, “Bagus kerja gila-gilaan tetapi harus punya waktu buat keluarga. Karyawan saya juga ada yang sudah berkeluarga, jadi kalau ijin-ijin untuk keperluan keluarganya dipermudahlah. Harus mendorong KPI setiap karyawan untuk terpenuhi, namun juga harus bisa fleksibel.”
[Foto Dok. Pribadi]